Jayapura, Jubi – Dickson Tanda berdiri di tengah ruangan yang penuh sesak. Dia berbicara di hadapan sekitar 40 orang yang memenuhi ruangan tersebut.
Tanda menegaskan pentingnya penyelamatan terhadap korban kekerasan dengan tuduhan sebagai penganut sihir. Menurutnya, menyelamatkan korban sama pentingnya dengan pengungkapan kasus dan akar permasalahannya.
Tanda ialah sosok pria sederhana dan berperawakan sedang. Para hadirin pun menyimak monolog pria berkaus oblong dan celana jeans tersebut. Mereka mencermati kemungkinan solusi jitu dalam mengatasi kekerasan bertuduhkan sihir di Papua Nugini.
“Saya bukan polisi. Namun, orang-orang menelepon saya di tengah malam saat ada perempuan disiksa. Saya harus menanggapinya,” kata Tanda, dikutip RNZ, Senin (3/3/2025) .
Tanda telah banyak menyelamatkan perempuan dan anak dalam 10 tahun terakhir. Mereka menjadi korban penyiksaan akibat tuduhan sebagai penganut sihir atau ilmu hitam.
Tanda mengawali tugas mulia tersebut saat menyelamatkan tiga perempuan pada 2015. Setelah itu, Uskup Keuskupan Katolik Wabag meminta Tanda membantu mereka dalam menangani masalah kekerasan tersebut.
Landasan keimanan Katolik mendorong dan meyakinkannya atas pilihan dalam membela para korban kekerasan. Tanda menegaskan tindak kekerasan bertentangan dengan ajaran Katolik dan martabat manusia.
“Seseorang bertanya padaku, ‘Apa yang kau perjuangkan?’ Aku berkata, ‘Aku memperjuangkan cinta dari saudara perempuanku, dan ibuku,'” ujarnya.
Tanda sering menghabiskan waktu hingga berjam-jam di lokasi terpencil pada malam hari. Dia memperjuangkan pembebasan korban.
Tanda memiliki banyak data dari lapangan. Saking banyaknya kasus yang pernah ditangani, dia tidak bisa lagi menghitung jumlahnya.
Satu dari banyak kasus paling memilukan yang pernah diadvokasi Tanda ialah kejadian pada seorang perempuan tua. Dia disiksa selama berjam-jam oleh warga desa.
“Dia disiksa pada lubang dangkal. Saya berkata, ‘Kalian [warga] sudah cukup menyakitinya. Dia akan mati. Jadi, biarkan aku yang membawanya,” kata Tanda.
Akibat penganiayaan itu, perempuan tua tersebut mengalami luka bakar serius di sekujur tubuh. Butuh delapan jam bagi Tanda, untuk memohon warga membebaskan korban.
Tanda juga mesti bersusah payah mengevakuasi korban tersebut. Dia memanggulnya dengan melintasi jembatan kawat dan jalan setapak untuk menuju mobil penjemputan.
“Cairan dari luka bakarnya menetes ke sekujur tubuh saya, tetapi saya tidak peduli. Begitu berhasil membawanya, saya menelepon uskup untuk mengirim pendeta dengan kendaraan,” kata Tanda.
Meskipun Tanda telah menolong sekuat tenaga, nyawa perempuan tersebut tidak terselamatkan. Korban, akhirnya meninggal di rumah sakit.

Hindari trauma
Tanda ialah sedikit dari warga Papua Nugini yang peduli akan nasib korban kekerasan dengan tudingan sebagai penganut sihir. Meskipun tidak memiliki fasilitas rehabilitasi, dia tetap menampung, dan merawat para korban.
Banyak kemirisan dan juga harapan menyertai pengabdian Tanda. Salah satunya ialah saat menyelamatkan korban yang sedang mengandung.
“Saya khawatir dia akan mengalami komplikasi. Namun, bayinya lahir dengan selamat,” ujar Tanda.
Tanda telah menemukan tujuan baru dalam hidupnya. Dia menganggap para penyintas merupakan keluarga besarnya.
Istri Tanda juga ikut merawat anak-anak yang ditingal mati ibunya akibat penyiksaan. Namun, dia mengaku sangat mengkhawatirkan masa depan mereka jika suatu saat nanti diadopsi keluarga lain.
Tanda juga punya cara tersendiri dalam mengatasi trauma pribadi. Dia selalu menghabiskan waktu dengan berlama-lama di sungai saat membersihkan diri seusai mengevakuasi korban.
“Kemudian, saya pulang, dan bermain dengan anak-anak. Saya bernyanyi dan memainkan gitar,” ujarnya.
Tanda juga tidak pernah menceritakan perihal buruk apa pun di lapangan kepada istrinya. Baginya, kejadian-kejadian itu memang tidak pantas diceritakan di rumah. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!