Jayapura, Jubi – Seorang wanita salah satu korban dari kelompok yang diculik di Papua Nugini (PNG) pada Februari telah angkat bicara setelah penculikan tersebut. Dia melaporkan ada pemerkosaan terhadap 17 siswi di daerah yang sama di Dataran Tinggi Selatan, awal Juni ini.
“Cathy Alex, akademisi Australia kelahiran Selandia Baru Bryce Barker, dan dua peneliti wanita, dibawa ke wilayah Bosavi dan ditahan untuk tebusan,” demikian dikutip jubi.id dari https://www.rnz.co.nz/international/pacific-new.
Dia menjelaskan mereka semua dibebaskan ketika pemerintah Papua Nugini membayar uang tebusan sebesar US$28.000 kepada para penculik untuk menjamin pembebasan mereka.
Alex, yang mengepalai Advancing Women’s Leaders’ Network, mengatakan apa yang telah dilalui oleh 17 gadis yang diculik mendorongnya untuk angkat bicara, setelah negara, yang dia merasa yakin, tidak melakukan apa-apa.
Seorang penduduk setempat mengatakan anggota keluarga gadis-gadis itu bernegosiasi dengan para penculik dan akhirnya bisa membebaskan mereka.
Penduduk kampung dilaporkan telah membayar sejumlah uang tunai dan beberapa ekor babi sebagai tebusan
Alex mengatakan dia dan wanita lain dalam kelompoknya takut mereka akan diperkosa ketika diculik.
Perdana Menteri PNG, James Marape, berbagi foto di Facebook dua sandera, termasuk profesor Bryce Barker, setelah pembebasan mereka. Profesor Bryce Barker dan seorang wanita yang tidak disebutkan namanya setelah dibebaskan oleh penculik pada bulan Februari.
“Hidup saya tertolong meski ada saat dimana kami bertiga dipaksa pergi ke hutan agar mereka bisa melakukan ini pada kami. Kami memilih mati daripada diperkosa. Mungkin laki-laki tidak akan mengerti, tapi bagi perempuan atau anak perempuan, perkosaan jauh lebih buruk daripada kematian,” katanya.
Alex mengatakan mereka telah menerima komitmen bahwa mereka tidak akan disentuh, jadi pengungkapan tentang apa yang terjadi pada gadis remaja itu sangat mengerikan.
Dia mengatakan pengalamannya memberinya wawasan tentang usia dan temperamen para penculik.
“Anak-anak muda, 16 tahun ke atas, beberapa lainnya. Tidak ada Tok Pisin, tidak ada bahasa Inggris. Ini adalah generasi yang ada di luar sana yang tidak memiliki kesempatan. Apa yang terjadi di Bosavi adalah sekilas, gambaran gelap ke mana arah negara kita,” katanya.
Gadis-gadis remaja dari penculikan terakhir sekarang aman dan dirawat tetapi mereka tidak dapat kembali ke kampung mereka karena di sana terlalu berbahaya bagi mereka.
Cathy Alex mengatakan ada kebutuhan untuk fokus memberikan pelayanan ke daerah kampung terpencil secepat mungkin.
Dia mengatakan orang-orang tangguh dan bisa berubah, selama kepemimpinan yang tepat diberikan.
Bosavi adalah salah satu daerah terpencil di PNG, tanpa jalan raya, dan sedikit layanan
Daerah itu mengalami kerusakan yang signifikan selama gempa pada tahun 2018.
Mengutip laman resmi https://joshuaproject.net menyebutkan bahwa orang-orang Kaluli tinggal di lereng utara dan barat Gunung Bosavi, gunung berapi mati setinggi 8.500 kaki di Provinsi Dataran Tinggi Selatan PNG.
Mereka tinggal di bagian hutan yang terpencil, hanya dapat diakses oleh pesawat kecil yang mendarat di salah satu dari dua lapangan terbang rumput pendek di daerah tersebut.
Mereka menggunakan teknik berburu dan meramu serta pertanian subsisten untuk menyediakan makanan, dan hampir secara eksklusif mengandalkan bahan hutan untuk bahan perumahan.
Orang-orang Kaluli secara tradisional menganut animisme, dan Injil pertama kali diperkenalkan ke daerah tersebut pada awal tahun 1960-an. Saat ini terdapat 17 gereja kecil di seluruh wilayah, satu di setiap kampung Kaluli. Gereja-gereja ini kecil dan memiliki sedikit sumber daya, tetapi mereka sangat ingin mendapatkan Firman Tuhan dalam bahasa Kaluli.
Kaluli, sebuah bahasa Papua, adalah bagian dari rumpun bahasa Bosavi, yang mencakup sekitar 20 bahasa yang terkait secara longgar. (*)