Jayapura, Jubi – Rakyat Papua terus menerus menjadi korban praktik militerisme yang dilakukan Pemerintah Indonesia sejak 1963. Hal itu dinyatakan Ketua I Komite Nasional Papua Barat, Warius Sampari Wetipo pada seminar nasional bertajuk “Mewujudkan Semangat Perlawanan Rakyat untuk Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi Rakyat Papua Barat” yang berlangsung di Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, pada Senin (27/1/2025).
Warius Sampari Wetipo mengatakan KNPB lahir karena militerisme di Tanah Papua yang tidak pernah berhenti sejak 1 Mei 1963. Menurutnya, dalam praktiknya operasi militer di Tanah Papua tidak pernah berhenti sejak 1 Mei 1963, ketika bangsa Papua Barat dianeksasi Indonesia.
Sejak itulah operasi militer secara masif dan terstruktur terjadi di seluruh Tanah Papua. Meskipun Pemerintah Indonesia tidak secara resmi mengumumkan penerapan darurat militer di Tanah Papua, akan tetapi aparat keamanan terus menerus menggelar berbagai operasi militer di sana.
“Negara melakukan kejahatan melalui Operasi Trikora, Operasi Mandala, Operasi Wibawa, Operasi, Tumpas, Operasi Sadar, Operasi Ketupat, Operasi Senyap, Operasi Koteka. Sampai kini kita masih mendengar ada Operasi [Damai] Cartenz, Operasi Nemangkawi, Operasi Elang, dan seterusnya. Papua adalah zona darurat militer atau Daerah Operasi Militer,” kata Warpo Wetipo saat diwawancarai lebih lanjut melalui layanan aplikasi WhatsApp pada Selasa (28/1/2025).
Wetipo menyatakan sejak 2018 terjadi penyisiran di rumah warga, pembakaran gereja, sekolah, penembakan terhadap warga sipil oleh aparat TNI/Polri di berbagai wilayah Papua. Pengungsian besar-besaran terjadi di Kabupaten Nduga. Pasca itu, konflik bersenjata antara aparat TNI/Polri dan kelompok bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat atau TPNPB terjadi dan menyebar ke berbagai wilayah di Tanah Papua.
“Konflik bersenjata antara TPNPB dan TNI/Polri terus meluas di berbagai daerah di kita punya tanah air, seperti di Kabupaten Intan jaya, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Maybrat, Puncak Jaya, Timika, Paniai, Dogiyai, Lanny jaya, Puncak Jaya, dan terakhir di kabupaten Yalimo dan Tambrauw. Rakyat Papua adalah korban utama,” kata Wetipo.
Pengungsian besar-besaran membuat warga sipil kehilangan rumah, kehilangan sanak saudara. Sejumlah orang lanjut usia dan bayi yang meninggal di tengah hutan meninggal. Para pengungsi juga kehilangan ternak, tidak bisa berkebun, dan kehilangan mata pencaharian.
Badan Pengurus Pusat BPP KNPB Bersama KNPB Konsulat Wilayah Makassar menggelar seminar nasional bertajuk “Mewujudkan Semangat Perlawanan Rakyat untuk Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi Rakyat Papua Barat” di Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, pada Senin. Seminar itu dihadiri para pelajar, mahasiswa, pemuda, serta delegasi KNPB dari Manado, Gorontalo, dan Tomohon.
Seminar itu juga dihadiri perwakilan organisasi kemahasiswaan yang tergabung dalam Kelompok Cipayung, para aktivis HAM dan demokrasi, LBH Makassar, FRI-WP, para aktivis KNPB, AMPTPI dan AMP.
Aktivis Front Rakyat Indonesia untuk Pembebasan West Papua (FRI-WP) Wilayah Makassar, Arul mengulas sejarah Presiden Soekarno mengeluarkan Maklumat Trikora di Alun-alun Yogyakarta pada 19 Desember 1961, yang salah satu isinya adalah pembubaran negara boneka Papua buatan Belanda. Maklumat itu juga memerintahkan mobilisasi umum yang dipimpin Soekarno.
“Dampaknya adalah invasi militer besar-besaran di wilayah Irian Barat (West Papua). Kemerdekaan bangsa Papua Barat dikebiri pada 19 Desember 1961,” katanya.
Menurut Arul konspirasi politik ekonomi Amerika, Belanda, dan Indonesia dalam masa perebutan Irian Barat telah mengorbankan rakyat dan bangsa Papua Barat, karena rakyat dan bangsa Papua Barat tidak pernah dilibatkan dalam perundingan itu. “Itu menandakan bahwa, pertemuan hanya dilakukan oleh iblis, setan, dan disaksikan oleh hantu,” ujar Arul.
Aktivis FRI-WP Makassar lainnya, Nyora mengatakan masalah di Papua Barat itu, pihaknya melihat tidak hanya genosida, ekosida dan etnosida. Menurutnya, masalah utama yang dihadap rakyat Papua adalah kolonialisme, rasialisme, dan kapitalisme di Tanah Papua.
“Secara singkat, Indonesia melakukan praktik kolonialisme di Papua Barat, Yang berikutnya, rasisme sangat subur di Indonesia. Praktik rasisme itu sudah diterapkan sejak awal, sejak Bangsa Papua Barat dicaplok masuk ke dalam NKRI,” kata Nyora.
Nyora membeberkan bangsa Indonesia sebagai kolonial baru merasa dirinya superior terhadap bangsa Papua. Dalam setiap keputusan apa pun terkait status politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya, Orang Asli Papua tidak pernah dilibatkan sebagai subjek.
“Maka disitulah rasisme itu ditanamkan. Indonesia menganggap bangsa Papua masih terbelakang, kuno, primitif, bodoh, lemah, miskin. Begitulah watak kolonial,” katanya.
Kondisi rakyat di Tanah Papua semakin buruk, karena persoalan kapitalisme. Nyora menyebut Papua secara ekonomi dikuasai oleh kapitalisme asing dan Indonesia hanya menjadi anjing suruhan. Kondisi itu membuat masyarakat adat sering mengalami konflik agraria yang menjadi masalah serius dan melahirkan konflik baru.
“Indonesia hanya menjadi anjing suruhan para kapitalis asing. Tanah adat sekalipun dikapitalisasi oleh kaum kapital dan borjuasi lokal,” kata Nyora.
Advokat publik LBH Makassar, Rasak menyampaikan bahwa LBH ada untuk mengadvokasi dan perlindungan hukum terhadap para korban, terutama kaum lemah yang membutuhkan bantuan hukum. LBH Makassar mendampingi para korban dalam berbagai isu, termasuk para aktivis Papua yang menyampaikan pendapat dan melakukan protes dalam bentuk demonstrasi.
“Kami pernah diinterogasi aparat keamanan Indonesia, ‘kenapa kalian mengadvokasi isu Papua dan lain sebagainya’. Bagi LBH Makassar, mengadvokasi kaum lemah, kaum tertindas/terjajah perlu, [mereka] dilindungi hak-hak fundamentalnya,” kata Rasak. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!