Jayapura, Jubi – Perkumpulan Penyandang Disabilitas Fisik Indonesia atau PPDFI Provinsi Papua mengelar diskusi yang membahas revisi Peraturan Daerah atau Perda No 5 Tahun 2013 tentang Pemberdayaan terhadap Penyandang Disabilitas Provinsi Papua.
“[Perda] itu yang kami revisi karena perda tersebut masih menggunakan materi lama atau undang undang lama, yaitu UU No 4 Tahun 1997 dengan indikatornya masih menggunakan kata penyandang cacat,” kata Roby Nyong, selaku inisiator dan koordinator pada kegiatan revisi perda, di Hotel Horison, Jalan Raya Abepura-Sentani, Distrik Heran, Kota Jayapura, Papua pada Rabu (6/2/2024).
Ketua Perkumpulan Penyandang Disabilitas Fisik Indonesia Provinsi Papua itu menjelaskan kegiatan diskusi revisi perda tersebut melibatkan Komunitas Tuli Jayapura, Tunanetra, Humania, Daksa, PPDFI kota, maupun provinsi, Komunitas Disabilitas Orang asli Papua, Perkumpulan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Provinsi Papua, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) pusat, maupun kota. Bahkan ada peserta yang datang dari luar Provinsi Papua untuk sama-sama memantapkan revisi perda sekaligus sambil belajar bersama.
Perda yang direvisi tersebut, kata Roby, akan mengacu pada undang-undang baru yaitu UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Saat ini rancangan revisi perda disabilitas di Provinsi Papua telah masuk ke Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda). Selanjutnya PPDFI akan mendorong DRPD Provinsi Papua untuk membahas rancangan revisi perda tersebut.
“Makanya kami revisi, biar perda kita ke depan lebih inklusif, lebih ramah, dan setara terutama menuju Papua inklusif. Karena kami di Papua ini, jujur saja, regulasi seperti itu masih sangat kurang dan keterlibatan disabilitas di dalamnya itu masih sangat kurang,” kata Ketua PPDFI Provinsi Papua itu.
Roby berharap DPRD Provinsi Papua saat ini dapat segera melakukan pembahasan revisi Perda No 5/2013 itu, dan mereka berharap keterlibatan pihak penyandang disabilitas menjadi prioritas yang akan diikutsertakan dalam pembahasan nanti.
“Jangan pernah berbicara tentang kami kalau tidak pernah libatkan kami. [Pelibatan kami dalam pembahasan] Itulah harapan terbesar kami dan perda [baru] juga bisa ditetapkan dalam waktu dekat ini atau tahun 2024 ini,” ujarnya.
Pengajar Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Pembina Provinsi Papua, Ronal Rumkoren, menyambut baik kegiatan pembahasan revisi perda tersebut. Hal itu merupakan terobosan baru yang dilakukan sepanjang sejarah pemerintahan daerah Provinsi Papua. Selama ini komunitas disabilitas tidak dilibatkan dalam pembahasan perda sehingga aspirasinya belum pernah diakomodir.
“Puji Tuhan, kami kaum disabilitas diberi kesempatan untuk mengungkapkan isi hati. Kebutuhan kami yang harus dipenuhi oleh pemerintah supaya kami dapat kehidupan yang layak dan kami juga hidup setara dengan saudara-saudara non disabilitas,” ujarnya.
Ronal Rumkoren mengharapkan semoga rancangan perda baru tersebut bisa ditindaklanjuti dengan cepat oleh DPRD dan pemerintah.
Demikian pula harapan Mulina Numberi agar rancangan revisi perda yang sedang mereka mantapkan pendiskusiannya itu segera disahkan oleh DPR, supaya hak-hak disabilitas terpenuhi, tersalurkan, dan terlindungi.
Kegiatan diskusi revisi Perda No 5 Tahun 2013 itu dimulai sejak Senin, 5 Februari hingga 8 Februari 2024, di Hotel Horison Kota Jayapura, Papua. (*)
Discussion about this post