Jayapura, Jubi – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) bersama Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung, Amnesty International Indonesia, dan Asia Justice and Rights mengecam pengabaian negara dalam penuntasan kasus Tragedi Talangsari. Proses hukum melalui peradilan hak asasi manusia terhadap pelaku tidak memberi rasa keadilan bagi para korban.
Tragedi Talangsari genap berusia 36 tahun pada 7 Februari ini. Tragedi di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Lampung Timur tersebut menewaskan setidaknya 246 warga. Puluhan lainnya disiksa, dihilangkan secara paksa, dan ditahan tanpa proses hukum.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 2008 menetapkan Tragedi Talangsari sebagai pelanggaran berat HAM. Penetapan hasil penyelidikan pro-yustisia tersebut berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
“Proses hukum telah berjalan sejak lama. Namun, keadilan substantif dan bermartabat bagi korban belum kunjung ditegakkan. Kebenarannya juga belum kunjung diungkap”. Demikian pernyataan resmi dalam rilis bersama Kontras, Kamis (6/2/2024).
Menurut mereka, negara telah mengambil jalan pintas dalam penyelesaian Tragedi Talangsari, yang justru mencederai, dan merendahkan martabat korban. Jalan pintas itu berupa deklarasi damai secara sepihak pada pada 20 Februari 2019 oleh Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM.
Kemudian, surat komitmen bersama pada 16 Oktober 2020. Komitmen mengenai perbaikan infrastruktur itu juga tidak memedulikan pemenuhan hak para korban.
Jalan pintas pun ditempuh tim penyelesaian non-yudisial pada 22 Agustus 2022. Mereka hanya berfokus pada pemberian bantuan materil kepada para korban.
Berbagai jalan pintas tersebut mengesankan negara telah menganggap Tragedi Talangsari bukan kejahatan serius akibat penyalahgunaan kekuasaan. Pemerintahan Prabowo Subianto juga berencana menghindari akuntabilitas negara dalam pengungkapan Tragedi Talangsari.
Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra dan Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro mengungkap pelanggaran berat HAM akan diselesaikan melalui mekanisme Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Mereka mengklaim mekanisme tersebut sebagai upaya menanggulangi kesulitan pengumpulan bukti dan keterangan lantaran peristiwanya sudah lama terjadi.
Kontras bersama koaliasi mereka menduga wacana itu hanya untuk merawat impunitas atau kekebalan hukum terhadap pelaku Tragedi Talangsari 1989. Dugaan tersebut menguat lantaran penuntasan pelanggaran HAM masa lalu tidak terdapat dalam Asta Cita, misi pemerintah saat ini.
Koalisi menegaskan rekonsiliasi merupakan payung bagi rangkaian proses struktural dalam penyelesaian yang berkeadilan bermartabat bagi korban. Rangkaian prosesnya harus dimulai dengan mengungkap fakta-fakta, termasuk nama-nama pelaku, dan jumlah korban secara transparan kepada publik. Karena itu, pemerintah tidak bisa sesuka hati menjadikan rekonsiliasi sebagai alternatif dari mekanisme yudisial.
Pengungkapan kebenaran tersebut sangat penting agar negara tidak memanipulasi sejarah. Selain itu, dapat mengoptimalkan pemulihan terhadap korban karena mereka menjadi tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada mereka ataupun keluarga mereka.
Dalam momentum peringatan 36 Tahun Tragedi Talangsari, Kontras bersama Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung, Amnesty International Indonesia, dan Asia Justice and Rights menuntut Kejaksaan Agung menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM pada 2008. Mereka harus menuntaskan pengusutannya hingga ke tahap penyidikan dan penuntutan.
Kontras bersama koalisi pun mendesak Komnas HAM mengefektifkan koordinasi dengan Kejaksaan Agung untuk mendapat barang bukti penyelidikan. Pemerintah juga mesti memenuhi hak para korban Peristiwa Talangsari 1989 dan memorialisasi peristiwa tersebut. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!