Sentani, Jubi – Dewan Adat Suku (DAS) Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, pada 21 juli 2020 lalu telah melaksanakan seminar dan konsultasi publik, tentang penetapan pemilik batas-batas hak ulayat di Sentani wilayah adat Bhuyakha.
DAS meminta kepada pemerintah daerah agar tidak mencampuri urusan tanah dan hak ulayat, karena hal tersebut merupakan bagian dari kerja DAS Sentani.
Sekretaris DAS Sentani, Eliab Ongge mengatakan, surat keputusan hasil seminar dan diskusi publik yang dilakukan pada waktu itu, kutipannya telah diserahkan juga kepada Pemerintah Kabupaten Jayapura.
Hal ini dilakukan agar pemerintah daerah mengetahui adanya daftar nama kepemilikan hak ulayat dan batas-batas tanah yang dimiliki oleh masyarakat, yang berada di wilayah adat Bhuyakha.
“Persoalan hak ulayat di Bhuyakha ini akan bertambah rumor ketika pemerintah ikut ambil bagian di dalamnya. Biarkan DAS menyelesaikan dengan cara dan mekanisme yang ada di DAS, sebagai mediator dalam menyelesaikan semua persoalan hak ulayat secara khusus Bhuyakha,” ujarnya di Sentani, Kamis (7/4/2022).
Dikatakan, ada sejumlah tempat yang saat ini menjadi persoalan pemilik hak ulayat, dikarenakan tanah hak ulayat mereka sudah disertifikasi. Badan Pertanahan dalam proses pengukuran hingga penerbitan sertifikat, tidak melibatkan pemilik hak ulayat, bahkan ada sertifikat di atas sertifikat.
“Sertifikat merupakan barang bukti kepemilikan hak ulayat yang dikeluarkan oleh negara, hanya saja dalam proses untuk mendapat sertifikat atau bukti kepemilikan hak ulayat ini yang banyak tidak sesuai prosedur, karena untuk mendapatkan sertifikat tersebut tidak hanya pemilik hak ulayat yang berkontribusi di dalamnya,” jelas Ongge.
Hal senada juga disampaikan Yoseph. F. Yoku selaku tokoh masyarakat di Sentani, bahwa persoalan klasik yang selalu terjadi di tengah masyarakat adat, khususnya wilayah adat Bhuyakha adalah kepemilikan hak ulayat yang sering diklaim oleh bukan pemilik hak ulayat yang sesungguhnya.
“Kepemilikan hak ulayat berdasarkan nama tempat. Nama tempat [tanah/wilayah] melekat secara turun temurun dengan marga atau keret. Persoalan klaim hak ulayat yang bukan miliknya sudah sering terjadi, bahkan sudah diterbitkan sertifikat tanahnya. Pertanyaannya adalah, bagaimana bisa sertifikat dikeluarkan atas nama bukan pemilik hak ulayat?” katanya.
Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw mengatakan upaya pemerintah daerah dalam membantu masyarakat adat dalam kepemilikan hak ulayat, adalah dengan pemetaan wilayah adat yang sedang dilaksanakan oleh Gugus Tugas Masyarakat Adat (GTMA).
“Hal itu dilakukan agar ada sertifikasi masing-masing wilayah adat yang ada di Kabupaten Jayapura, termasuk wilayah adat Bhuyakha.”
Kata Awoitauw, sertifikasi satu wilayah adat ini di dalamnya ada sejumlah tempat atau kepemilikan hak ulayat berdasarkan keret atau marga, serta batasan tanah satu dengan lainnya. Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pertanahan dan Agraria, akan mengesahkan sertifikat tersebut sebagai satu sertifikat wilayah adat.
“Dengan demikian, setiap orang akan mengetahui apakah hak ulayatnya masih ada atau sudah diperjualbelikan, karena dalam pemetaan wilayah adat akan dijelaskan, bahwa kepemilikan hak ulayat yang sudah dijual akan ada keterangan, siapa pemilik aslinya,” ujar bupati. (*)
Discussion about this post