Jayapura, Jubi – Koordinator Umum Papuan Voices, Harun Rumbarar, mengatakan komunitas Papuan Voices dibentuk pada 2011 silam agar orang Papua di Tanah Papua bisa menceritakan kehidupannya sendiri melalui film dokumenter.
“Komunitas ini dibentuk untuk bagaimana di seluruh Tanah Papua harus ada orang yang masing-masing menceritakan [tentang Tanah Papua dan kehidupannya]. Cara melatih bagaimana? Pergi to [ke daerah-daerah di seluruh Tanah Papua],” ujar Rumbarar saat ditemui Jubi di sekretariat Papuan Voices di Kota Jayapura, Provinsi Papua pada Senin (8/1/2023).
Dia mengatakan komunitas yang digagas sejak 2011 itu sebelumnya hanya memiliki empat cabang di empat kota di Tanah Papua, yang di antaranya di Merauke, Sorong, Jayapura, dan Wamena. Namun hingga sekarang terus mengalami peningkatan seiring dengan terbangunnya kesadaran bahwa film dokumenter juga bisa menjadi media yang dapat digunakan oleh orang Papua untuk menceritakan kehidupannya sendiri.
Rumbarar mengatakan hingga saat ini Papuan Voices memiliki cabang di 13 wilayah seluruh Tanah Papua. Enam cabang di antaranya adalah Biak, Timika, Keerom, Manokwari, Nabire, dan Paniai. Terakhir pada 2022 lalu, Papuan Voices membuka cabang di Fak-Fak, Asmat, dan Supiori.
Menurutnya, pembentukan 13 cabang yang tersebar di seluruh Tanah Papua itu dilakukan agar masing-masing orang Papua di setiap wilayah di seluruh Tanah Papua dapat menceritakan kehidupannya sendiri melalui film documenter. Pembentukan cabang tidak semata-mata untuk memperbesar dan memperbanyak organisasi namun untuk memperbanyak cerita-cerita tentang kehidupan orang Papua.
“Biar orang di Jayapura atau Papua Voice Jayapura, ko tidak perlu jauh-jauh pergi bikin film di Paniai, biar anak Paniai yang bikin. Biarkan anak Keerom yang cerita dia punya [kehidupan],” ujarnya.
Sepanjang 2023 sebanyak 16 film dokumenter telah hasilkan dari total sedikitnya 100 film dokumenter yang dihasilkan dalam kurun waktu 2011 hingga saat 2023.
Lebih lanjut Rumbarar mengatakan hasil karya Papuan Voices tersebut seringkali menjadi bahan mengajar di beberapa universitas di Tanah Papua maupun di luar Papua dan hingga dipertunjukan di event-event di luar negeri seperti di Jepang, Kota Berlin di Jerman, dan Arab Saudi.
Rumbarar menuturkan Papuan Voice mula-mula diinisiasi oleh Rico Aditjondro yang saat itu bekerja di Angels Media, salah satu lembaga pembuat film yang berpusat di Yogyakarta, yang datang ke Papua untuk membuat pelatihan pembuatan film dokumenter, pada 2011 silam.
Usai melakukan pelatihan pembuatan film dokumenter, anak dari penulis buku Cahaya Bintang Kejora, George Junus Aditjondro itu, bersama Wensislaus Fatubun dan peserta pelatihan lainnya kemudian membentuk Papuan Voices.
“Kebetulan kaka Rico Aditjondro dia kerja di situ. Dia bawa datang satu program pelatihan di sini [Papua]. Program [pelatihan pembuatan film dokumenter] itu bukan sekedar dia jalan [menjalankan program pelatihan] tapi langsung dong membentuk kelompok yang namanya Papuan Voices ini,” ujarnya.
Selain itu dia mengatakan, Angels Media yang memiliki program pelatihan hingga membentuk Komunitas Papuan Voices, tidak membiarkan komunitas itu berjalan sendirian akan tetapi terus memberikan pembinaan melalui berbagai program pelatihan, mencari donator, dan menyediakan berbagai peralatan pembuatan film bagi komunitas Papuan Voices.
Angels Media menilai bahwa Papuan Voices bisa berdiri sendiri pada 2018. Sejak saat itu Papuan Voices melakukan kongres pertama dan terus berjalan hingga saat ini.
“Sebelum-sebelumnya itu, Angels Media punya tugas [untuk] melatih, cari dana, [dan menyediakan] peralatan [pembuatan film dokumenter] untuk wilayah-wilayah waktu itu,” ujarnya. (*)
Discussion about this post