Jayapura, Jubi – Kelompok-kelompok pembela Hak Asasi Manusia di Tanah Papua sedang mengupayakan agar Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau KKR bagi seluruh Tanah Papua bisa terbentuk. Tujuannya bukan untuk menghilangkan proses keadilan lewat peradilan, namun sebagai upaya minimal merehabilitasi jiwa dan menjamin kehidupan korban dan keluarganya.
Keluarga dan korban pelanggaran HAM di Tanah Papua senantiasa dibayang-bayangi oleh pertanyaan siapa yang harus bertanggung jawab atas kematian anggota keluarganya? Pertanyaan yang menyisakan teka teki sepanjang hidupnya, bahkan melampaui satu dan dua generasi keluarganya.
“[Ada] keluarga korban dan anak-anaknya [yang] masih mendengarkan cerita bagaimana keluarganya dibunuh, ditembak, dihabisin, menjadi korban kekerasan. Ada trauma yang diturunkan, ada sakit hati, ada ketidakpercayaan, ketidakadilan negara, [sehingga] minimal harus ada pengungkapan kebenaran, atau pelakunya meminta maaf kepada keluarga korban, memberikan rehabilitasi fisik, jaminan kesehatan, pendidikan, dan sosial sebagai bentuk mempertanggungjawabkan tindakannya,” demikian Latifah Alhamid menjelaskan dengan lugas.
Latifah Alhamid adalah Koordinator Divisi Keadilan Aliansi Demokrasi untuk Papua atau ALDP, yang menjadi salah satu dari sekian kelompok pembela HAM di Tanah Papua sedang bekerja mendorong terbentuknya Komisi Keadilan dan Rekonsiliasi atau KKR di Tanah Papua.
Menurut Alhamid, selain peradilan HAM, KKR juga merupakan salah satu cara alternatif menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM. Lewat KKR, negara mengakui telah menjadi pelaku pelanggaran HAM, pelaku kekerasan dan pembunuhan yang negara sendiri lakukan. Dan KKR adalah wujud negara yang mengambil tanggung jawab atas perbuatannya.
“Ada dua mekanisme proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM, yang paling umum yaitu Pengadilan HAM, dan [mekanisme lainnya] melalui KKR. Kalau Pengadilan HAM atau PH itu membutuhkan bukti-bukti dan saksi-saksi untuk membuktikan peristiwa pelanggaran [HAM]nya, tapi [tantangannya] kalau peristiwa sudah berlangsung cukup lama, [bahkan] puluhan tahun lalu, sehingga bukti-bukti rawan hilang, saksi sudah tidak ada, sementara peristiwa, keluarga dan anak-anak korban tetap ada,” kata Alhamid saat ditemui Jubi di Kota Jayapura, Papua, pada Jumat (22/3/2024).
Karena itulah, lanjutnya, ada kebutuhan penanganan korban mengingat konflik-konflik yang berujung pelanggaran HAM di Tanah Papua terus terjadi. “Minimal korban dan keluarga korban perlu mendapatkan penanganan yang serius oleh negara. Dan mekanisme apa? Kalau KKR memiliki ruang [penanganan] itu maka sebaiknya dibentuk supaya penanganan dan pertanggungjawabannya itu jelas,” kata Latifah Alhamid.
Kamis lalu (21/3) ALDP menggelar diskusi kelompok terarah atau Focus Group Discussion (FGD) bersama para praktisi, aktivis, LSM di Papua untuk mengagaskan pembentukan KKR menjadi satu komisi yang menghimpun enam provinsi di seluruh Tanah Papua. Ruang untuk KKR ini dipercaya sebagai alternatif penyelesaian pelanggaran HAM di Tanah Papua berdasarkan UU No 1 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua Pasal 45 dan 46, yang ditegaskan kembali dalam UU Otsus baru No 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua.
Menurut Latifah Alhamid pembentukan KKR berlaku bagi semua provinsi baru yang terbentuk dari hasil UU Otonomi Khusus baru No 2/2021 itu. Meski Provinsi Papua telah dipecahkan menjadi enam provinsi yang meliputi Provinsi Papua Barat, Papua Barat Daya, Papua Tengah, Papua Selatan, dan Papua Pegunungan, di bawah payung UU Otsus Papua tetap memiliki kewenangan untuk membuat peraturan pelaksanaanya masing-masing, seperti pembentukan lembaga representasi kultural Orang asli Papua, Majelis Rakyat Papua yang diatur masing-masing provinsi.
“Jadi KKR ini kalau mau dibuat formatnya apakah nanti masing-masing provinsi [membentuk KKR] atau satu [KKR meliputi seluruh Tanah Papua] itu tergantung pada pelaksanaannya nanti atau ketika nanti dirumuskan. Tapi sejauh ini gagasan yang diusulkan itu memang satu komisi untuk meng-cover seluruh wilayah Tanah Papua,” kata Alhamid.
Dia menambahkan para praktisi dan LSM yang bergerak di Tanah Papua sebenarnya sudah mengerjakan apa yang menjadi fungsi-fungsi dari amanah KKR itu. Misalnya ada LSM yang mengambil peran untuk memberikan beasiswa kepada anak-anak keluarga korban pelanggaran HAM atas kekerasan negara; ada upaya-upaya pemulihan seperti yang dilakukan SKPKC Fransiskan Jayapura di beberapa wilayah, yang sebenarnya merupakan tugas dan tanggung jawab KKR.
”Kita berharap sebenarnya itu tanggung jawab dari negara untuk memenuhi kebutuhan korban dan keluarganya itu. Tapi [berdasarkan] proses dengan kebutuhan yang ada, kita tahu mekanisme negara ini butuh waktu yang cukup lama, sedangkan kebutuhan korban itu mendesak, dalam FGD itu disepakati bahwa kita lihat ruang-ruang yang masih bisa kita kerjakan, akan tetap kita isi, tetapi proses formal untuk mendorong terbentuknya KKR ini tetap kita kerjakan,” tegasnya.
Koordinator Divisi Keadilan ALDP itu mengatakan bahwa ALDP bersama koalisinya akan mendorong aspek kerja legislasi. Sementara bagian koalisi yang lain melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk memberitahukan betapa pentingnya mendorong KKR itu disahkan oleh negara.
Namun, lanjutnya, mendorong dan mengawal pembentukan KKR itu menjadi tanggung jawab bersama masyarakat sipil juga. Masyarakat perlu sadar bahwa KKR itu kebutuhan bersama sehingga masyarakat sipil bisa mengambil peran untuk mengawasi.
“Tentu kita perlu melakukan sosialisasi yang banyak, publikasi soal KKR kenapa menjadi penting. Itu kita lakukan terlebih dahulu, baru kemudian harapannya bisa menjadi gerakan bersama mendorong KKR ini hadir di Papua,” kata Latifah Alhamid.
Dia juga menegaskan sementara upaya mendorong KKR dilakukan, ada koalisi lain yang tetap bekerja untuk menghadirkan Pengadilan HAM di Tanah Papua sebagaimana amanat UU Otsus. Ia berharap pengadilan HAM bisa didirikan di Papua supaya korban lebih dekat mengakses keadilan, memantau, dan terlibat dalam prosesnya.
Selama ini pengadilan HAM di Makasar itu dianggap terlalu jauh bagi korban pelanggaran HAM di Papua. “Meskipun bisa ke Makasar [untuk hadir dalam] pengadilan HAM, tetapi rasa aman di negeri orang lain tanpa dukungan dan pengawalan keluarga, kerabat, itu juga mengganggu secara psikologis, merasa tertekan, tidak bebas begitu, sehingga pengadilan HAM dan KKR di Papua harus dihadirkan,” tegas Latifah Alhamid.(*)
Discussion about this post