Jayapura, Jubi – Aktivis Greenpeace, Lembaga Bantuan Hukum Kalimantan Tengah, Save Our Borneo, dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan Tengah menilai Presiden Joko Widodo atau Jokowi seperti terus menutup mata atas kegagalan proyek lumbung pangan atau food estate di Desa Tewai Baru, Gunung Mas, Kalimantan Tengah.
Bentuk protes itu disampaikan berselang sekitar 12 jam dari pidato Jokowi di forum Transforming Food Systems in the Face of Climate Change COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab, pada Jumat (1/12/2023), dengan menggelar aksi kreatif parodi ‘makan siang Presiden Jokowi dan tiga calon presiden di Pilpres 2024′, para aktivis kembali mengirimkan pesan bahwa proyek food estate bukanlah solusi ketahanan pangan, tetapi justru memperparah krisis pangan dan krisis iklim.
“Kondisi food estate Gunung Mas hari ini tak jauh berbeda, meski sudah berselang satu tahun sejak kami memotret kegagalan proyek ini pada November 2022. Tidak ada kebun singkong yang dijanjikan. Padahal sudah sekitar 760 hektare hutan alam dibabat untuk proyek strategis nasional ini, hutan yang sebenarnya menyediakan sumber kehidupan untuk flora fauna di dalamnya, untuk masyarakat adat dan masyarakat setempat, dan menjadi benteng pertahanan kita untuk menahan laju krisis iklim,” kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Belgis Habiba dalam rilis tertulis yang diterima Jubi di Kota Jayapura, Minggu (3/12/2022).
Direktur Walhi Kalimantan Tengah, Bayu Herinata mengatakan ketahanan pangan merupakan salah satu isu yang dibahas dalam COP28 di Dubai. Uni Emirat Arab selaku sahibulbait COP28 telah merilis rancangan awal deklarasi tentang pertanian, resiliensi sistem pangan, dan aksi iklim yang berkelanjutan.
Rancangan deklarasi ini menekankan pentingnya mengintegrasikan transformasi sistem pangan dan pertanian dalam aksi iklim. Salah satunya dengan fokus pada sistem pertanian dan pangan yang dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dan degradasi lingkungan.
“Sayangnya, Presiden Jokowi malah mempromosikan pengembangan biofuel yang merupakan solusi palsu dan tak menunjukkan keseriusan komitmen iklim. Pengembangan biofuel akan memicu ekspansi perkebunan monokultur yang memperparah kerusakan hutan dan gambut,” kata Bayu.
Selain di Gunung Mas, ujar Bayu, proyek food estate pemerintah juga merambah wilayah gambut di bekas lahan Pengembangan Lahan Gambut (PLG) di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau yang sebelumnya sudah gagal.
“Menurut pantauan kami, proyek ini justru memperparah kerusakan gambut hingga memicu kebakaran pada September sampai Oktober 2023,” ujarnya.
Menanggapi itu, Bayu meminta pemerintah harus menghentikan food estate karena sistem pangan monokultur skala besar seperti ini merupakan solusi palsu untuk cita-cita ketahanan pangan.
“Pemerintah harus melakukan evaluasi pelaksanaan proyek food estate secara menyeluruh karena ada potensi kerugian negara dari penggunaan APBN dalam menjalankan proyek ini. Yang paling penting, dalam waktu cepat pemerintah juga harus memulihkan hutan dan lahan gambut yang rusak di area tersebut,” tegasnya.
Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Save Our Borneo Muhamad Habibi. Menurutnya solusi untuk ketahanan pangan sejatinya terletak pada kearifan lokal masyarakat adat lewat pertanian ekologis dan agroforestri tradisional, seperti yang sudah dipraktikkan masyarakat adat Dayak di Kalimantan selama ribuan tahun.
“Proyek food estate, baik food estate singkong di Gunung Mas maupun food estate padi di Kapuas dan Pulang Pisau, dirancang dan dilaksanakan tanpa melibatkan masyarakat. Di Gunung Mas, Kementerian Pertahanan mengerahkan tentara dan pekerja dari luar daerah. Sedangkan food estate padi yang digarap Kementan menerapkan model yang meminggirkan konsep pertanian masyarakat di lapangan.
Dalam konteks ketahanan pangan, sistem pertanian monokultur ini justru menimbulkan kerentanan karena pelaksanaannya terpusat di satu tempat, tidak tersebar ke tengah-tengah masyarakat,” kata Habibi.
Direktur LBH Palangkaraya, Aryo Nugroho menyatakan proyek food estate bukan hanya tak sejalan dengan upaya pemenuhan hak atas pangan dan hak atas lingkungan yang sehat untuk masyarakat hari ini, tapi juga mengabaikan hak-hak generasi mendatang.
“Pemerintah tidak memikirkan hak-hak generasi mendatang yang akan paling terdampak oleh kerusakan lingkungan akibat proyek-proyek bermasalah seperti food estate ini. Apakah kita hanya akan mewariskan kerusakan untuk generasi mendatang? Food estate juga makin meminggirkan budaya perladangan masyarakat adat Dayak. Ini bisa disebut genosida atas budaya masyarakat adat,” kata Aryo. (*)