Jayapura, Jubi – Persidangan pembacaan pledoi atau nota pembelaan terhadap Gerson Pigai dan Kamus Bayage dua mahasiswa Universitas Cenderawasih atau Uncen, kembali digelar di Pengadilan Negeri Jayapura, Kamis (13/4/2023).
Sidang kali ini usai adanya pembacaan tuntutan Jaksa Penuntut Umum atau JPU terhadap Gerson Pigai dan Kamus Bayage, dua mahasiswa yang ditangkap polisi dalam pembubaran demonstrasi di Kampus Universitas Cenderawasih, Abepura, Kota Jayapura, Papua, pada 16 November 2022, dengan tuntutan hukuman pidana penjara sembilan bulan.
Koalisi Penegak Hukum dan Hak Asasi Manusia Papua selaku penasihat hukum kedua terdakwa membacakan nota pembelaannya di hadapan majelis hakim yang diketuai Wempy William James Duka SH MH bersama hakim anggota Korneles Waroib SH dan Roberto Naibahob SH.
Emanuel Gobay dari Koalisi Penegak Hukum dan Hak Asasi Manusia Papua usai pembacaan pledoi menyebut, berdasarkan fakta mayoritas membuktikan jika beberapa unsur yang dituntut pada Pasal 160 Jo Pasal 212 (I) tidak terpenuhi.
Pertama, berkaitan dengan unsur barang siapa, di mana pada saat aksi demonstrasi ada banyak orang di lokasi kejadian. Dan itu pula disebutkan beberapa saksi yang dihadirkan, baik yang memberatkan maupun saksi yang meringankan.
Dimana, bahwa ada banyak orang saat demo terjadi yang jumlahnya sekitar 200 orang. Kemudian ada saksi lain menyebut kalau ada 20 orang, dari saksi memberatkan juga menyebutkan ada beberapa orang. Sehingga, berikatan dengan unsur “barang siapa” itu mengarah pada subjek hukum yang bisa dimintai pertanggungjawaban hukumnya.
“Kalau banyak orang seperti itu dan pasalnya 160 di mana orang yang memprovokasi dan 212, sementara klien kami tidak pernah memprovokasi maupun memukul siapa pun, malah mereka yang dipukul petugas,” kata Gobay.
Sehingga, kata Gobay, unsur “barang siapa” yang dituduhkan kepada kedua kliennya itu tidak terbukti.
Berikutnya berkiatan dengan unsur di muka umum, saat di tempat kejadian yaitu di Kampus Uncen, hal itu masuk dalam kategori di muka umum. Tetapi dalam buku komentar KUHP menyebutkan, bahwa orang akan dihukum apabila tindakannya itu di depan umum.
Berkaitan dengan itu, kembali pada tindakan penghasutan. Pada bagian lain, ahli pidana yang dihadirkan oleh JPU menyebutkan berkaitan dengan selebaran aksi demonstrasi atau pun panflet, apabila itu dilakukan menggunakan mekanisme hukum yang berlaku, tidak bisa dipidana.
“Klien kami dalam persidangan menyebutkan bahwa ia sudah memberikan surat pemberitahuan aksi, dimana hal itu sesuai dengan Undang-Undang nomor 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Apabila ada warga negara yang ingin mengekspresikan pendapatnya, harus mengirimkan surat pemberitahuan ke polisi dan itu sudah dilakukan pada tanggal 13 November 2022,” katanya.
Artinya, berkaitan dengan unsur di muka umum sesuai dengan pendapat ahli pidana yang dihadirkan tidak masuk, karena mereka [kedua terdakwa] sedang aksi dan aksi itu telah mengikuti mekanisme yang ada, sehingga unsur itu juga tidak terpenuhi.
Kaitannya dengan unsur secara lisan dan tulisan, dari saksi-saksi yang hadir menyebutkan bahwa kedua terdakwa saat aksi justru meminta kepada massa aksi untuk tidak boleh terprovokasi, atau bahkan melakukan tindakan anarkis.
Bahkan dua saksi polisi yang dihadirkan juga tidak pernah mendengar orasi-orasi yang mengarah pada tindakan pemukulan terhadap polisi dan sebagainya.
Pamflet yang dipegang juga berkaitan dengan isu aksi menolak KTT G-20, atas dasar itu dimana aksi itu juga sudah ada surat pemberitahuan dan sebagainya, dan sesuai dengan pendapat ahli pidana yang dihadirkan dimana jika aksi dilakukan menjalankan prosedur hukum, maka keduanya tidak bisa dipidana.
“Atas dasar itulah penyataan-pernyataan maupun tulisan-tulisan yang tidak ada muatan provokasi dan lainnya, tidak terbukti,” ucap Gobay.
Berkaitan dengan tindakan kekerasan atau penghasutan, kedua terdakwa sama sekali tidak terbukti, karena keduanya tidak pernah menghasut untuk kemudian melakukan atau menghasut dengan meminta massa untuk melakukan kekerasan pemukulan, tetapi malah keduanya hanya mengimbau agar tidak terprovokasi dan sebagainya.
“Atas dasar itu, dari berbagai unsur yang didakwakan yaitu unsur menghasut, membuat ada yang luka dan sebagainya tidak terpenuhi. Maka secara otomatis menunjukkan bahwa pasal yang didakwakan unsur-unsurnya tidak terpenuhi,” katanya.
Karena tidak terpenuhi itulah, maka selaku penasihat hukum ia menilai kedua terdakwa wajib dibebaskan. Ia pun melihat proses persidangan ini bagian dari fakta adanya penyalahgunaan sistem peradilan pidana yang sedang dipraktikkan, dan membuktikan bahwa terdakwa adalah korban kriminalisasi yang terjadi.
“Tujuannya untuk membungkam fakta atau pembungkaman ruang demokrasi di depan Uncen dengan pendekatan represif yang dilakukan oleh aparat keamanan yang hadir pada saat itu, sehingga kami meminta agar hakim membebaskan klien kami,” kata Gobay. (*)