Jayapura, Jubi – Para orangtua penerima beasiswa otonomi khusus Papua memilih untuk menginap di Kantor Gubernur Provinsi Papua. Mereka menuntut kejelasan pembiayaan studi bagi anak-anak mereka yang sedang menempuih studi, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Dua spanduk dibentangkan di depan pelataran kantor gubernur bertuliskan “Pendidikan: Jalan Emas Menuju Papua Baru Jangan Rusak Masa Depan Papua”. Salah satu spanduk lainnya bertuliskan “Pendidikan yang Bermartabat adalah Hak Konstitusi warga negara dan merupakan Hak Asasi Manusia”.
Para orangtua mahasiswa ini telah berada di kantor gubernur sejak Kamis pagi, pukul 09.00, 15 Juni 2023, memulai dengan aksi demonstrasi dan telah menyampaikan aspirasi mereka. Namun lantaran tidak ada jawaban yang pasti para orangtua ini memilih menginap di kantor gubernur Papua.
“Kami akan bertahan sampai ada jawaban dari pemerintah. Kita akan berada di sini sampai ada jawaban. Kalau pun harus urusan ke Jakarta orangtua berangkat tapi harus ada orangtua yang tetap tinggal di sini,” kata Ketua Forum Komunikasi Orangtua Mahasiswa Penerima Beasiswa Otsus Dalam Negeri dan Luar Negeri, Jhon Reba, kepada Jubi, Kamis (15/6/2023) malam.
Di kantor senilai Rp400 Miliar yang diresmikan pada Desember 2022, itu para orangtua memilih bertahan menanti kejelasan biaya studi anak-anak mereka.
Sedikitnya ada 20 orangtua. Mereka tidur di pelataran kantor gubernur. Ada yang tidur bersandar pada tiang, tidur di lantai. Sedangkan para ibu-ibu tidur beralaskan tikar.
Sebagian orangtua berjajar duduk maupun berdiri di depan tangga kantor gubernur. Ada yang berdiri berjaga. Ada yang sambil menyeruput kopi, mengunyah pinang dan panganan seadanya. Mereka saling berbagi cerita tentang studi anaknya.
“Biaya [anak saya] tersendat mulai Januari 2022,” ujar salah satu orangtua mahasiswa, Hofni Yapen.
Pria 57 tahun itu menuturkan anaknya Jhoi Yapen (23) harus berhenti kuliah lantaran sejak Januari 2022 Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia atau BPSDM Papua tidak mengirimkan biaya hidup maupun biaya studi.
“Kuliah mengalami kendala sejak Januari 2022. Tidak ada pengiriman lagi [baik biaya studi maupun biaya hidup]. Tidak pernah dikirimkan sehingga proses kuliah tidak bisa lanjut. Kuliah [bisa lanjut] sampai ada penyelesaian administrasi di kampus dulu,” katanya.
Sejak tidak dikirimkan beasiswa, Yapen harus mengeluarkan biaya pribadi senilai Rp150 juta untuk membiayai studi anaknya. Namun, biaya yang dikirim tidak mencukupi untuk anaknya menyelesaikan studinya. Anaknya juga harus bekerja sampingan membayar apartemen dan kebutuhan hidup selama di New Zealand.
“Rp150 juta untuk selesaikan pendidikan tapi tidak cukup,” ujarnya.
Yapen menyatakan memilih memulangkan anaknya ke Papua lantaran tidak ada kejelasan pembiayaan beasiswa dan terancam dideportasi. Ia pun harus merogoh biaya sebesar Rp30 juta guna menerbangkan anaknya kembali ke Papua.
Yapen menyatakan telah menyerahkan bukti-bukti, baik boarding pass pesawat hingga bukti kwitansi biaya pendidikan anaknya ke BPSDM Papua. Namun, Yapen mengaku sampai dengan saat ini BPSDM Papua belum menggantikan uang pribadinya.
“Sudah saya kasih masuk semua pada Mei 2023, tetapi sampai sekarang tidak ada ganti dari BPSDM,” katanya.
Di tengah ketidakjelasan pembiayaan beasiswa, Yapen berharap Pemerintah Provinsi Papua dapat mencarikan solusi bagi anak-anak mereka. Ia berharap anaknya dapat menyelesaikan studi hingga selesai.
“Kalau bisa dibiayai sampai hingga selesai pendidikan. Seharusnya selesai tahun ini [anak saya],” ujarnya.
Pada 2021, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua Baru) diundangkan. UU Otsus Papua Baru berikut aturan turunannya mengatur sebagian besar proporsi Dana Otonomi Khusus Papua dikelola pemerintah kabupaten/kota.
Akibatnya, Pemerintah Provinsi Papua tidak lagi memiliki anggaran untuk menjalankan sejumlah program yang dibiayai Dana Otsus Papua, termasuk program SUP. Pembiayaan beasiswa bagi lebih dari 2.000 mahasiswa asli Papua yang sedang berkuliah di dalam dan luar negeri hanya dapat berlanjut jika pengelolaan program itu dialihkan dari Pemerintah Provinsi Papua kepada pemerintah kabupaten/kota.
Ketua Forum Komunikasi Orangtua Mahasiswa Penerima Beasiswa Otsus Dalam Negeri dan Luar Negeri, Jhon Reba menyatakan ribuan mahasiswa beasiswa terancam tidak bisa melanjutkan pendidikan dan dideportasi dari negara studinya. Setidaknya tercatat 3.171 mahasiswa penerima beasiswa otonomi khusus tersebar di dalam negeri maupun luar negeri.
Ribuan mahasiswa itu berasal dari Provinsi Papua sebanyak 1.717 mahasiswa, sedangkan sisanya 1.454 mahasiswa tersebar di Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Barat dan Papua Barat Daya.
“Proses pendidikan jalan terus, dong harus bayar uang kuliah, sekarang mau ujian semester dong belum bayar uang kuliah. Apakah mereka akan mengikuti semester. Dorang belajar sekarang dengan membuat surat pernyataan sendiri bahwa akan menyelesaikan biaya kuliah. Kasihan-anak-anak itu. Kita khawatir sampai kapan ada kepastian,” ujarnya.
Reba menyatakan Pemerintah Provinsi Papua melalui BPSDM Papua terkesan melepaskan tanggung jawab. Ia menyatakan hal itu dibuktikan dengan lambatnya pelimpahan kewenangan pengurusan mahasiswa beasiswa Otsus ke kabupaten/kota.
“Hingga kini tidak ada pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Provinsi Papua melalui BPSDM ke Kabupaten/kota. Harus ada data yang diserahkan ke kabupaten/kota. Bagaimana pemerintah kabupaten/kota mau menganggarkan kalau tidak ada data. Acuan kan data. Supaya kabupaten/kota tau dia punya mahasiswa dalam maupun luar negeri berapa dan masing-masing punya biaya. Sementara data di tahan sama BPSDM Papua,” katanya.
Reba menyatakan Pemerintah Provinsi Papua melalui BPSDM Papua secepatnya mencarikan solusi bagi mahasiswa penerima beasiswa. Solusi itu adalah Pemerintah Provinsi maupun kabupaten/kota harus menyediakan anggaran otonomi khusus untuk membiayai mahasiswa tersebut.
“Selama ini sudah melalui proses surat menyurat, pertemuan tapi kitong mau ada langkah dibuat oleh pemerintah dan langkah-langkah itu ada solusi begitu. Kita paham urusan mekanisme keuangan itu sesuatu yang tidak mudah. Yang menjadi masalah beasiswa ini bukan program baru, ini sudah program lama,” ujarnya.
Hingga pukul 02.51 jumat subuh para orangtua masih berada di Kantor Gubernur Papua. Sejumlah Satpol-PP dan anggota Brimob ikut menjaga orangtua. Mereka turut prihatin atas kondisi yang dialami orangtua mahasiswa penerima beasiswa tersebut.
“Rasa kasihan lah. Mau di pikir juga [Itu orangtua perjuangkan anak-anak mereka]. Kasihan di tengah jalan ditelantarkan begitu. Kasihanilah,” ujar salah satu anggota Satpol-PP, Sineri.(*)