Merauke, Jubi – Aliansi pemuda dan rakyat Papua Selatan mendesak hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara – PTUN Jayapura, Papua untuk memenangkan gugatan masyarakat adat Awyu dari Kampung Yare, Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan atas Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu – DPMPTSP Provinsi Papua.
Diberitakan Jubi sebelumnya, masyarakat adat Awyu menggugat DPMPTSP Papua karena izin kelayakan lingkungan hidup yang dikeluarkan berdasarkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan -AMDAL yang bermasalah.
Izin yang dikeluarkan tersebut tidak mempertimbangkan keadaan masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat tanah adat, dan cacat substansi karena tak disertai analisis konservasi lingkungan.
Penerbitan izin kelayakan lingkungan hidup PT Indo Asiana Lestari – IAL diduga telah melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2021 tentang Penyusunan AMDAL, dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Karenanya masyarakat adat Awyu menggugat Pemprov Papua dalam hal ini gubernur dan DPMPTSP ke PTUN Jayapura untuk segera mencabut Izin Usaha Perkebunan – IUP dan Hak Guna Usaha – HGU PT Indo Asiana Lestari.
Dalam rilis yang diterima Jubi dari Aliansi Mahasiswa Pemuda dan Rakyat Papua Selatan di Merauke, Rabu (2/11/2023), pengabdi bantuan hukum LBH Papua Pos Merauke, Agustina Omdoan menyatakan perjuangan masyarakat adat Awyu guna mempertahankan tanah adat mereka di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara ( PTUN ) Jayapura mendekati babak akhir.
Omdoan mengklaim perjuangan Suku Awyu bersama Tim Koalisi Hukum Selamatkan Hutan Adat Papua telah mendapat dukungan dari masyarakat luas serta aktivis dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan dari luar Indonesia.
“Tujuh bulan lamanya (sejak 13 Maret 2023) pemimpin masyarakat adat Suku Awyu, Hendrikus Woro mengikuti persidangan di PTUN Jayapura yang menggugat keputusan kepala DPMPTSP Papua Nomor 82 Tahun 2021 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit seluas 36.096,4 hektar yang dioperasionalkan PT Indo Asiana Lestari di wilayah adat Suku Awyu, Kabupaten Boven Digoel,” kata Omdoan.
Mencermati gugatan suku Awyu, Omdoan menuding DPMPTSP Papua telah memberikan izin sepihak kepada PT Indo Asiana Lestari untuk beroperasi. Langkah itu sangat merugikan masyarakat adat Awyu sebagai pemilik hak ulayat yang bergantung dengan alam terlebih khusus kaum perempuan.
“Fakta bahwa tempat yang diberikan ijin adalah ruang hidup perempuan dalam mencari/menyiapkan pangan maupun obat-obatan. Ruang itu terancam hilang, dan mereka akan sulit untuk mencari tempat persediaan makanan yang baru,” ujar Omdoan, seraya mendesak hakim PTUN Jayapura untuk wajib memenangkan tuntutan masyarakat adat Awyu.
Desakan serupa disampaikan perwakilan masyarakat adat Awyu dari Kampung Anggai, Distrik Jair – Boven Digoel, Robertus Meanggi. Ia memohon majelis hakim PTUN Jayapura yang menangani perkara tersebut agar mengabulkan gugatan masyarakat adat Awyu.
“Kami meminta kepada majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura yang memeriksa dan mengadili perkara lingkungan hidup dan perubahan iklim itu agar dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya kepada publik dan masyarakat adat suku Awyu. Dengan demikian izin PT Indo Asiana Lestari dapat dicabut, dan masyarakat bisa mengelola kembali hutan adatnya,” ujar Meanggi.
Sementara Jubir Aliansi Pemuda dan Rakyat Papua Selatan, Yoram Oagay mengungkapkan, perubahan iklim yang terjadi saat ini (El Nino) berdampak terhadap debit air yang terus berkurang. Persoalan ini terkait erat dengan deforestasi besar-besaran yang sedang terjadi, terlebih khusus di Tanah Papua Selatan.
“Di Papua Selatan hari ini terjadi alih fungsi lahan secara besar-besaran. Dulunya hutan alam, kini tanah-tanah adat telah berubah menjadi perkebuban sawit. Salah satu contoh nyatanya bahwa tanah adat suku Awyu dari marga Woro dicaplok sepihak oleh pemerintah untuk investasi kepala sawit PT IAL,” kata Oagay.
“Karenanya kami meminta majelis PTUN Jayapura untuk memenangkan Masya adat suku Awyu, itu sebagai bentuk penghormatan dan pemulihan hak-hak masyarakat untuk kembali mengelola hutannya,” tutup Oagay. (*)