Jakarta, Jubi – Partai politik atau parpol harus dapat menempatkan serta memprioritaskan calon legislatif (caleg) perempuan di nomor urut satu demi mewujudkan keterwakilan perempuan di dunia politik.
Hal tersebut menjadi atensi Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini dan berharap seluruh pimpinan partai politik dapat memenuhi komitmennya menempatkan caleg perempuan di posisi paling utama daftar calon.
“Semoga pimpinan partai menempatkan lebih banyak caleg perempuan di nomor urut satu,” kata Titi dalam acara bincang santai “Titi Anggraini: Cobaan Banyak, Keberuntungan Banyak!” dalam kanal YouTube MAARIF Institute, seperti dipantau di Jakarta, Rabu.
Dia mengatakan penempatan caleg perempuan di nomor urut satu dapat meningkatkan kesempatan para srikandi politik itu terpilih sebagai anggota legislatif, khususnya di Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2024.
Sejauh ini, lanjutnya, fakta di lapangan menunjukkan sekitar 80 persen caleg terpilih di Indonesia merupakan mereka yang ditempatkan di nomor urut satu dan dua. Kemudian, sekitar 64 persen yang terpilih sebagai anggota DPR RI merupakan caleg di nomor urut satu.
“Delapan puluh persen lebih caleg terpilih di Indonesia itu adalah pada nomor urut satu dan dua. Enam puluh empat persen caleg terpilih DPR itu, mereka yang ditempatkan di nomor urut satu,” jelasnya.
Dengan demikian, apabila partai politik memiliki komitmen untuk mendorong lebih banyak perempuan terpilih sebagai anggota legislatif, katanya, maka parpol sepatutnya menempatkan caleg perempuan di nomor urut satu.
“Jadi, peluang keterpilihan perempuan menjadi lebih besar,” tambahnya.
Dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia selama ini, menurut dia, masih sedikit caleg perempuan yang ditempatkan di nomor urut satu. Sebagian besar caleg perempuan justru ditempatkan di nomor urut tiga.
“Paling banyak ditempatkan di nomor urut tiga karena ada semi zipper (zipper system), yaitu setiap tiga calon harus ada satu perempuan,” ujar Titi.
Hoaks Jelang Pemilu 2024
Sebelumnya jejaring pemeriksa fakta yang digawangi Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), serta 24 media yang tergabung dalam CekFakta.com berkolaborasi guna menghadapi perhelatan pemilu 2024 mendatang.
Komitmen memerangi informasi bohong itu ditandai dengan gelaran Diskusi Publik “Kolaborasi Menangkal Hoaks Menjelang Pemilu 2024” serta penandatanganan nota kesepahaman bersama anggota CekFakta.com secara daring pada medio Februari 2022 lalu.
Diskusi menghadirkan pembicara, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat, Fritz Siregar, anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Khoirunnisa Nur Agustyati, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Agung Dharmajaya, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, dan Wahyu Dhyatmika, Sekjen AMSI yang mewakili CekFakta.com.
Para pembicara menyepakati pentingnya kolaborasi yang lebih kuat dari pengalaman Pemilihan Presiden 2019 dan Pemilihan Kepala Daerah serentak 2020.
Survei Kementerian Komunikasi dan Informatika 2021 terkait literasi digital di Indonesia, konten politik teridentifikasi yang paling marak dengan informasi bohong, melebihi konten kesehatan, agama, kerusuhan, dan isu lingkungan.
Penyebaran konten yang paling tinggi berasal dari media sosial seperti Facebook (71,9 persen) diikuti aplikasi percakapan Whatsapp (31,5 persen), dan YouTube (14,9 persen).
“Yang belakangan sering muncul adalah pernyataan ketua KPU soal pengunduran penyelenggaraan pemilu sampai 2027,” kata Dewa dalam rilis media seraya berharap penetapan pelaksanaan pemilihan umum mendatang pada 14 Februari 2024 bakal bisa menangkal sebaran informasi bohong tersebut.
Terkait pengawasan, Fritz Siregar dari Bawaslu mengungkapkan, pihaknya perlu berkolaborasi dengan lebih banyak pihak di luar penyelenggara pemilu. Karena marak peredaran informasi bohong soal pemilu yang meluas di media sosial.
Kewenangan Bawaslu terbatas dalam hal ini karena hanya bisa memberi rekomendasi kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) soal konten yang dianggap bermasalah.
“Kominfo hanya mengumpulkan semua disinformasi dan minta kami menyatakannya hoaks atau ujaran kebencian. Perlu pihak ketiga yang menyatakannya, setelah itu (minta) ke platform untuk take down,” imbuh Fritz.
Dia berharap kolaborasi terkait antisipasi informasi bohong soal pemilu ke depannya bisa juga melibatkan penyedia platform seperti Facebook. “Kami minta jalur pelaporan khusus dalam proses percepatan (pembongkaran informasi bohong) dan blokir konten negatif itu tidak bisa diakses. Penggunaan media sosial ini bakal lebih banyak di (pemilu) 2024. Kolaborasi harus sampai ke tingkat teknis agar bisa dipakai di daerah-daerah,” tambah Fritz.
Delegitimasi Pemilu
Pada kesempatan yang sama Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati menilai peredaran informasi bohong terkait pemilu kian mengkhawatirkan. Sebelumnya, konten itu menyerang peserta pemilu, belakangan malah bisa mendelegitimasi penyelenggara dan penyelenggaraan pemilu.
“Hingga masyarakat tidak percaya proses pemilu,” kata Khoirunnisa.
Pada sisi lain, sambung dia, regulasi terkait kampanye di media sosial dan internet belum mampu mengantisipasi peredaran informasi bohong. Apalagi undang-undang penyelenggaraan pemilu 2024 masih tetap sama dengan yang sebelumnya.
Pendekatan aturannya masih terbatas soal administratif seperti jumlah akun yang didaftarkan ke penyelenggara oleh peserta pemilu.
“Masalahnya bukan pada akun-akun terdaftar tapi pada konten-konten yang bermuatan informasi bohong. Sama seperti aturan pelaporan aliran dana kampanye. Apakah memang dilaporkan belanja iklan di media sosial? Belum lagi risiko (penggunaan) buzzer yang dorong isu tertentu atau membalikkan fakta. Perlu ada antisipasi,” tegas Khoirunnisa sambal menambahkan pentingnya kolaborasi penyelenggara pemilu dan elemen-elemen masyarakat lainnya untuk mencari solusi yang inovatif.
Sementara itu, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, Agung Dharmajaya menyoroti tingginya risiko atau ancaman bagi pemeriksa fakta. Ini tercermin dari maraknya pelaporan dugaan pelanggaran Undang-Undang Internet dan Transaksi Elektronik ke polisi terkait konten pemberitaan yang dianggap sarat informasi bohong.
Seharusnya, kata dia, dugaan pelanggaran seperti itu diselesaikan lewat hak jawab dan mediasi di Dewan Pers.
“Hoaks hanya ada di media sosial, karena kalau di media itu namanya pelanggaran kode etik. Apalagi semua media online ada pedoman pemberitaan media siber. Sementara untuk pelanggaran di televisi dan radio ada KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) dengan P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran Standar Program Siaran),” kata Agung. (*)
Discussion about this post