Jayapura, Jubi – Kehadiran Zending di Tanah Papua sejak 1855 membuktikan bahwa Orang Papua yang selama ini dianggap terbelakang sebenarnya sudah lama bersentuhan dengan dunia modern, termasuk pendidikan modern. Demikian disampaikan Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia atau ELSHAM Papua Pendeta Matheus Adadikam kepada Jubi, Kamis (19/10/2023).
Pdt Adadikam yang diwawancari di kantornya Jl Kalibobo, Hedam, Kecamatan Heram, Kota Jayapura, Papua mengatakan seringkali orang mengira bahwa orang Papua itu tidak berpendidikan sebelum pendidikan formal hadir di Tanah Papua. Padahal, katanya, di setiap budaya manapun di seluruh dunia, itu ada sistem pendidikan yang berlaku dalam komunitas, dalam adat mereka, dalam budaya mereka, lingkup orang-orang itu, di negara manapun sama, di seluruh dunia.
“Hanya saja memang pendidikan yang kita kenal ada dua, yaitu formal dan nonformal. Nah, jauh sebelum injil masuk nilai-nilai yang dikembangkan dalam adat dari suku-suku di Papua, dari tujuh wilayah adat yang ada di Papua, itu semua tertata dengan rapi sekali,” kata Pdt Adadikam.
Sedangkan pendidikan zaman Zending, lanjutnya, tidak menggeser budaya orang Papua, melainkan lebih mempererat rasa persaudaraan orang Papua. Orang tua yang hidup di zaman itu diajar menggunakan alat-alat kerja yang sudah maju. Para penginjil tidak hanya menyebarkan injil, tapi juga mengajarkan berbagai keterampilan menggunakan alat kerja berbahan besi untuk menunjang kehidupan orang-orang Papua.
“Zaman Zending masuk itu sebenarnya berbenturan dengan kehidupan budaya di Tanah Papua, karena mereka masuk ke Papua dengan memperkenalkan budaya modern,” ujarnya.
Setiap suku, lanjutnya, memiliki sistem kekerabatan dan budaya yang terpelihara dengan baik. Itulah yang membangun kekuatan di tengah masyarakat, dalam budaya itu. Budaya itu karakter dari suku itu sendiri.
“Nah, memang kalau kita mendengar laporan-laporan dari para Zending waktu awal pekabaran injil tidak mudah menghadapi orang Papua, karena karakteristik yang berbeda-beda. Tapi ada kuncinya sebenarnya, bagaimana Belanda bisa memenangkan hati orang Papua,” kata Adadikam.
Ada satu perubahan pesat yang terjadi pada saat itu, tapi tidak serta-merta memaksa orang Papua. Ada cara tersendiri pada saat itu yang diterapkan untuk tidak menggeser budaya orang-orang Papua sehingga perlahan-lahan orang Papua mulai menerima perubahan.
“Menariknya, meskipun berbenturan dengan budaya orang Papua yang beraneka ragam, dari berbagai suku, keret, bahasa, namun pola pendidikan yang diterapkan saat itu, yaitu sekolah adat, yang diterapkan secara tradisional bisa bermanfaat dan dapat menolong orang Papua untuk berinteraksi dengan dunia modern,” ujarnya.
Perlu kita tahu, katanya, pekabaran Injil itu di mana-mana selalu masuk berbarengan dengan pendidikan. Pendidikan itu dalam pengertian yang umum, karena orang dilatih untuk, misalnya pertukangan, berkebun, dan lain-lain, dengan pola yang semi modern. Karena orang Papua di adat masing-masing itu sudah punya pola sendiri yang diturunkan oleh nenek moyang, turun-temurun, di manapun, di suku manapun di Papua.
Pendidikan formal pertama dan Izaak Sammuel Kijne
Menurut Pdt Matheus Adadikam pendidikan formal mula-mula atau awal di Papua dilakukan oleh Zending dan lebih intens ketika Izaak Samuel Kijne datang dari Belanda sebagai guru muda. Ia direkrut oleh Zending di Belanda sebagai seorang pengajar ke New Guinea atau Papua.
Kijne mulai merintis pendidikan formal di Tanah Papua tanpa menggabungkan anak-anak Tuan atau anak-anak penginjil dan pendatang. Berbeda dengan pendidikan yang diselenggarakan di Mansinam yang muridnya bukan hanya berasal dari Papua, tapi juga dari Ambon, Sangir dan keturunan Cina, di Wondama pendidikan hanya dikhususkan bagi anak-anak asli Papua yang berasal dari Biak, Serui, Numfor, Sorong, Jayapura, dan Nabire.
“Yang menarik dari keputusan Kijne adalah kalau anak-anak Papua digabung dengan pendatang, nanti mereka minder, jadi biarkan mereka sendiri supaya mereka bersaing sendiri. Jadi ketika mereka dipindahkan, mereka mulai dibina dari konteks pemahaman budaya secara perlahan, sampai bagaimana Kijne mengatur supaya proses transfer pengetahuan dan ilmu yang modern itu bisa mulai diterapkan,” katanya.
Awal mula pendidikan modern ini dilakukan di Wondama di mana pendidikan guru desa di Wondama, yaitu di Kampung Miei, Distrik Wasior Kota dibuka. Teluk Wondama menjadi tempat pertama dikembangkannya pendidikan berpola asrama di mana anak-anak dapat bekerja dan mandiri dalam segala hal demi masa depan bangsa dan Tanah Papua. Pada 25 Oktober 1925 tibalah di Miei, Dominee Izaak Samuel Kijne, Johan Ariks, dan C M Gossal bersama 35 anak sekolah.
“Pola pendidikan sekolah berasrama yang diterapkan Kijne juga sangat berbeda dengan zaman sekarang di Papua, di mana setiap anak dari berbagai suku di Papua digabungkan dan dididik secara bersamaan. Beda dengan sekarang di mana setiap daerah bangun asramanya masing-masing dan kadang tidak ada pengawasan yang baik untuk asrama yang didirikan pemerintah daerah,” kata Adadikam.
Sekolah pendidikan guru desa itu didirikan khusus untuk putra-putri asal Papua di wilayah bagian Barat dan Utara Papua. Pembukaan sekolah guru itu untuk menjawab kebutuhan guru dengan dibukanya beberapa sekolah kampung di Papua. Melalui lembaga pendidikan itu kelompok awal elit Papua bukan hanya menerima materi secara perlahan, tetapi juga mulai menyadari makna ‘kepapuaan’ di antara mereka, yaitu berbeda-beda namun tetap satu.
“Ada sesuatu perlakuan berbeda yang terjadi pada saat itu, Kijne mulai memisahkan anak-anak Papua dan mendidik mereka tanpa mengubah identitas dan jati diri orang Papua,” kata Adadikam.
Kijne memiliki pola dan cara tersendiri untuk mengajarkan kepada anak-anak Papua, seperti baca dan tulis. Ia mengajak mereka untuk menikmati alam sambil mengajar mereka. Kijne juga mengajarkan bagaimana anak-anak pada saat itu harus mencintai alamnya serta bertanggung jawab untuk menjaga alamnya.
“Kijne juga menciptakan lagu yang berjudul ‘Hai Tanahku Papua’, lagu yang mengajarkan kepada orang-orang Papua bagaimana mereka harus memperlakukan alam di sekitar mereka,” ujarnya.
Pola didikan asrama yang diterapkan Zending pada Zaman itu, menurut Pdt Matheus Adadikam benar-benar menolong orang Papua. Ada berbagai hal yang bisa menjadi bukti nyata di mana beberapa murid zaman Zending setelah menyelesaikan pendidikan mereka mulai terjun ke dunia pekerjaan sebagai guru, perawat, dan bahkan mereka berhasil menjadi pejabat.
Di Wondama ini, kata Pdt Adadikam, Kijne juga menyampaikan doa sulungnya yang sangat terkenal pada 25 Oktober 1925. Doa itu berbunyi, “Di atas batu ini saya meletakan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki pengetahuan tinggi, akal budi dan makrifat, tidak dapat memimpin bangsa ini, tetapi bangsa ini akan bangkit memimpin dirinya sendiri.” (*)