Sentani, Jubi – Desi Kula (14) seorang remaja dari Kampung Bina, Distrik Bina, Kabupaten Puncak. Ia terpaksa menempuh perjalanan ratusan kilometer, lintas provinsi, demi menyelamatkan nyawanya akibat proses persalinan yang belum selesai. Ia mengalami ‘partus abnormal’. Plasenta atau ari-arinya tertahan di dalam rahim, tak bisa keluar dengan sendirinya.
Selama delapan hari, ia harus menahan sakit pasca melahirkan bayi mungilnya pada 1 April 2024.
Dari Kampung Bina, ia diterbangkan ke RSUD Mulia, Kabupaten Puncak Jaya pada hari itu. Penerbangan membutuhkan waktu 15 menit, namun sesampainya di RSUD Mulia, sayangnya dokter yang bisa menangani sedang menjalankan tugas di tempat lain. Akhirnya ia dan bayi mungilnya masih harus menunggu dua hari hingga bisa diterbangkan ke RSUD Yowari di Kabupaten Jayapura, Papua untuk ditangani lebih lanjut.
Ari-ari yang tak kunjung keluar
Ayah Desi Kula, Las Kula (41) menceritakan kekhawatirannya saat anak perempuan kesayangan itu kesakitan pasca melahirkan bayinya di rumah pada Senin (1/4/2024) sekitar pukul 3 pagi.
Ia panik, karena usai melahirkan pendarahan anaknya tidak kunjung berhenti dan plasentanya masih tertahan. Seperti banyak kasus kelahiran di kampung-kampung di Pegunungan Papua, Desi Kula melahirkan di rumah bersama keluarga, tanpa bantuan tenaga medis di Kampung Bina, Distrik Bina, Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah.
“Pas Desi melahirkan itu, dia muntah-muntah, lemas, lalu pusing, dan alami pendarahan sementara tali pusat itu belum keluar,” kata Las Kula kepada Jubi saat ditemui di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua (15/4/2024).
Melihat kondisi itu ada keluarga dari Kampung Bina yang berinisiatif menginformasikan situasi itu kepada misionaris dari Yayasan Mission Aviation Fellowship (MAF) yang ada di Kampung Bina. Mendapat pengaduan tersebut, pihak MAF mengambil tindakan untuk menyelamatkan Desi Kula. Desi dan bayi mungilnya beserta keluarga diterbangkan dari Bina ke RSUD Mulia.
“Saya juga bingung tali pusat ka ini tidak keluar-keluar jadi. Untung ada misionaris di situ, jadi Desi selamat, kalau tidak, mungkin Desi mati ka? Kita tunggu sampai jam 9 baru naik pesawat ke Rumah Sakit Mulia baru langsung infus. Bayi yang baru lahir itu saya yang ambil, baru hanya satu hari sekali bayi itu minum susu ibu,” kata Las Kula mengisahkan perjalanannya.
Dari Mulia ke Jayapura
Setelah tiba di Rumah Sakit Mulia, Las Kula mengatakan mereka masih harus menunggu dokter selama dua hari. Ia diberi tahu, dokter spesialis kebidanan dan kandungan di rumah sakit itu sedang melakukan pelayanan di kampung-kampung lain sehingga tidak ada di Rumah Sakit Mulia.
Kemudian Yayasan MAF berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi Papua Tengah, dalam hal ini Dinas Kesehatan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana. Hasilnya, pasien Desi Kula dapat dirujuk ke RSUD Yowari Sentani.
“Kita tunggu-tunggu tapi tidak ada dokter, jadi hari Rabu [3/4/2024] itu kita berangkat dari Mulia ke sini [RSUD Yowari Sentani], langsung masuk rumah sakit dan ditangani oleh bidan dan dokter. Jadi Desi dan cucu yang baru lahir itu sama-sama dirawat di rumah sakit ini sampai semua operasi selesai. Setelah selesai rawat baru kita keluar hari Jumat (12/4/2024),” ujarnya.
Publik Relations MAF Elisabeth Boikole mengatakan kasus pasien atas nama Desi Kula yang mereka evakuasi tersebut berawal dari laporan misionaris setempat yang ada di pedalaman wilayah Suku Dem, Kampung Bina. Menurut laporannya ada seorang perempuan melahirkan di rumah, bayi sudah keluar tetapi plasenta masih ada di dalam rahim.
Sesuai dengan visi-misi MAF, Boikole menjelaskan pihaknya segera melakukan ‘emergensi flight’ atau penerbangan darurat evakuasi khusus pasien sesuai prioritas MAF sehingga mereka menjemput pasien dan mengantarkan ke rumah sakit.
“Jadi waktu itu, mereka panggil di radio dan MAF sesuai dengan visi-isinya sebagai penerbangan misi, mereka segera jemput ke Bina dan keluarga minta antar ke RS Mulia supaya lebih dekat. Tetapi RS Mulia hanya memberi pertolongan pertama saja, karena dokter spesialis kebidanan masih pelayanan di daerah lain,” kata Elisabeth Boikole.
Ia mengatakan tenaga dokter, khususnya dokter spesialis, di daerah pedalaman memang masih terbatas. Jadi mereka tidak selalu ada di RS Mulia. Biasanya ada jadwal melayani di hari-hari tertentu, sehingga hari-hari lain pergi melakukan pelayan ke Oksibil atau beberapa daerah pedalaman lainnya.
“Pihak Rumah Sakit Mulia menghubungi MAF lagi agar pasien segera dirujuk ke Jayapura yang lebih lengkap untuk penanganan itu. Keesokan harinya [3 April] kami terbang lagi ke Mulia, evakuasi pasien ke Jayapura dan langsung ke RSUD Yowari,” ujarnya.
Sesampainya di Yowari, Desi Kula segera dimasukkan ke IGD. “Kami urus semua baik, lalu dioperasi agar plasentanya keluar. Jadi ibu dan bayi dirawat bersamaan. Puji Tuhan sekarang mereka dua sudah sehat dan siap untuk pulang ke kampung,” kata Elisabeth Boikole.
Risiko melahirkan di usia dini
Dokter Wonda yang bertugas pelayanan di Puskesmas Mulia mengatakan Desi Kula adalah salah satu contoh kasus perempuan yang melahirkan di usia yang sangat muda. Sementara kasus-kasus perkawinan usia dini, menurut Wonda, banyak terjadi di daerah Papua bagian pegunungan.
Menurutnya, hal itu terjadi karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang kesehatan reproduksi dan usia reproduksi bagi seorang perempuan untuk mengandung dan melahirkan.
“Karena melahirkan di usia yang sangat muda, sudah pasti Desi mengalami beberapa risiko yang tentunya mengancam nyawa ibu, bahkan bayi. Perkawinan usia dini menjadi persoalan serius yang perlu ditangani oleh pemerintah,” kata Dokter Wonda.
Total delapan hari perjalanan Desi menuntaskan proses persalinannya. Dari melahirkan pada 1 April 2024 hingga berhasil dioperasi pada 8 April 2024 di RSUD Yowari. Setelah perawatan, 12 April 2024 Desi Kula dan bayi mungilnya akhirnya bisa keluar dari rumah sakit.
Saat ini kondisi keduanya terpantau dalam keadaan baik. Mereka masih menunggu kepulangan kembali ke kampungnya di Bina.
“Meski tinggal dengan keluarga di Sentani tapi saya malu juga ini, saya sebagai seorang Bapa, karena tidak ada uang jadi. Kita rindu mau pulang cepat ke kampung kembali, jadi kita tunggu Ibu Dokter itu telepon saja. Karena dia bilang, kalau saya telepon itu kita akan pulang, begitu jadi kita tunggu saja,” ujar Las Kula yang sekarang bisa bernapas lega karena anak perempuan kesayangannya selamat.
Desi Kula adalah anak semata wayang Las Kula. Mama Desi Kula, istri Las, meninggal dunia di Timika saat melahirkan Desi. Karena itulah Las Kula bersusah payah dari Bina hingga ke Sentani untuk menyelamatkan Desi, agar tak menyusul Mamanya. (*)
Discussion about this post