Jayapura, Jubi- Film dokumenter Jubi TV berjudul “Sa Punya Nama Pengungsi” karya sutradara Yuliana Lantipo baru saja diluncurkan. Film ini menceritakan kisah pilu anak anak pengungsi, kaum perempuan, mama mama dan orang tua lanjut usia di daerah pengungsian akibat konflik TNI vs TPNPB di tanah Papua.
Bahkan ada anak yang lahir bertepatan di lokasi pengungsi sehingga ia pun diberi nama, Pengungsi. “Pengungsi sudah mandi, kenapa tidak mandi, dingin kah,”begitulah salah satu potongan dialog dalam film berjudul, Sa Punya Nama Pengungsi.
Pada Film ini, sutradaranya memotret peristiwa terkini di Nduga dan Maybrat saat era Reformasi dan konflik masih terus terjadi di tanah Papua. Presiden Jokowi telah berkali-kali berkunjung ke tanah Papua. Tetapi konflik tak kunjung usai.
Peristiwa pengungsian di tanah Papua juga pernah dialami Mama Theresia Pinimet saat ditemui jurnalis jubi.id di Timika belum lama ini. Ia juga mengisahkan pengalaman trauma masa lalunya di Bumi Amungsa, 1977.
“Waktu itu kami masih tidur dan pagi-pagi rumah rumah kami diserang dan dibakar. Kami kaget dan lari dengan baju di badan,”kata Theresia Pinimet mengenang “Peristiwa 1977.”
“Pagi itu, kami lari menelusuri sungai menuju Kampung Hoa dekat Tembagapura,” kenang mama Theria Pinimet. Dia menyelamatkan diri bersama suami dan anak anaknya.
Dia mengatakan suaminya (Paitua Cosmos Kemong, anggota polisi) punya surat-surat penting termasuk SK anggota polisi dan surat dari John Curie, wakil kontraktor Freeport dari Bechtell Pomeray. Namun dokumen itu hangus terbakar.
“Akibat dari pengungsian kita tinggal dan tidak bisa berkebun, susah makanan. Bapak sakit dan anak anak jadi korban, sakit dan akhirnya dua anak saya meninggal,”katanya sedih.
Kisah pilu, mama Theresia Pinimet ini dialami pula oleh Mama Yosepa Alomang dalam buku berjudul Yosepha Alomang, Pergulatan Seorang Perempuan Papua Melawan Penindasan, mengisahkan pada 1977, menyusul adanya pemberontakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Ilaga. Ratusan warga Suku Amungme melakukan aksi damai di Akimuga dan memrotes kehadiran PT Freeport.
“Aksi damai itu dijawab dengan berondongan peluru dan bom oleh serdadu Indonesia,”demikian pengakuan Mama Yosepha Alomang.
Sehari kemudian, warga marah dan memotong pipa-pipa konsentrat dari Tembagapura ke Port Site. Aksi itu dibalas aparat militer Indonesia menghujani masyarakat dengan peluru dan bom “Kampung Waa dan Kwamki Lama hancur total,”kata Mama Yosepha Alomang.
“Waktu itu Kwamki Lama di Timika hancur total sehingga kami kehilangan semua harta benda termasuk surat-surat penting,”kenang Mama Theresia Pinimet.
Masih terngiang di telinga Mama, bagaimana rumah mereka diserang dan dibakar subuh. Rumah hangus dan harta benda hilang, lari selamatkan anak anak melesuri jalan setapak menuju Kampung Hoa di dekat Tembagapura. Itulah peristiwa gejolak sosial pada 1977 yang melanda seluruh pegunungan tengah di Tanah Papua.
“Warga karena ketakutan melarikan diri ke hutan dan tinggal di sana untuk jangka waktu lama dan belum berani keluar dari tempat persembunyian mereka,”kata Mama Yosepha Alomang.
Persitiwa 1977, hampir terjadi di daerah seluruh Pegunungan Tengah, pengungsian pula terjadi dari warga Kwamki Lama dan Akimuga berlari menyelamatkan diri ke Ok Tedi di Papua Nugini. “Kami berjalan kaki selama tiga bulan dari Akimuga ke perbatasan Papua Nugini di Ok Tedi,”kata mendiang Demianus Katagame, kala itu di SPII Kabupaten Mimika awal 2000.
Katagame menuturkan selama di Ok Tedi, mereka tinggal dan bertahan hidup dengan berkebun hingga akhirnya mahir berbahasa Pidgin. Barulah kondisi sudah aman dan perlahan-lahan warga kembali dan ditempatkan di lokasi yang sekarang dikenal dengan Kwamki Baru di Kota Timika.
Peristiwa 1977, sebenarnya terjadi menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) waktu itu, dalam bukunya berjudul Pergolakan di Perbatasan, Mayjen (purn) Samsudin menulis, terjadi penyerangan terhadap aparat YON Armed -10/Kostrad di Kobagma, sekarang ibukota Kabupaten Mamberamo Tengah. Aparat TNI diserang saat bertanding sepak bola di Kobagma dan selanjutnya dibalas dengan berondongan senjata.
Peristiwa 1977, terjadi hampir di seluruh tanah Papua, tetapi lebih banyak terjadi di wilayah Pegunungan Tengah. Gempuran terhadap wilayah perang bukan hanya dengan peluru dan senjata tetapi juga dengan bom dari pesawat tempur jenis Bronco.

Dalam bukunya Mayjen Samsudin menulis, pesawat Helikopter BO -105 dan dua pesawat tempur jenis OV-10 berpangkalan di Kodau Biak waktu itu. Sedangkan usulan bom Napalm tidak bisa disetujui.” Kamu kok sadis benar toh,Din” demikian dikutip dari buku Mayjen (Purn) Samsudin berjudul , “Pergolakan di Perbatasan (halaman 51).”
Menurut wikipedia.org, pesawat tempur jenis OV-10 memiliki nacelle pusat yang berisi pilot dan kargo, serta boom kembar yang berisi mesin turboprop ganda. Ciri khas visual pesawat ini adalah kombinasi boom kembar, dengan penstabil horizontal yang menghubungkannya.
Peristiwa pengungsian besar-besar pernah pula di tanah Papua terjadi pada April 1984,pasca kematian Arnold C Ap dan Eduar Mofu di Pantai Pasir VI. Waktu itu majalah Tempo edisi 9 Juni 1984 melaporkan sebanyak 7000 warga dari Irian Jaya mengungsi ke perbatasan Papua Nugini.
Mama Corrie Boekorpioper istri dari mendiang Arnold C Ap juga mengaku kalau mereka lari menyelamatkan diri ke perbatasan Papua Nugini hanya dengan baju di badan tanpa dokumen dan surat-surat penting.
Kisah Mama Theresia Pinimet Kemong, Josepha Alomang dan Corrie Bukorpioper menjadi kisah sedih hidup menyelamatkan diri dan tinggal di daerah pengungsian.Film berjudul Sa Pu Nama Pengungsi menegaskan kembali gambaran kelam, hidup dan merana di tanah kelahiran.(*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!