Jayapura, Jubi – Pembangunan bak penampungan air seluas 2.752 meter persegi di Kamp Walker Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura oleh Balai Wilayah Sungai Papua berbuntut gugatan hukum. Ahli waris keluarga Rachmad Effenddy menggugat Balai Wilayah Sungai Papua di Pengadilan Negeri Jayapura, karena merasa tanah milik mereka telah diserobot.
Gugatan itu diajukan Arief Efenddy selaku ahli waris Rachmad Effenddy. Kuasa hukum keluarga Effenddy, Yuliyanto mengatakan kliennya terpaksa mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jayapura, karena dua surat somasi mereka diabaikan Balai Wilayah Sungai Papua. Gugatan itu didaftarkan pada 11 Juli 2023.
“Secara fakta hukum, saya menganalisa klien kami dirugikan,” kata Yuliyanto di Kota Jayapura, Jumat (14/7/2023).
Menurut Yuliyanto, pihaknya sudah melayangkan surat somasi pertama kepada Kepala Balai Wilayah Sungai Papua pada 9 Juni 2023. Karena tidak ditanggapi, pada 27 Juni 2023 Yuliyanto melayangkan surat somasi kedua.
“Dari pertemuan tidak ada solusi. Bahkan pihak Balai menyampaikan tidak akan melakukan pembayaran lagi, sebab sebelumnya sudah melakukan pembayaran kepada masyarakat,” ujarnya.
Yuliyanto mengatakan kliennya adalah pemegang Hak Atas Tanah (HAT) lokasi pembangunan bak penampungan air itu. Menurutnya, HAT itu sesuai dengan Sertifikat Hak Milik nomor 00629/Waena, dengan luas lahan 40.000 meter persegi.
“Klien kami itu korban, padahal dia punya sertifikat dan surat pelepasan adat. Dalam pembebasan lahan untuk kepentingan umum, itu ada undang-undangnya. Panitia yang menilai ganti untung, karena pemilik tanah berhak mendapat keuntungan,” ujar Yuliyanto.
Menurutnya, Balai Wilayah Sungai Papua dan kontraktor pelaksana pembangunan bak penampungan itu telah menyerobot tanah kliennya. “Masalah ini jelas banyak yang terlibat, baik kontraktor maupun pihak Balai Wilah Sungai Papua. Itu jelas penyerobotan, makanya kami sudah melayangkan gugatan perdata dalam rangka mengambil kembali lahan itu,” ujarnya.
Dalam gugatan itu, Arief Efenddy selaku ahli waris Rachmad Effenddy menuntut tanahnya dikembalikan, dengan rincian kerugian senilai Rp21 miliar. “Kami meminta pemerintah pusat serius melihat persoalan mafia tanah di Papua, jangan hanya [mengawasi] Pulau jawa. Di Papua juga banyak, bahkan melibatkan pengusaha deni kepentingan proyek tanpa mengecek surat dari pemilik lahan,” tegasnya. (*)