Sentani, Jubi – Masyarakat adat yang memprotes kehadiran Proyek Strategis Nasional (PSN) Food Estate 2 juta hektare di Merauke kini mengalami teror psikologi serta intimidasi oleh aparat keamanan, orang-orang yang disinyalir dari pihak intelijen, pemerintah yang mengawal proses pembabatan hutan di Kampung Wanam dan Wogikel, Distrik Ilwayab, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan.
Menurut keterangan Ketua Forum Masyarakat adat Malind dan Kondodigun di Merauke, Simon Petrus Balagaize, suasana teror dan intimidasi mulai ia rasakan pasca 27 Agustus 2024. Waktu itu ia mengunjungi masyarakat di beberapa kampung untuk memastikan apakah perusahaan telah melakukan sosialisasi di kampung-kampung dan mengambil sampel tanah yang akan dijadikan tempat PSN.
Simon Balagaize menjelaskan waktu itu mereka melakukan pertemuan di Distrik Ilwayab, yang dihadiri oleh marga-marga dan ketua-ketua adat. Di dalam pertemuan tersebut mereka semua sepakat menolak PSN.
“Jadi saya berkunjung di beberapa kampung itu di Distrik Okaba, Distrik Tubang dan Distrik Ilwayab dimana lokasi PSN ini beroperasi yaitu Kampung Wanam dan Kampung Wogikel. Semua masyarakat mengaku tidak ada [mendapat] sosialisasi sama sekali. Masyarakat kaget dengan kehadiran perusahaan yang secara tiba-tiba sehingga dalam pertemuan itu kita semua sepakat menolak PSN,” kata Balagaize kepada Jubi saat dihubungi melalui aplikasi telepon dari Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, Rabu (30/10/2024).
Balagaize menyampaikan mereka kembali menggelar pertemuan dengan mengundang seluruh tokoh-tokoh masyarakat adat, pemilik hak ulayat, suku dan sub suku di Papua Selatan, dari suku Awyu, Mandobo, Muyu, Mappi dan Asmat untuk juga duduk berbicara terkait PSN. Dengan segala pertimbangan dan resiko, menurut Balagaize mereka semua sepakat tolak PSN.
“Teman-teman dari suku Awyu kan pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya to, di tempat mereka dimana hutan mereka dibabat habis sehingga mereka sangat mendukung kami bersama menolak PSN yang beroperasi dua juta hektare,” katanya.
Selang beberapa hari setelah pertemuan itu, Balagaize pergi ke Okaba. Di sana ia mendapat informasi bahwa dirinya dicari oleh enam orang yang diduga anggota TNI. Mereka bertanya kepada masyarakat di sekitar di Distrik Ilwayab mengenai keberadaannya.
“Waktu itu saya ditelpon oleh [seorang] bapak dan mengatakan kepada saya ‘anak ada TNI yang cari anak disini’ begitu, kemudian saya bilang, ‘kenapa mereka cari saya, saya kan tinggal di kampung saja, di tanah saya, tempat kelahiran saya, untuk apa mereka cari saya?’ begitu saya respon bapak itu,” ujarnya menirukan percakapan dirinya dengan warga kampung.
“Seandainya saya ada disitu baru enam anggota TNI itu datang, mungkin [saya] dianiaya atau ditangkap. Dan bagi saya ini adalah teror psikologis untuk menakut-nakuti kita yang menolak kehadiran PSN”, ujarnya.
Namun hal itu tak membuat Balagaize berhenti. Ia bertemu dengan Mama-mama dari beberapa distrik yang sudah resah dengan kehadiran perusahan PT. Jhonlin Group yang mengerjakan PSN dengan membongkar hutan yang besar tanpa melalui pertemuan atau ijin dari masyarakat adat.
“Masyarakat Distrik Ilwayab, Distrik Okaba, Distrik Tubang, Distrik Nguti dan Distrik Jagebob semua tolak [PSN]. Bahkan saya ketemu Mama-mama dan masyarakat disitu semua tolak PSN karena merasa perusahan itu mengancam keberlangsungan hidup masyarakat adat,” ujarnya.
Terkait meningkatnya suasana teror terhadap warga masyarakat adat, Pastor Pius Cornelis Manu Pr, anggota Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke, juga mengungkapkan adanya orang-orang yang diduga berperan intelejen memantau beberapa pertemuan dan diskusi dengan masyarakat adat di Pantai Merauke Kampung Payum terkait PSN.
“Jadi kita tidak bisa bicara bebas juga walaupun bicara dalam arti menyampaikan pendapat atau keluhan-keluhan kami terkait tanah kami yang digusur dan dibabat itu tetap intel selalu hadir. Kehadiran intel itu saja membuat orang hidupnya sudah tidak bebas. Jadi kita ini mau bicara hak-hak kami, tentang langkah-langkah yang perlu kami lakukan untuk menanggapi PSN ini, kok kami dimata-matai terus,” kata Pastor Pius.
Menurutnya kehadiran pihak-pihak yang memantau seperti intelijen itu masih wajar saat masyarakat adat melakukan unjuk rasa di DPR atau di Kantor Bupati, atau di Kantor MRP. “Tapi bagi saya yang tidak wajar adalah ketika masyarakat adat berkumpul ada intel, ini ada apa? Saya melihat ini keterlaluan sekali,” katanya.
Diancam militer
Ariston Moyuwend, warga Kampung Wanam, Distrik Ilwayab, mengatakan bahwa keponakannya mengalami intimidasi yang diduga dilakukan prajurit TNI di Dusun Ongabuk, Kampung Wanam.
Menurut Moyuwend, intimidasi itu terjadi saat keponakannya meminta perusahaan tidak memasuki wilayah sakral masyarakat adat Malind. Saat itu ia mendengar bunyi eskavator sehingga keponakannya pergi menuju aktivitas eskavator tersebut di wilayah ulayatnya. Ketika operator eskavator melihat anak itu, ia kaget lalu berteriak. Kemudian datang lima orang yang diduga anggota TNI bersenjata menghampiri dan mengancamnya.
“Jadi dia diancam lah disitu, kalau kamu menghalangi pekerjaan ini kami tembak dan kasih hancur ko pu kepala begitu. Karena keponakan saya menghalangi supaya ekskavator tidak menerobos wilayah sakral. Jadi dia bilang kalau bapak dorang mau tembak saya, silahkan tembak saja, saya mati di daerah saya dan kampung saya kok,” kata Moyuwend kepada Jubi melalui panggilan aplikasi, pada Kamis (31/10/2024), sambil menirukan ucapan keponakannya.
Moyuwend menuturkan bahwa lima orang yang diduga anggota TNI itu kemudian bertanya tempat tinggalnya, lalu mereka ikut pergi bersama-sama ke dusunnya dan bertemu dengan keluarga. Keponakan Moyuwend bahkan menunjukkan orang tuanya dan memperkenalkan mereka kepada orang-orang tersebut.
Saat itu pihak keluarga, lanjut Moyuwend sudah menjelaskan kepada kelima orang yang diduga TNI tersebut bahwa di tempat aktivitas eskavator itu adalah hutan sakral yang tidak boleh digusur. “Jadi bapak dorang arahkan ke tempat lain, tapi anggota ini tidak percaya dan mau menggusur terus,” kata Moyuwend.
Keluarga bahkan menyampaikan kepada kelima orang tersebut bahwa bapak mereka pernah menghilang di hutan sakral itu, sampai saat ini jasadnya belum ditemukan. Menurut Moyuwend untuk memastikan kebenaran penjelasan keluarga, kelima orang tersebut menghubungi komandan mereka.
“Dan komandan mereka menyampaikan memang benar tempat itu hutan sakral dan bapak mereka pernah hilang sampai saat ini belum ditemukan jasadnya. Akhirnya mereka tidak jadi menggusur hutan sakral itu dan mereka pindah arah penggusurannya,” ujar Moyuwend.
Moyuwend menambahkan situasi sekarang semakin sulit bagi masyarakat untuk mencari makan. Mereka kerap mengalami teror baik secara langsung maupun tidak langsung saat aparat keamanan bertanya-tanya aktivitas mereka.
“Kami cari makan, kamu selalu tanya terus kami ini siapa? Kami ini pemilik daerah ini, tanah ini kok selalu ditanya. Bahkan cari makan di rawa ka, hutan ka, kebun ka, itu dikasih batas waktu, jam sekian harus kembali, jangan lama dan sebagainya. Masyarakat merasa bingung bahwa sebelum PSN ini datang kita bebas, tapi darimana kalian menetapkan aturan begitu, memang kita ini apa orang yang bermasalah sehingga dikasih batas waktu, ini kan daerahnya kita,” ungkapnya.
Ariston Moyuwend juga menceritakan pengalaman seorang masyarakat lainnya di Kampung Wania yang mendapat ancaman karena menegur aktivitas orang yang diduga anggota TNI yang mengambil air di sumurnya. Warga keberatan karena air sumur tersebut tidak banyak, “Bapak ini menegur mereka, kalian sudah ambil tanah hutan baru kamu mau ambil lagi air di sumur,” kata Moyuwend menirukan kekesalan warga.
“Lalu anggota TNI ini tidak terima dengan omelan paman, dia pergi lapor kepada teman-teman lalu tiba banyak tentara satu truk besar tiba di tempat dimana bapak itu tinggal, mereka datang mengancam dan hampir saja mau menganiaya, tetapi karena ada Babinsa kampung, juga tokoh putra daerah dari Wanam, Oskar Balagaize, jadi mengamankan situasi itu. Kalau babinsa tidak ada, kemungkinan bapak itu dianiaya,” katanya.
Menurut Moyuwend saat ini ia mendapatkan informasi dari kampung bahwa sepanjang pinggiran kawasan lahan hutan yang digusur itu sudah dipasangi CCTV, sehingga masyarakat tidak bisa masuk atau pun mendekat.
Pastor Pius Cornelius Manu mengkhawatirkan suasana kehadiran aparat TNI bersenjata di kawasan pembongkaran hutan proyek PSN ini. “Ini teror sosial, bukan main-main. Karena perusahaan yang dibacking oleh kekuatan angkatan bersenjata, seolah-seolah ini zona perang. Ini kan tidak masuk akal, masa perusahaan kegiatan pertanian dilakukan oleh tentara semua. Ini ada apa? Memang di Indonesia ini tidak ada petani ka?” ujar pastor.
Menurut pastor Manu permasalahannya juga terletak pada ketiadaan sosialisasi dari kampung ke kampung, distrik ke distrik kepada masyarakat bahwa, misalnya, kehadiran perusahaan untuk menjalankan PSN itu akan dibantu oleh angkatan bersenjata TNI. “Sehingga ya wajar kalau masyarakat merasa ketakutan, tertekan dan merasa diteror secara psikologi. Soal mereka bisa mendengar itu program negara ya itu betul tapi masalahnya program negara masa pemerintah daerah saja tidak tahu, MRP, DPR tak tahu, apalagi masyarakat,” ujarnya.
Penolakan
Menurut Simon Balagaize protes masyarakat menolak PSN memuncak pada 24 September 2024. Saat itu ada kunjungan dari Pj Gubernur Provinsi Papua Selatan, bersama Komandan Korem 174 Animti Waninggap, Kodim 1707 Merauke, Kapolres Merauke dan Danramil, Ketua Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua atau BP3OKP Papua Selatan ke lokasi. Pada saat itu, masyarakat melakukan demonstrasi sembari menerima kedatangan rombongan Pj Gubernur.
Masyarakat adat dan Mama-mama semua mengenakan pakaian adat dan mengoleskan lumpur putih di bagian muka dan tubuhnya sebagai bagian prosesi adat.
“Mereka gantungkan sebuah tulisan di leher dengan potongan kardus segi empat yang bertuliskan ‘Kami Tolak Perusahaan Jhonlin Group dan PSN’ sambil melakukan tarian tradisional yaitu tarian Gasi sambil menyambut kedatangan Pj dan rombongannya itu. Dan saat itu masyarakat secara serempak menyampaikan penolakan kepada rombongan Pj gubernur itu,” kata Balagaise.
Setelah penolakan itulah, menurut dia, teror-teror mulai terjadi. Misalnya, ada anggota TNI yang datang ke kampungnya menanyakan alasan masyarakat melakukan prosesi adat saat aksi pada 24 September itu. “Siapa yang suruh kalian pakai lumpur putih itu? Yang suruh kalian tulis tolak Perusahaan itu siapa? Dan sebagainya,” kata Balagaize.
“Lalu masyarakat balas tidak ada yang menyuruh kami, seluruh masyarakat yang protes dan tolak perusahan itu lahir dari kesadaran sendiri bahwa tanah dan hutan mereka lagi dicuri begitu… masuk tidak permisi membuka lahan seperti pencuri ” kata Simon Balagaize menirukan jawaban masyarakat.
Sebelumnya pada 15 Oktober 2024, Komandan Kodim (Dandim) 1707/Merauke, Letkol Inf Jhony Nofriady SE M Han membantah bawah ada anggota prajurit mencari warga yang melakukan protes atas PSN Sawah. Kepada Jubi ia mengatakan prajurit TNI tidak melakukan intimidasi kepada warga.
Jhony mengatakan kehadiran prajurit TNI itu untuk mendukung ketahanan pangan demi kesejahteraan masyarakat. Ia mengatakan prajurit TNI tidak akan melakukan kekerasan terhadap masyarakat.
“TNI ada di sana untuk mendukung program nasional dan untuk menyejahterakan masyarakat di sana. Semakin ramai suatu daerah, semakin berputar perekonomian di sana. Kami [TNI juga] kasih bibit sayuran [buat masyarakat], dan hasilnya nanti di beli oleh kami,” ujarnya.
Sementara pada Rabu, 16 Oktober 2024, Kepala Pusat Penerangan Markas Besar TNI, Mayjen Haryanto kepada Jubi menyatakan jika benar ada prajurit TNI yang melakukan kekerasan terhadap warga, prajurit TNI itu akan diproses secara hukum. Ia menyatakan komandan lapangan prajurit TNI juga akan bertanggung jawab jika anak buah mereka terbukti melakukan kekerasan terhadap warga.
“Apabila memang benar ada kekerasan yang dilakukan personel TNI di lapangan maka komandan lapangan secara berjenjang akan bertanggung jawab. Tapi kita jangan sampai diprovokasi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dengan menyebarkan berita hoaks untuk keuntungan pribadi, sengaja merusak kemajuan dan kedamaian di Tanah Papua. Kita harus lebih jeli melihatnya, dan bertanya langsung kepada sumber yang lebih menguasai,” kata Haryanto kepada Jubi melalui layanan pesan WhasApp. (*)