Jayapura, Jubi – Tidak semua orang di tanah Papua secara tradisional menjadikan sagu sebagai makanan pokok.
Hal ini diungkapkan oleh pakar antropologi Dr. JR Mansoben MA dan Prof. Dr. Walker, yang dikutip dalam buku Sagu Papua untuk Dunia karya jurnalis Kompas, Ahmad Arif.
Dalam buku tersebut, disebutkan bahwa lingkungan hidup di Papua terbagi menjadi empat zona utama: daerah rawa, pesisir dataran rendah, perbukitan, serta lembah kecil dan dataran tinggi.
Mansoben dan Walker menegaskan bahwa setiap zona di Papua memiliki sumber pangan yang menopang kehidupan masyarakatnya. Namun, hanya masyarakat di dataran tinggi yang tidak mengonsumsi sagu. Di daerah rawa dan pesisir dataran rendah, masyarakat bergantung pada sagu sebagai bahan makanan utama, dengan ikan sebagai sumber protein, seperti yang terlihat di komunitas Asmat, Mimika, dan Waropen.

Di pinggiran sungai dan daerah pesisir, seperti yang dihuni oleh suku Biak, Wandamen, Moi, Simuri, Maya, dan Raja Ampat, masyarakat menjalankan kegiatan ekonomi utama berupa perikanan, budidaya sagu, dan pertanian. Menurut Mansoben, suku Biak secara turun-temurun membudidayakan sagu, terutama di wilayah Biak Utara dan Supiori. Selain itu, komunitas di perbukitan dan lembah-lembah kecil, seperti Muyu, Nimboran, dan Arso, menggantungkan hidupnya pada pertanian, sagu, berburu, dan beternak.

Sementara itu, masyarakat adat Mepago dan Lapago, seperti suku Dani dan suku Mee, hidup dari pertanian ubi jalar atau petatas (ipere bagi suku Dani dan nota bagi suku Mee), serta memelihara ternak babi sebagai sumber utama penghidupan.
Bagi suku Malind Anim, khususnya marga Mahuse, sagu dianggap sebagai totem. Hampir seluruh ritual adat dan kehidupan sehari-hari mereka terkait dengan tepung sagu. “Karena sagu dianggap sebagai totem bagi marga Mahuse, maka sagu menjadi simbol persaudaraan dan tidak sembarang diperjualbelikan,” ungkap Mansoben.
Totem sendiri, menurut antropolog, adalah entitas yang dipercaya memberikan perlindungan atau bantuan kepada sekelompok orang, seperti keluarga, suku, atau klan. Totem ini bukan hanya entitas fisik, tetapi juga simbol yang mengikat kelompok masyarakat tersebut.
Meskipun sagu dianggap sebagai totem dan memiliki nilai adat yang tinggi, kenyataannya kini sagu juga diperjualbelikan, bahkan harganya lebih mahal daripada beras. Hal ini memperlihatkan adanya peningkatan ketergantungan pada beras, terutama sejak kebijakan distribusi beras PNS diterapkan sejak zaman Orde Baru.

Menurut data Biro Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2019, konsumsi beras di Provinsi Papua dan Papua Barat rata-rata mencapai 132.000 ton per tahun. Dari jumlah tersebut, sekitar 74 persen beras didatangkan dari luar daerah atau luar negeri. Sementara itu, pasokan beras dari petani lokal hanya mencakup 26 persen per tahun, yang sebagian besar diproduksi oleh petani transmigran di daerah Manokwari, Sorong, Sorong Selatan, Nabire, dan Merauke.
Kini, pemerintah sedang membangun lima pabrik gula yang terintegrasi dengan bioetanol di lahan seluas 2 juta hektar di Merauke, Papua Selatan. Pembangunan ini dibagi dalam empat klaster, dengan total investasi mencapai US$ 5,62 miliar atau setara Rp 83,27 triliun.
Wakil Menteri Investasi Yuliot Tanjung menjelaskan proyek ini merupakan kerja sama antara pemerintah dan pengusaha dalam mengembangkan industri gula dan bioetanol. Salah satu mitra kerja sama ini adalah Sugar Research Australia, yang terlibat dalam Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia.
Program persawahan di Kabupaten Merauke sendiri telah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda, setelah Perang Dunia Kedua, di wilayah Kumbe dengan mekanisasi pertanian. Proyek sawah di Merauke, bersama perkebunan cokelat, pala, dan kopi di berbagai wilayah Papua dan Papua Barat, dikembangkan dengan bantuan dari negara-negara Masyarakat Ekonomi Eropa saat itu.
Dalam buku *Perubahan Sosial Ekonomi di Irian Jaya* karya Ross Garnaut dan Chris Manning, disebutkan bahwa pada tahun 1961, pemerintah kolonial Belanda menginisiasi mekanisasi tanah irigasi di dekat Merauke dengan tujuan menghasilkan 400 ton beras per tahun, sebagai bagian dari rencana ambisius untuk mencapai swasembada beras. Selain itu, para pejabat Belanda juga mendatangkan orang-orang Eropa, terutama Indo-Belanda, untuk bertani di daerah Hollandia (Jayapura) dan Manokwari, meskipun sebagian besar usaha tersebut kurang berhasil.
Sejak awal 1900-an, Merauke menjadi pusat bagi imigran dari Jawa dan Timor yang dibawa oleh Belanda. Pada tahun 1910, Belanda memindahkan sejumlah orang dari Jawa dan Timor ke daerah Mopah Lama dan Spadem, yang kemudian menjadi pemukiman baru.
Sagu sendiri, meskipun merupakan pangan tradisional bagi masyarakat Papua, juga pernah dikonsumsi oleh masyarakat di wilayah lain di Indonesia. Ahmad Arif menyebutkan bahwa sagu dianggap sebagai salah satu sumber pangan tertua yang dikonsumsi manusia, bahkan sebelum manusia modern tiba di Asia Tenggara. Peneliti Ave (1977) juga menegaskan bahwa sagu merupakan sumber pangan tertua yang dikonsumsi manusia.
Meski begitu, hingga saat ini upaya untuk mengembangkan perkebunan sagu secara komersial belum pernah digalakkan, karena dianggap hanya sebagai tumbuhan liar di hutan-hutan rawa. Padahal, sagu adalah tanaman yang sangat ramah lingkungan dan tumbuh tanpa memerlukan pupuk. Di Papua, hutan sagu tumbuh liar di tepi sungai, danau, dan rawa, serta menyediakan habitat bagi ikan dan binatang buruan.
Dr. Henderite Ohee, pakar biologi dan peneliti ikan pelangi dari FMIPA Universitas Cenderawasih, menjelaskan bahwa hutan sagu berperan sebagai tempat pembiakan ikan air tawar.
“Dusun sagu itu ibarat hutan bakau di sungai, tempat ikan-ikan berkembang biak. Seperti di Danau Sentani, tempat ikan gabus asli Khahabei bertelur dan berkembang biak,” katanya kepada Jubi.
Upaya pelestarian sagu juga dilakukan oleh pemerintah daerah. Bupati Kabupaten Jayapura, YP Karafir, pernah menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pelestarian Kawasan Hutan Sagu. Namun, peraturan ini ternyata tidak mampu melindungi ribuan dusun sagu yang terancam oleh pembangunan infrastruktur, terutama menjelang PON Papua 2021.
Meskipun tantangan besar dihadapi dalam melestarikan sagu, para ahli seperti Prof. Dr. Ir. H. Mochamad Hasjim Bintoro dari Institut Pertanian Bogor (IPB) menekankan bahwa sagu memiliki potensi besar untuk ketahanan pangan Indonesia. Ia menambahkan bahwa sagu dapat menjadi alternatif pangan yang tidak kalah bergizi dibandingkan bahan pangan lainnya. Namun, upaya serius diperlukan untuk mendorong penggunaan sagu sebagai makanan pokok, seperti penggantian jatah beras dengan sagu dan peningkatan daya tarik kuliner berbasis sagu. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!