Jayapura, Jubi – Papua Nugini berduka atas kepergian salah satu pendiri negaranya, Sir Julius Chan, yang meninggal dunia pada Kamis (30/1/2025) di Provinsi New Ireland.
Mantan Perdana Menteri dan arsitek ekonomi modern Papua Nugini ini tutup usia pada 85 tahun, mengakhiri perjalanan politiknya yang berlangsung lebih dari lima dekade sejak kemerdekaan negara itu pada 16 September 1975.
Sir Julius Chan dikenal sebagai “Orang Terakhir yang Bertahan,” merujuk pada statusnya sebagai anggota terakhir dari parlemen era kemerdekaan Papua Nugini. Kepergiannya menjadi simbol berakhirnya era pemimpin pendiri negara itu.
Perdana Menteri Papua Nugini, James Marape, dalam pernyataan resminya menyampaikan belasungkawa mendalam atas wafatnya Sir Julius Chan.
“Dengan penuh kesedihan, saya umumkan berpulangnya Last Man Standing. Jika Sir Michael Somare adalah bapak negara kita, maka almarhum Sir Julius adalah bapak ekonomi modern kita. Dialah yang mencetuskan mata uang Kina dan Toea, menjabat sebagai Menteri Keuangan pertama negara ini, serta menjadi Perdana Menteri kedua kita,” ujar Marape, seperti dikutip Jubi dari RNZ, Kamis (30/1/2025).
Sebagai penghormatan, pemerintah mengumumkan masa berkabung nasional selama satu minggu dan akan menyelenggarakan pemakaman kenegaraan.
Marape juga menyatakan bahwa peringatan 50 tahun kemerdekaan Papua Nugini pada September mendatang akan menjadi momen refleksi atas warisan yang ditinggalkan Sir Julius Chan.
Warisan Politik yang Penuh Warna
Dalam sejarah politik Papua Nugini, hanya sedikit tokoh yang memiliki jejak sekuat—dan sekontroversial—Sir Julius Chan.
Ia dikenal sebagai negarawan dengan keputusan-keputusan berani yang sering memicu pujian sekaligus kritik.
Memulai karier politiknya pada 1968, ia menjadi Menteri Keuangan pertama Papua Nugini setelah kemerdekaan. Dengan kebijakan yang pragmatis, ia mendorong investasi asing serta pengembangan sumber daya alam untuk menopang ekonomi negara yang baru berdiri.
Pada 1980, ia berhasil menggulingkan Perdana Menteri pertama, Sir Michael Somare, melalui mosi tidak percaya dan menjabat hingga 1982. Di periode ini, ia menghadapi tekanan ekonomi yang berat dan mengambil langkah-langkah seperti penghematan, pembangunan infrastruktur, serta devaluasi mata uang Kina.
Intervensi Kontroversial di Vanuatu
Salah satu keputusan berani Sir Julius terjadi pada 1980, saat ia mengizinkan pengerahan pasukan Papua Nugini ke Vanuatu untuk membantu menumpas pemberontakan terhadap pemerintahan yang baru merdeka.
“Pengerahan pasukan ini diperlukan untuk stabilitas regional dan menunjukkan bahwa Papua Nugini siap menjadi pemimpin di Pasifik,” tegasnya di parlemen saat itu.
Kritik tajam datang karena Papua Nugini sendiri masih merupakan negara muda yang belum mencapai satu dekade kemerdekaan. Namun, aksi tersebut memberi PNG reputasi baru di kawasan Pasifik, sebagai negara yang bersedia membela “Saudara Pasifik” ketika tidak ada pihak lain yang turun tangan.
Krisis Bougainville dan Keputusan yang Mengguncang
Masa jabatan keduanya sebagai Perdana Menteri (1994-1997) bertepatan dengan Perang Saudara Bougainville, konflik paling berdarah dalam sejarah Papua Nugini yang menelan lebih dari 20.000 korban jiwa.
Pada 1996, setelah frustrasi dengan kebuntuan perang dan keterbatasan militer PNG, pemerintahannya diam-diam menandatangani kontrak senilai $36 juta dengan Sandline International, kelompok tentara bayaran asal Inggris, untuk melumpuhkan Tentara Revolusioner Bougainville (BRA).
Ketika berita tentang kontrak ini bocor pada 1997, kemarahan publik meluas. Kepala Staf Angkatan Pertahanan PNG, Brigadir Jenderal Jerry Singirok, menolak perintah dan menangkap para tentara bayaran, lalu mendesak Sir Julius Chan mengundurkan diri.
Keputusan Sir Julius dianggap sebagai pengkhianatan terhadap kedaulatan negara. Di bawah tekanan besar, ia akhirnya mundur. Meski dibebaskan dari tuduhan korupsi, reputasi politiknya runtuh akibat skandal ini.
Kembali ke Politik dan Penghormatan Budaya
Setelah satu dekade menjauh dari politik nasional, Sir Julius Chan kembali sebagai Gubernur Provinsi New Ireland pada 2007. Ia mendorong otonomi provinsi dan mereformasi pendidikan, serta tetap dihormati di tingkat lokal.
Sebagai pemimpin, ia menunjukkan dedikasi tinggi terhadap budaya. Ia memperkuat peran MaiMai, sistem kepemimpinan adat New Ireland, sebagai bagian dari pemerintahan provinsi.
Salah satu warisan terbesarnya adalah program pensiun bagi penduduk lanjut usia di New Ireland, yang menjadi model bagi kebijakan sosial lainnya.
Bagi dunia, ia dikenal sebagai teknokrat dan arsitek ekonomi Papua Nugini. Bagi negaranya, ia adalah salah satu pemimpin paling berpengaruh. Namun, bagi rakyatnya di New Ireland, ia adalah seorang Kepala Suku Besar, seorang pemimpin yang dihormati.
Dalam beberapa minggu ke depan, rakyat New Ireland akan memberikan penghormatan adat tertinggi kepadanya. Sebagai bentuk penghormatan terakhir, mereka akan berkata:
“Lapun i go nau. Wok bilong em i pinis.” (Orang tua itu telah pergi, pekerjaannya telah selesai). (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!