Jayapura, Jubi – Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional atau BPJN Jayapura Benyamin Elieser Pasurnay menyatakan selama ini para pengusaha jasa konstruksi Orang Asli Papua selalu dilibatkan dalam pengerjaan proyek di Papua. Ia menyatakan pada 2023 ada 23 paket proyek yang dikerjakan pengusaha jasa konstruksi Orang Asli Papua.
“Kami tahun ini 38 paket besar dan kecil, dan sebanyak 23 paket itu semua dikerjakan oleh Orang Asli Papua,” kata Pasurnay kepada wartawan di Kota Jayapura, Senin (17/7/2023).
Pasurnay menyatakan ada aturan dan persyaratan yang harus diikuti dan dipenuhi untuk mendapatkan sebuah paket pekerjaan proyek. Pasurnay mempersilahkan kepada pengusaha jasa konstruksi Orang Asli Papua untuk berkompetisi untuk mendapatkan paket pekerjaan itu.
“Paket sudah ada, [dan ada] regulasi [yang mengatur] untuk mereka berkompetisi. Jadi silahkan teman-teman [pengusaha] Papua, silahkan berkompetensi di situ,” ujarnya.
Pada Senin siang, sejumlah pengusaha jasa konstruksi Orang Asli Papua menggelar demonstrasi di Kantor Balai Pelaksana Jalan Nasional Jayapura Kesatuan Kerja Pelaksana Jalan Nasional Wilayah I Provinsi Papua, Kota Jayapura. Mereka meminta adanya keberpihakan terhadap pengusaha jasa konstruksi Orang Asli Papua dalam penunjukan pelaksana proyek di Papua.
Mereka memprotes Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional atau BPJN Jayapura Benyamin Elieser Pasurnay yang dinilai telah memberikan 15 paket proyek kepada pengusaha jasa konstruksi non-Papua, padahal menjanjikan bahwa paket proyek itu akan dikerjakan oleh pengusaha jasa konstruksi Orang Asli Papua.
Pasurnay menyatakan awalnya ada 17 paket pengerjaan yang rencananya dilelang melalui e-katalog. Pasurnay menyatakan pihaknya juga sudah memberikan bimbingan dan penjelasan terkait belasan proyek paket pengerjaan ini di Biak dan Jayapura.
“Terkait paket e-katalog, yang saya bilang ada 17 paket e-katalog. Di dalam perjalanan, [kami] sudah berikan bimbingan di Biak. [Tetapi] di Biak karena peminatnya tidak ada. Akhirnya saya berdiskusi lagi dengan teman-teman di pusat bagaimana cara untuk kita melakukan [lelang] lagi di Kota Jayapura. Dan kita mendatangkan tim dan tim memberikan penjelasan terkait paket proyek itu. Ada teman-teman [pengusaha] yang tidak ikut, dan hanya duduk di luar [saat kegiatan]. Mereka bilang percuma kita ikut kita tidak akan pernah mendapatkan. [Tapi] saya bilang ikut saja, siapa tahu ada paket yang bisa di e-katalog kan. Itu kemungkinan ada 17 paket yang bisa di e-katalog kan,” kata Pasurnay.
Pasurnay menyatakan dalam perjalanan hanya dua paket yang bisa dilelang melalui e-katalog, dan itu semua dikerjakan oleh pengusaha jasa konstruksi Orang Asli Papua. “Dan dua kami e-katalog kan itu, dan satu penunjukan langsung [untuk paket pekerjaan yang nilainya] di bawah Rp1 miliar, sudah kami lakukan dan itu semua didapatkan Orang Asli Papua,” ujarnya.
Pasurnay menyatakan sisa 15 paket pekerjaan lainnya harus ditender, karena berkaitan dengan peralatan. Menurutnya, sejumlah pengusaha jasa konstruksi Orang Asli Papua yang mengajukan penawaran tidak memiliki peralatan yang dipersyaratkan.
Pasurnay menyatakan paket pekerjaan konstruksi yang bisa dikhususkan untuk dilelang hanya kepada pengusaha jasa konstruksi Orang Asli Papua adalah paket pekerjaan dengan nilai Rp1 miliar sampai dengan Rp15 miliar.
“Itu regulasinya jelas, [paket seperti itu] tidak diperuntukan [bagi pengusaha jasa konstruksi] non-Papua. Jadi silahkan berkompetisi. Siapa dokumen lelang, penawaran, syarat, surat peralatan. Kalau tidak ada peralatan, silahkan minta dukungan peralatan kepada kontraktor besar. Mekanismenya seperti itu. Kalau dibilang kami tidak berpihak kepada pengusaha jasa konstruksi Orang Asli Papua, keberpihakan mana yang harus kami berikan, sementara aturan tidak mengatakan demikian. Jangan sampai saya tabrak aturan, saya masuk penjara. Saya juga tidak mau. Kita semua bekerja sesuai dengan aturan,” katanya.
Pasurnay juga mengingatkan kepada pengusaha jasa konstruksi Orang Asli Papua agar secara matang memperhitungkan untung-rugi saat menerima sebuah paket pengerjaan. Pasurnay menyatakan hal ini penting dilakukan agar tidak ada pengusaha jasa konstruksi Orang Asli Papua yang mengeluh tidak mendapatkan keuntungan dari proyek yang dikerjakan.
“[Ada] proyek paket Rp20 hingga Rp100 juta. Dan itulah teman-teman [pengusaha] datang mereka tuntut itu mereka bisa bekerja [dan] itu yang bisa kami kasihkan untuk sub kontraktor. Waktu mereka terima barang, mereka tidak protes, tetapi ketika rugi baru mereka protes. Itu sudah berlangsung terus menerus. [Mereka] selalu mengeluh dan lokasinya jauh di Senggi. Kalau lokasi jauh kenapa mau ambil. Kalau kasih paket itu tidak dapat untung, terus kami mau kasih untung yang bagaimana?,” ujarnya. (*)