Jayapura, Jubi – Kekerasan dalam Rumah Tangga atau KDRT tidak hanya membahayakan korban, namun juga menimbulkan dampak buruk bagi anak-anak yang menyaksikan apalagi mengalami KDRT. Hal itu dinyatakan Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kota Jayapura Betty Puy dalam seminar “Membangun Keluarga Kristen Mandiri Yang Bebas dari Kekerasan dalam Rumah Tangga, Kenali Pelaku dan Waspada” yang berlangsung di Kota Jayapura pada Sabtu (12/11/2022).
Menurut Betty Puy, KDRT bisa dilakukan siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. Korbannya pun bisa siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. KDRT juga memiliki banyak bentuk—kekerasan terhadap perempuan, kekerasan seksual, ataupun kekeradan terhadap anak.
“Bapak-bapak juga mengalami kekerasan, karena ada peristiwa mama pukul bapak. Memang [kasus seperti itu] tidak sebanyak pengaduan kaum perempuan. Semua itu terbagi berdasarkan bentuknya, kekerasan fisik, kekerasan struktur, dan kekerasan psikologi,” katanya.
Ia mencontohkan, kekerasan seksual sebagai bentuk KDRT terjadi jika salah satu pihak memasakan pasangannya untuk melakukan hubungan seksual, tanpa melihat kondisi pasangannya. Hal itu kerap terjadi misalnya karena suami sudah membayar mas kawin, sehingga merasa berhak memaksakan kehendaknya kepada istri.
Ia mengingatkan ada dampak dampak yang ditimbulkan Kekerasan dalam Rumah Tangga, mulai dari cidera fisik, kematian, kecatatan, trauma psikologis. Menurutnya, anak yang menyaksikan KDRT, apalagi mengalami KDRT, rentan mengalami trauma psikologis. Jika tidak ditangani, anak yang mengalami trauma psikologis akibat KDRT pada masa berikutnya bisa menjadi pelaku KDRT.
“Akibat lain, bisa pula gangguan reproduksi, mengalami kehamilan yang tidak diiginkan, kehamilan remaja, aborsi, infeksi penyakit menular seksual, dan komplikasi kehamilan,” katanya.
Betty Puy mengatakan setiap pasangan yang akan menikah harus mempersiapkan diri, termasuk mengikuti pembinaan dari berbagai pihak baik—termasuk dari gereja maupun pemerintah. Jika pasangan yang akan menikah memiliki pemahaman yang baik tentang tanggung jawab mereka menjalani kehidupan berumah tangga, hal itu akan mencegah KDRT, maupun kasus lain seperti kurang gizi pada anak.
Ia juga mengingatkan bahwa pernikahan yang sah di mata hukum dan agama akan memberikan perlindungan hukum yang lebih baik daripada pernikahan secara adat. “Nikah sah secara hukum dan agama penting, agar bisa melindungi keluarga dan anak-anak. Persoalannya, ada kasus pernikahan terpaksa [antara lain] dilakukan saat ayah keluarga meninggal,” katanya mencontohkan kasus pernikahan yang dilakuan tanpa ada kesiapan dari pasangan yang menikah.
Betty Puy juga mengakui kalau banyak KDRT di Papua dilatarbelakangi konsumsi minuman beralkohol. Akan tetapi, ia menegakan bukan berarti para pemangku kepentingan harus menyalahkan minuman beralkohol. “Karena, bagaimanapun hal itu sangat tergantung kepada diri sendiri. Artinya, kembali kepada diri kita sendiri, mau berhenti [mengonsumsi] minuman keras [atau tidak],” katanya.
Sekretaris Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) Gereja Kristen Injili (GKI) Jemaat Lembah Yordan Emereuw, Dr Kristina Sawen dalam seminar tersebut mengatakan pelaku KDRT diancam hukuman pidana penjara. “Kekerasan fisik ringan, dipidana paling lama 5 tahun, atau denda paling banyak Rp15 juta,“ katanya.
Ia menambahkan jika kekerasan fisik itu mengakibatkan korban jatuh sakit atau luka berat, pelaku bisa dijatuhi pidana penjara paling lama 10 tahun, atau denda paling banyak Rp30 juta. Sedangkan kekerasan fisik yang menyebabkan kematian bisa dipidana penjara paling lama 15 tahun, atau denda paling bayak Rp45 juta. ”Kekerasan fisik yang dilakukan suami atau sebaliknya dan tidak menimbulkan [cidera] atau halangan untuk menjalankan jabatan, mata pencaharian, atau kegiatan sehari-hari dipidana paling lama 4 bulan, atau denda paling banyak Rp5 juta,” katanya.
Sawen yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih itu menambahkan bahwa korban juga memiliki hak perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, dan lembaga sosial. “Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis dan penanganannya secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban,” katanya.
Menurutnya, pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan harus dijalankan sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan, termasuk hak untuk mendapatkan pelayanan/bimbingan rohani. Sawen mengakui bahwa KDRT memang merupakan realitas yang terjadi di jemaat GKI Lembah Yordan Emereuw, tetapi ia mengajak semua orang melihat harapan untuk menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi semua pihak.
Salah seorang peserta seminar, Penatua Benhur Yarisetouw menilai penyelesaian kasus KDRT dapat mengedepankan nilai-nilai kasih dan kemanusiaan. “Saya menyarankan sebaiknya masalah KDRT bisa diselesaikan dengan pendekatan kasih, dan tidak perlu sampai proses hukum atau pidana. Itu tugas kita di gereja, untuk menciptakan perdamaian dan kasih di dalam keluarga masing-masing,” katanya.
Ketua Majelis Jemaat GKI Lembah Yordan Emereuw, Pdt J Pantauw berharap seminar KDRT itu dapat memberikan masukan bagi rencana kerja KPKC GKI Lembah Yordan Emereuw ke depan. Terutama dalam pelayanan terhadap jemaat guna mengurangi kasus KDRT. (*)