Jayapura Jubi – Warga Kabupaten Biak Numfor, Papua marga Fairyo menyatakan menolak proyek pembangunan tempat perahu di kawasan Kali Ruar, Distrik Biak Timur.
Penolakan ini muncul sebab proyek yang kini dikerjakan Dinas Pariwisata Kabupaten Biak Numfor itu dinilai berpotensi merusak lingkungan di kawasan itu.
Mewakili keluarga besar marga Fairyo, Charles Erikson Dominggus Fairyo, mengatakan Kali Ruar merupakan kawasan hutan mangrove atau bakau. Apabila bila di wilayah itu dibangun tempat perahu, akan merusak kawasan hutan bakau dan berdampak pada ekosistem di sekitar kawasan itu.
“Kami minta Dinas Pariwisata Biak Numfor menghentikan proyek pembangunan jembatan [tempat] perahu di sekitar Kali Ruar. Kalau tidak dihentikan, kami akan tempuh jalur hukum,” kata Charles Fairyo dalam siaran pers tertulis yang diterima Jubi, Minggu (24/9/2023).
Menurutnya, pihaknya kini telah berkoordinasi dengan Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup (Gakkum KLHK).
“Akan ditinjau dan diteliti, apakah hutan mangrove termasuk dalam ekosistem cagar alam yang dilindungi atau tidak. Sekali lagi, kami tegaskan tanah atau kawasan proyek itu tidak diperjualbelikan. Pembangunan jembatan perahu itu tidak hanya berpotensi merusak hutan bakau, juga menyebabkan perpecahan antara keluarga,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kyadawun, Imanuel Rumayom, yang mengadvokasi penolakan warga, mengatakan selama ini pemerintah terus mengkampanyekan perlindungan terhadap hutan bakau, menanami kembali kawasan bakau yang telah hilang. Namun di Biak Numfor kawasan bakau kini justru terancam karena proyek pemerintah daerah.
Pihaknya meminta Bupati Biak Numfor, Herry Ario Naap, memerintahkan Dinas Pariwisata dan dinas terkait lain menghentikan proyek tempat perahu di sekitar Kali Ruar.
“Kami menolak proyek jembatan perahu itu. Mewakili marga Rumayom, pemilik hak ulayat di kawasan proyek itu, saya menyatakan areal itu tidak jual. Masih ada lokasi pantai lain untuk membangun jembatan perahu itu,” kata Imanuel Rumayom.
Rumayom menegaskan pihaknya menolak pembangunan tempat perahu di kawasan itu bukan tanpa alasan atau memiliki tujuan tertentu. Namun yang menjadi masalah dan dikhawatirkan adalah dampak lingkungan.
Sebab proyek itu akan merusak kawasan hutan bakau yang sudah ada secara turun temurun dan mesti dijaga.
“Kawasan itu warisan orang tua kami yang harus kami jaga. Kawasan itu tempat masyarakarlt mencari ikan untuk dijual. Mereka dapat uang dari situ. Kami khawatir proyek itu tidak hanya menghilangkan hutan bakau, juga akan merusak ekosistem laut di sekitar lokasi,” ucapnya.
Katanya, hutan bakau di Kali Ruar berfungsi mencegah terjadinya abrasi dan merupakan tempat ikan berkembang biak. Selain itu, di areal sekitar terdapat banyak terumbu karang.
Menurutnya, apabila mengacu pada aturan undang-undang (UU), perlindungan dan pengelolaan terhadap lingkungan hidup diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2009. Dalam Pasal 98 dijelaskan mengenai ancaman pidana bagi siapa pun yang merusak lingkungan.
“Ya, dalam hal ini termasuk kawasan hutan mangrove. Undang-undang itu mengatur setiap orang yang sengaja merusak lingkungan hidup, dipidana penjara paling singkat 3 tahun dan denda Rp 3 miliar, dan paling lama 10 tahun dan denda Rp 10 miliar,” ujar Imanuel Rumayom.
Imanuel Rumayom juga menyatakan apabila ada di antara marga Rumayom ataupun Fairyo yang disebut telah bertandatangan menyetujui proyek tersebut, mereka bukan berasal dari kalangan pihak pemilik ulayat.
“Itu bukan dari kami marga Rumayom dan Fairyo selaku pemilik hak ulayat. Kami mendukung pembangunan yang dilakukan pemerintah daerah di Biak Numfor, namun pemerintah daerah juga mesti mempertimbangkan aspek keadilan terhadap lingkungan, hutan, dan alam,” ucapnya. (*)