Jayapura, Jubi – Juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, Nicodemus Wamafma, mengatakan pemerintah pusat maupun daerah di Tanah Papua harus berhenti memberikan izin baru bagi investasi dan industri ekstraktif yang akan berdampak pada deforestasi dan kerusakan lingkungan. Hal ini penting untuk menyelamatkan hutan dan lingkungan serta keberlangsungan hidup masyarakat adat di Tanah Papua.
“Pemerintah pusat dan daerah harus setop memberikan izin baru [baik itu izin lokasi, IUP, HGU, dan lainnya] bagi investasi dan industri ekstraktif di Tanah Papua yang akan berdampak pada deforestasi dan kerusakan lingkungan serta mencabut izin-izin HPH, HGU kebun sawit, HTI, pertambangan yang melanggar aturan, merusak lingkungan, dan tidak menghargai hak-hak masyarakat adat,” ujar Wamafma saat ditemui Jubi di Kota Jayapura, Provinsi Papua pada Sabtu (20/1/2024).
Wamafma mengatakan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus mengakui keberadaan dan hak-hak masyarakat adat di Tanah Papua lewat regulasi nasional melalui pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat dan melalui peraturan daerah melalui perdasus dan perdasi.
Selain itu, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah juga harus melibatkan Masyarakat Adat Papua secara langsung dalam perencanaan dan pengelolaan hutan dan sumber daya alam di Tanah Papua.
Wamafma juga mengatakan pemerintah harus mendorong proses hukum bagi perusahaan-perusahaan dan semua pihak yang turut serta dalam perusakan hutan alam secara ilegal dan perusakan lingkungan secara umum di Tanah Papua.
Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus mengubah pendekatan pembangunan yang ekstraktif dan eksploitatif, yang menurutnya hanya berorientasi pada kepentingan ekonomi atau mendapatkan keuntungan semata, di Tanah Papua dengan pendekatan pembangunan yang ramah lingkungan.
“[Pembangunan yang] tidak mengorbankan lingkungan, hutan, dan sumber daya alam, serta lebih menghargai hak-hak Masyarakat Adat Papua,” ujarnya.
Menurutnya, sepanjang tahun 2023 di Tanah Papua dalam konteks deforestasi atau kerusakan atau kehilangan hutan alam akibat pengambilan hasil hutan kayu dan pelepasan kawasan hutan untuk perizinan berbasis lahan seperti perkebunan sawit dan pertambangan maupun untuk kepentingan Proyek Strategis Nasional (PSN) dan pemerintahan tentu saja masih ada karena secara akumulatif dalam dua dekade terakhir, Greenpeace Indonesia mencatat lebih dari 641.400 hektare hutan alam di Tanah Papua hilang dengan fokus utama di Merauke, Boven Digoel, Nabire, Mimika, Mappi, Fakfak, Teluk Bintuni, Sorong, Manokwari, dan Kaimana.
“Di era pemerintahan Jokowi, 2014 hingga saat ini, Kementerian LHK [Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan] dibawah kepemimpinan Siti Nurbaya telah melepaskan lebih dari 296.378 hektare hutan alam untuk berbagai kepentingan perizinan termasuk dialokasikan untuk PSN [Proyek Strategis Nasional] Food Estate maupun proyek infrastruktur jalan dan jembatan Trans Papua sepanjang lebih dari 4.600 km dari Sorong – Merauke,” ujarnya.
Wamafma mengatakan sejauh ini pihaknya mencatat ada sepuluh perusahaan yang memiliki konsesi hutan alam terluas di Tanah Papua. Perusahaan tersebut di antaranya Prabu Anaka Unit I dengan luas area 314,207.33 hektare, Bina Balantak Utama dengan luas area 291,639.29 hektare, Damai Setiatama Timber dengan luas area 242,914.41 hektare, Hanurata dengan luar area 233,332.15 hektare, Teluk Bintuni Mina Agro Karya dengan luas area 230,224,25 hektare.
Diadyani Timber dengan luas area 208,759,97 hektare, Papua Satya Kencana 196,943.40 hektare, Merauke Rayon Jaya dengan luas area 182,37.81 hektare, dan Tunas Timber Lestari dengan luas area 173.950.51 hektare, dan Wapoga Mutiara Timber Unit II dengan luas area 165,927.56 hektare.
Selain itu, Greenpeace Indonesia juga mencatat 1,88 juta hektare hutan alam Papua dialihfungsikan menjadi areal perkebunan kelapa sawit yang tersebar di Tanah Papua.
“Terdapat 1,3 juta hektare konsesi perkebunan sawit di Provinsi Papua [sebelum pemekaran] yang tersebar di Merauke, Boven Digoel, dan Mappi, [dan] 516 ribu hektare konsesi perkebunan sawit di Provinsi Papua Barat [sebelum pemekaran] yang tersebar di Teluk Bintuni dan Sorong,” ujarnya. (*)
Discussion about this post