Jakarta, Jubi – Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lili Pintauli Siregar kembali menjadi sorotan terkait etik dan kedekatan dengan orang yang terkait korupsi. Nama Lili secara khusus masuk dalam laporan HAM 2021 yang dirilis Kementerian Luar Negeri AS berjudul: 2021 Country Reports on Human Rights Practices: Indonesia.
Dalam laporan itu menyoroti rekam jejak Lili di sejumlah kasus korupsi yang tengah diusut KPK. Lili jadi diketahui berhubungan dengan pihak beperkara dalam kasus korupsi yang menyeret Wali Kota Tanjung Balai, M Syahrial.
“Dewan memutuskan [Lili] Siregar memiliki kontak yang tidak pantas dengan subjek investigasi untuk keuntungan pribadinya sendiri dan memberlakukan pengurangan gaji satu tahun, 40 persen untuk Siregar atas pelanggaran tersebut,” tulis laporan tersebut, dikutip dari CNN Indonesia, Rabu, (20/4/2022).
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari menyebut laporan Kemlu AS cuma puncak gunung es dari setumpuk kesalahan Lili yang selama ini telah menjadi sorotan di dalam negeri. Menurut Feri, laporan itu hanya memperlihatkan kepada dunia masalah KPK karena dipimpin oleh salah satu pelanggar etik.
“Jadi KPK sudah memalukan Indonesia di dunia internasional bahkan sudah menjadi bahan tertawaan karena terang benderang sudah melanggar etik tetapi tetap dipertahankan,” kata Feri.
Feri menduga Lili memiliki kekuatan politik di belakangnya sehingga tak kunjung angkat kaki dari komisi antirasuah. Secara gamblang, Feri meyakini Dewas KPK berada di balik Lili.
“Saya yakin backing-nya ya Dewas KPK dan backing Dewas ya Presiden karena Presiden yang memilih Dewas,” kata Feri menegaskan.
Lili juga jadi sorotan usai diduga menerima gratifikasi berupa tiket dan fasilitas hotel saat gelaran MotoGP Mandalika pertengahan Maret lalu. Dugaan gratifikasi diterima Lili dari Pertamina selaku sponsor utama ajang balap motor dunia itu. Kini, laporan atas Lili tengah diproses oleh Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) menyebut Lili sebagai si muka tebal. Sementara, IM57+ lembaga yang didirikan sejumlah mantan pegawai komisi antirasuah, menyebut perilaku Lili menelanjangi kredibilitas KPK di mata dunia.
Ketua Indonesia Memanggil atau IM57+ Institute, M. Praswad Nugraha menilai kasus Lili Pintauli tak bisa dianggap sebagai pelanggaran kode etik biasa. Sebab, dugaan pelanggaran oleh Lili telah terjadi secara berulang.
Selain kasus Tanjung Balai dan gratifikasi MotoGP, Lili juga sempat dilaporkan dalam kasus Labuhanbatu Utara pada Oktober 2021. Ia dilaporkan oleh mantan penyidik senior Novel Baswedan karena diduga berkomunikasi dengan kontestan Pilkada Darno. Ia diminta untuk segera mengeksekusi tersangka Khairuddin Syah selaku Bupati petahana sebelum Pilkada serentak 2020.
Lili juga menyampaikan pernyataan bohong saat membantah telah berkomunikasi dengan Syahrial. Padahal, hasil putusan Dewas belakangan menyatakan ia terbukti berkomunikasi dengan yang bersangkutan.
“Sudah bentuknya berulang, sepertinya enggak ada efek jera,” kata Praswad.
Dia heran, pimpinan KPK kini tak lagi memiliki budaya malu. Padahal, dalam kasus yang terakhir, Lili diduga telah melakukan delik pidana berupa tindakan gratifikasi dengan menerima tiket dan fasilitas hotel MotoGP. Menurut Praswad, Lili bukan hanya harus mundur, bahkan harus dipidana oleh KPK.
Praswad mengatakan Dewas harus melihat kasus Lili sebagai pelanggaran etik yang luar biasa. Pertama, karena pelanggaran itu dilakukan oleh pimpinan, dan dilakukan secara berulang. Praswad khawatir, perilaku Lili ke depan akan menciptakan preseden buruk di lingkungan komisi antirasuah, bahkan menjadi budaya yang bisa ditiru oleh bawahan.
“Teman-teman pegawai di lapangan, akan melihat itu sebagai sesuatu yang patut dicontoh. Apa kami enggak boleh melakukan itu, besok terima tiket, fasilitas hotel, uang, nantinya lama-lama mobil, itu menjadi hal wajar. Karena apa, itu dicontohkan oleh pimpinannya,” kata dia.
Praswad juga mendorong evaluasi terhadap keberadaan Dewas. Menurut dia, kinerja buruk Dewas telah menjadi rahasia umum karena terkesan permisif pada pelanggaran yang dilakukan pimpinan. Menurut dia, hal itu berbanding terbalik dengan pemberhentian 75 pegawai yang tak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK).
“Pegawai KPK bisa dipecat, penyidik senior bisa dipecat begitu saja, tanpa ada basa-basi, sidang kode etik. Sementara yang sudah jelas-jelas nyata terbukti bersalah, pelanggaran berulang-ulang, dia oke-oke aja,” katanya.
Saat dikonfirmasi terkait tiket MotoGP untuk Lili, Anggota Dewas KPK, Syamsuddin Haris menolak tudingan yang menyebut pihaknya melindungi atau menutup-nutupi dugaan pelanggaran etik tersebut.
“Dewas berharap kepada pihak-pihak terkait, termasuk Pertamina dan anak perusahaannya, bisa bekerja sama dan koperatif, yakni dengan memberikan keterangan secara benar dan jujur mengenai informasi yang mereka ketahui,” ujar Syamsuddin Haris
Syamsuddin memastikan Dewas akan menjalani tugas secara transparan dan profesional. Ini sekaligus menjawab permintaan Menkopolhukam Mahfud MD yang merespons laporan Amerika Serikat untuk HAM di Indonesia tahun 2021, satu di antaranya terkait penegakan terhadap pelanggaran etik Lili.
“Tidak ada yang ditutup-tutupi. Dewas masih dalam tahap pengumpulan informasi, bahan, dan keterangan dari pihak-pihak terkait yang diduga mengetahui dan memiliki informasi tentang dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh ibu LPS [Lili Pintauli Siregar],” kata Syamsuddin menegaskan. (*)
Discussion about this post