Yogyakarta, Jubi – Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menyatakan peningkatan status operasi penyelamatan pilot Susi Air menjadi Siaga Tempur melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI atau UU TNI. Hal itu dinyatakan Usman menanggapi peningkatan status operasi penyelamatan pilot Susi Air yang diumumkan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono di Timika, ibu kota Kabupaten Mimika, Papua Tengah, pada Selasa (19/4/2023).
“Ketentuan Pasal 17 UU TNI mensyaratkan perlu adanya keputusan Presiden dan persetujuan politik DPR RI untuk melakukan pengerahan kekuatan militer. Peningkatan status operasi penyelamatan pilot Susi Air menjadi Siaga Tempur adalah bentuk pengerahan kekuatan militer, karena Panglima TNI telah mengerahkan pasukan TNI dari Jawa dan Sumatera ke Papua,” kata Usman saat dihubungi Jubi pada Selasa malam.
Usman menegaskan Panglima TNI tidak memiliki kewenangan untuk secara sepihak mengerahkan kekuatan militer TNI dan meningkatan status operasi pasukan yang dikerahkan dari luar Papua itu. “UU TNI telah membatasi kewenangan Panglima TNI agar hanya dapat menggunakan atau ‘to use’ kekuatan militer, bukan mengerahkan atau ‘to deploy’ kekuatan militer. Kewenangan pengerahan kekuatan militer ada pada Presiden, itu pun membutuhkan persetujuan dari DPR RI,” kata Usman.
Usman mengingatkan pilihan kebijakan menetapkan status Siaga Tempur bagi pasukan yang dikerahkan dari luar Papua untuk menjalankan operasi itu berisiko tinggi. “Kebijakan itu berisiko menimbulkan banyak korban sipil, termasuk pilot Susi Air. Akan bertambah pula jumlah anggota TNI yang tewas, dan akan banyak fasilitas layanan umum yang terdampak,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan jika operasi pembebasan pilot Susi Air menimbulkan dampak yang luas, Pemerintah Indonesia akan semakin kesulitan menutupi masalah Papua di tingkat dunia. “Indonesia bisa masuk ke lumpur diplomatik internasional yang akan menyulitkan Indonesia dalam menjaga reputasi internasional,” kata Usman.
Operasi penyelamatan pilot Susi Air dijalankan TNI/Polri setelah kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat atau TPNPB yang dipimpin Egianus Kogoya menyandera pilot pesawat Susi Air berkebangsaan Selandia Baru, Philip Mark Mahrten di Kabupaten Nduga pada 7 Februari 2023. Dalam operasi itu, TNI terus berupaya membatasi pergerakan kelompok Egianus Kogoya, hingga terjadi serangan TPNPB terhadap pasukan TNI di Distrik Mugi, Kabupaten Nduga, pada Sabtu (15/4/2023).
Pada Selasa, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono menyatakan status operasi penyelamatan pilot Susi Air, Kapten Philip Mark Mehrtens dinaikkan dari Soft Approach menjadi Siaga Tempur. Kenaikan status operasi itu diumumkan Yudo di Timika.
“Dengan kondisi seperti itu, kami ubah menjadi Operasi Siaga Tempur. Kami tetap melaksanakan operasi penegakan hukum dengan pendekatan humanisme. Tetapi dengan kondisi khusus di wilayah [tertentu] kami ubah menjadi Operasi Siaga Tempur,” kata Yudo.
Yudo menyatakan selama ini operasi penyelamatan pilot Susi Air menggunakan pendekatan operasi teritorial dan komunikasi sosial. Karena pendekatan itu direspon dengan serangan terhadap patroli TNI, status operasi ditingkatkan menjadi Operasi Siaga Tempur.
“Artinya, kami tingkatkan menjadi Operasi Siaga Tempur untuk pasukan kami, sehingga naluri tempur prajurit terbangun. Dalam menghadapi seperti ini harus kita lakukan siaga tempur,” kata Yudo.
Meskipun status operasi penyelamatan pilot Susi Air ditingkatkan menjadi Siaga Tempur, Yudo menyatakan tidak ada penambahan pasukan maupun alat utama sistem persenjataan guna mendukung operasi tersebut. Ia menyatakan hanya akan melakukan rotasi atau pergantian pasukan TNI. (*)