Jayapura, Jubi – Model pengembangan ekonomi hijau dan biru di dua kampung yang didampingi Jaringan Kerja Rakyat atau Jerat Papua layak menjadi bahan pembelajaran pemerintah daerah di Tanah Papua. Hal itu dinyatakan Kepala Bidang Teknologi Tepat Guna dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Kampung dan Orang Asli Papua Provinsi Papua, Victor Rimindubby saat mengikuti lokakarya yang digelar Jerat Papua di Kota Jayapura, Provinsi Papua, Rabu (26/2/2025).
Usai mengikuti pemaparan pengembangan ekonomi hijau dan biru sebagai model pembangunan berkelanjutan berbasis kampung di Kabupaten Boven Digoel dan Kabupaten Supiori, Victor Rimindubby mengaku mendapatkan pembanding model pemberdayaan masyarakat. “Kegiatan ini membantu kami untuk melihat [model pemberdayaan] di beberapa lokasi yang didampingi teman-teman Jerat Papua,” ujarnya.
Lokakarya itu membahas praktik ekonomi hijau dan biru yang dilakukan masyarakat adat di Kampung Rayori di Kabupaten Supiori, Provinsi Papua, dan Kampung Awayanka di Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan. Victor menyebut konsep ekonomi hijau dan biru yang diterapkan di kedua kampung dampingan Jerat Papua itu bias direplikasi.
Victor mengatakan pemerintah daerah memiliki keterbatasan, dan membutuhkan bantuan dari mitra seperti lembaga swadaya masyarakat. “Pembangunan pemberdayaan masyarakat di kampung itu bukan saja tanggung jawab pemerintah, tapi menjadi tanggung jawab bersama. Kegiatan yang dilakukan saat ini untuk mencari model pembangunan berkelanjutan di Papua, lebih khususnya di kampung, kami mendukung sekali,” ujarnya.
Menurutnya, Pemerintah Provinsi Papua bisa berkolaborasi dengan lembaga swadaya masyarakat untuk melihat model pembangunan seperti apa yang bisa menjaga lingkungan di laut maupun di darat. Dengan demikian, sumber daya alam yang terbatas bisa dikelola secara bijaksana dalam jangka waktu yang panjang.
Ia berharap model pemberdayaan masyarakat yang dikembangkan Jerat Papua bisa diterapkan dan dikembangkan di kabupaten lain di Tanah Papua. “Cara-cara pembelajaran yang baik ini juga bisa dinikmati masyarakat di kabupaten yang berbeda,” ujarnya.
Anggota Badan Pengawasan Jaringan Kerja Rakyat Papua, Engelbert mengatakan Jerat Papua menyusun konsep pemberdayaan itu sejak 2008, hingga akhirnya Jerat Papua terbentuk pada 2012. “Kami bersama-sama dengan masyarakat adat, perwakilan dari tujuh wilayah adat, sepakat untuk membentuk jaringan ini untuk menjadi satu lembaga yang dapat bekerja mengadvokasi hak-hak masyarakat adat di Tanah Papua,” katanya.
Menurut Engelbert, lokakarya pengembangan ekonomi hijau dan biru itu digelar sebagai model pembangunan berkelanjutan dan pengembangan ekonomi masyarakat di kampung. Lokakarya itu ingin mengidentifikasi praktik ekonomi hijau dan biru yang selama ini telah dilakukan masyarakat adat di Kampung Rayori, Kabupaten Supiori, dan Kampung Awayanka, Kabupaten Boven Digoel.
“Hak-hak dasar itu termasuk hak hidup, tetapi juga hak atas sumber daya alam, hak mendapatkan pelayanan sosial yang baik. Pelayanan sosial itu [pelayanan] kesehatan, pendidikan, tetapi juga pengembangan ekonomi masyarakat,” katanya.
Menurut Engelbert, Jerat Papua banyak fokus ke kegiatan lingkungan hidup, advokasi, dan pengembangan/penguatan masyarakat adat. Masyarakat di kedua daerah, Boven Digoel dan Supiori bisa membantu masyarakat memberdayakan ekonominya. Keberhasilan itu dimulai dari pembahasan bagaimana cara masyarakat adat bisa menyelamatkan aset di laut dan darat, karena masyarakat adat kerap kali kehilangan akses atas sumber daya alam mereka.
Ia mencontohkan proyek ketahanan pangan yang dibuat pemerintah pusat di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan. “Kebijakan pemangku kepentingan saat ini sangat merugikan masyarakat di Merauke, juga Papua. Itu 2 juta hektare yang diambil pemerintah tanpa menghargai masyarakat yang memiliki hak ulayat yang di sana. Hmpir di seluruh tanah Papua terjadi situasi yang sama,” katanya.
Situasi itulah yang membuat Jerat Papua menggelar lokakarya pada Rabu, dan menghadirkan perwakilan masyarakat adat dari Kampung Rayori di Kabupaten Supiori dan Kampung Awayanka di Kabupaten Boven Digoel. Jerat Papua juga menghadirkan perwakilan pemerintah dan para akademisi untuk membahas apa pentingnya konsep untuk pengembangan ekonomi biru, ekonomi hijau, dan perlindungan kepada masyarakat adat.
“Mungkin kampung Awayangka dengan Rayori di Supiori bisa menjadi model penguatan masyarakat adat. Harapannya, tidak hanya kedua kampung itu [yang mengembangkan konsep ekonomi hijau dan biru], tapi bisa berdampak kepada kampung lain di kedua kabupaten itu, dan bisa ke tempat lain,” ujarnya.
“Kepentingan investasi, kepentingan penguasa, [kepentingan] para konglomerat—itu sangat dirugikan orang Papua. Karena itu, [kita] tidak bisa tinggal diam, walaupun kita tidak bisa melakukan sesuatu yang luar biasa. Kami mulai dengan hal yang kecil, dengan penyadaran seperti yang dilakukan saat ini. Kalau kita tidak bertindak, kita akan terus tergerus dengan situasi ini,” kata Engelbert. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!