Jayapura, Jubi – Tiga wilayah di pesisir pantai Kota Jayapura, Provinsi Papua bersentuhan langsung dengan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun atau B3. Ketiga wilayah adalah Teluk Youtefa, Teluk Port Numbay, dan Tempat Pembuangan Akhir atau TPA Koya Koso.
Demikian disampaikan Yehuda Hamokwarong, staf pengajar Program Studi Geografi, Fakultas Pendidikan Universitas Cenderawasih yang juga aktivis lingkungan kepada Jubi, Rabu (4/10/2023).
Terkait dengan pencemaran yang terjadi akibat limbah B3 itu, Hamokwarong meminta Pemerintah Provinsi Papua dan Pemeritah Kota Jayapura agar menangani dan memantau dengan serius pengolahan limbah B3 di tiap sektor di Kota Jayapura. Selain itu pihak-pihak yang menghasilkan limbah B3 harus serius menangani limbah B3 yang mereka hasilkan.
Limbah B3 di Kota Jayapura, kata Hamokwarong, kebanyakan dihasilkan dari rumah sakit yang ada di Kota Jayapura. Kemudian dari sejumlah perusahaan atau industri.
“Misalnya perhotelan, mereka seharusnya juga memiliki tempat pengolahan limbah B3, misalnya penggunaan genset, itu kan menghasilkan limbah B3 dari oli yang digunakan. Nah, pertanyaannya, selama ini dibuang ke mana?” katanya.
Menurut Hamokwarong selama ini limbah B3 di Kota Jayapura lebih banyak berakhir di tiga tempat kawasan pesisir itu, terutama limbah plastik dan limbah padat lainnya. Ini akibat sampah tersebut tidak ditangani dengan baik oleh Pemerintah Kota Jayapura dan Pemerintah Provinsi Papua.
Di kawasan pantai Kota Jayapura itu limbah B3 bermuara di sepanjang pesisir seperti Dok 2, Dok 4, Dok 5, Dok 7, Dok 8, Dok 9, Hamadi, Argapura Bawah, Tobati, Enggros, Kayu Pulau, Kayu Batu, Nafri, Teluk Youtefa, dan di sekitar PLTU Holtekamp.
“Setiap orang yang hidup di permukaan sekitar tempat-tempat itu pasti terkena dampaknya,” ujarnya.
Ia mempertanyakan ke mana limbah itu dibuang ketika Instalasi Pengolahan Limbah B3 di Koya Koso, Kota Jayapura tidak berfungsinya dengan baik.
“Limbah itu kemungkinan ada dalam biota perairan, yaitu pada ikan, bisa kerang, bisa plankton, subplankton, bisa di dalam darah manusia dari mereka yang bermukim di sekitar pesisir pantai yang mengkonsumsi ikan, misalnya orang-orang di Kayu Batu, Kayu Pulau, Abe Pantai, terus Nafri,” kata Hamokwarong.
Dampak limbah B3 itu, katanya, jika masuk ke pori-pori kulit manusia mengakibatkan penyumbatan saluran aliran darah. Jika orang mengonsumsi ikan yang sudah terkontaminasi limbah B3 maka otomatis orang yang mengonsumsi juga terkena dampaknya.
Untuk membuktikan apakah ikan sudah tercemar limbah B3, katanya, bisa dengan menempelkan tangan ke kulit ikan tersebut. Kalau kulit ikan itu sedikit berminyak maka sudah tercemar.
Untuk mengatasi pencemaran itu Hamokwarong mengusulkan agar Pemkot Jayapura dan Pemprov Papua melakukan studi untuk melihat sampel B3 yang tinggal di dalam biota laut atau pada tubuh manusia.
“Karena ada peraturan ambang batas dari limbah B3 atau baku mutu, di atas dari itu tidak boleh, harus di bawah dari nilai ambang batas,” ujarnya.
Terkait penanganan limbah B3 di Kota Jayapura, Hamokwarong mempertanyakan bagaimana pengolahan limbah semua rumah sakit dan fasilitas kesehatan lain di Kota Jayapura. Bagaimana pengolahan limbah di RS Dok 2, RS Bhayangkara, RS Angkatan Laut, puskesmas-puskesmas, dan lainnya.
“Apakah sudah disediakan tempat pengolahan limbah B3? Saya sendiri belum tahu, tapi setahu saya setiap rumah sakit itu wajib ada penanganan limbah B3. Tapi walaupun dibakar di rumah sakit itu berbahaya bagi lingkungan sekitarnya,” ujarnya.
Limbah di rumah sakit, jelasnya, bermacam-macam. Ada limbah cair yang dihasilkan dari peralatan bekas operasi dan cuci darah. Ada peralatan medis bekas pakai. Ada juga limbah B3 yang diekstrak atau ditahan dan tidak dibuang. “Itu pengolahannya bagaimana? Biasanya ada instalasinya,” katanya.
Hamokwarong menceritakan pada 2008 bersama mahasiswanya dari Program Studi Geografi FKIP Uncen melakukan penanaman mangrove di dekat dermaga Abe Pantai. Itu dilakukan untuk mencegah sampah dan limbah B3 agar tidak langsung terbuang ke laut dan dimakan biota laut.
Tujuan penanaman mangrove, karena akar dari tanaman mangrove dapat menahan sampah yang mengikuti aliran air sungai dari Kali Acai yang bermuara ke dermaga Abe Pantai. Mangrove juga membantu mengendapkan limbah B3.
Proses pengendapan limbah B3 yang dilakukan tanaman mangrove, katanya, adalah menyerap limbah tersebut melalui akar, lalu masuk ke batang tanaman. Setelah itu ke daun dari tanaman, lalu mengalami fotosintesis dan gugur mengalami pengendapan.
“Dengan melakukan hal itu kami berharap dapat mengurangi kerusakan lingkungan di sepanjang pesisir pantai di Kota Jayapura. Kami juga pernah melakukan penanaman mangrove di sepanjang lokasi jembatan Ring Road,” katanya.
Hamokwarong menjelaskan alam adalah laboratorium terbesar dan alami yang bisa digunakan untuk bereksperimen secara gratis. Ia mengingatkan agar tidak merusak alam, karena jika alam terkontaminasi zat-zat berbahaya seperti limbah B3 maka manusia terkena imbasnya.
Ia menambahkan ada siklus di mana manusia harus benar-benar menyadari bahwa dari alam manusia mengambil makanan, dari alam mengambil air untuk diminum dan digunakan untuk keperluan sehari-hari.
“Jika alam dikotori maka kita juga sedang mengotori tubuh kita dengan beberapa sampah plastik yang dimakan oleh biota laut, beberapa hewan mamalia seperti sapi dan babi, tanaman yang menyerap limbah B3 dalam bentuk cair ke dalam tubuh kita,” ujarnya. (*)