Jayapura, Jubi – Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum atau LP3BH Manokwari pada 17 – 18 Oktober 2022 menemui para korban, keluarga korban, serta saksi kasus dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia berat Wasior Berdarah 2001 di Kabupaten Teluk Wondama. Dalam rangkaian kunjungan LP3BH Manokwari itu, para korban langkah pemerintah untuk menyelesaikan kasus itu melalui jalur non yudisial. Para keluarga korban meminta kasus itu diselesaikan melalui Pengadilan Hak Asasi Manusia atau Pengadilan HAM.
Hal itu dinyatakan Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, Cristian Yan Warinussy saat dihubungi Jubi melalui layanan pesan WhatsApp, Rabu (19/10/2022). “Korban keluarga korban dan saksi tidak setuju jika kasus Wasior diselesaikan lewat jalur non judisial, tetapi harus melalui jalur yudisial yakni Pengadilan HAM,” kata Warinussy.
Ia menyatakan telah menemui enam korban, keluarga, dan saksi kasus Wasior Berdarah 2001. Pertemuan itu digelar LP3BH Manokwari untuk menyikapi diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Masa Lalu. “Setelah 21 tahun sejak peristiwa Wasior berdarah, saya mengunjungi para klien LP3BH Manokwari yang juga adalah korban, keluarga korban dan saksi-saksi” ujarnya.
Warinussy menjelaskan para korban menolak penyelesaian kasus Wasior Berdarah melalui jalur non yudisial, lantaran banyak korban yang dijadikan tersangka, ditangkap, ditahan, dianiaya hingga diperhadapkan ke pengadilan dan divonis sebagai orang yang bersalah. Padahal para korban itu tidak terlibat dalam peristiwa penyerangan 13 Juni 2001 yang menewaskan 5 anggota Brimob.
“Selain itu, berkas perkara sudah diajukan Komisi Nasional HAM RI ke Kejaksaan Agung, dan belum pernah ada penghentian penyidikan. Mereka [para korban] juga tidak ingin bertemu Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Masa Lalu, karena tidak mau diarahkan [untuk] menerima cara penyelesaian di luar jalur hukum,” kata Warinussy.
Ia menegaskan dalam kasus Wasior Berdarah diduga telah terjadi pelanggaran HAM berat berbentuk kejahatan terhadap kemanusiaan atau crime againts humanity. Kejahatan yang cenderung mengarah kepada genosida sebagaimana diatur dalam Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
“Hal itu tersirat dari Laporan Hasil Penyelidikan Komisi Nasional HAM mengenai tragedi Wasior Berdarah pada tahun 2006. Itu merupakan hasil penyelidikan yang dimulai sejak 17 Desember 2003 sampai dengan 17 Maret 2004,” ujarnya.
Warinussy menyatakan Presiden Joko Widodo semestinya mengambil langkah hukum untuk memastikan Komnas HAM dan Kejaksaan Agung menjalankan proses hukum dalam kasus itu. Ia menyatakan pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dalam peristiwa Wasior Berdarah saat ini masih hidup, dan harus diadili di Pengadilan HAM. “Para korban kasus Wasior yang masih hidup sangat mengharapkan Negara menjawab dan memenuhi rasa keadilan mereka,” katanya. (*)