Oleh: Markus Haluk*
Tuan Lukas Enembe, pemimpin, tokoh dan pejuang peradaban bangsa Papua, meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat TNI Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (26/Desember 2023). Kematian Lukas Enembe patut diduga sebagai bagian dari proses pembunuhan terencana dan sistematis, yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia melalui penegak hukum dan intelijen negara.
Lukas Enembe, pemimpin yang berani
Rakyat bangsa Papua mengenal Lukas Enembe sebagai pemimpin yang gagah berani. Ia tahu posisi dan kapasitasnya sebagai pemimpin bangsa Papua, bukan sekadar seorang gubernur.
Sebagai pemimpin Enembe buktikan bukan dengan kata-kata. Ia merupakan satu-satunya gubernur di Indonesia, yang secara terbuka menyampaikan kepada Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, tentang apa yang seharusnya dilakukan dalam penanganan peristiwa aksi protes perlawanan rasisme bangsa Papua di Papua dan Indonesia pada Agustus-Oktober 2019.
Ia berdiri bersama rakyat Papua untuk memperjuangkan keadilan, perdamaian dan keselamatan untuk masa depannya. Karenanya Lukas Enembe tidak saja dikenang karena membangun mega proyek pembangunan di Papua, melainkan juga karena dukungannya kepada para pejuang harga diri dan eksistensi bangsa Papua di atas tanahnya. Dukungannya tersebut bertolak dari kenyataan di depan matanya, bahwa bangsa Papua sedang menuju kepunahan sebagaimana ia sampaikan dalam pernyataan terbuka kepada publik.
Dalam menghadapi perilaku kolonialisme Indonesia, Lukas Enembe pun mengungkapkan secara terbuka ancaman demi ancaman yang dia hadapi dengan tenang. Selama menjadi Gubernur Papua, ia mengalami banyak ancaman kriminalisasi, ancaman nyawa, bahkan hingga pencopotan jabatannya sebagai Gubernur Papua.
Ancaman itu dimulai sejak Februari 2017 oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), ancaman kriminalisasi oleh Polda Papua pada Juli 2017, Mabes Polri pada Agustus 2017, BIN (Badan Intelijen Negara) pada September 2017, konflik Nduga, dan ancaman pemberhentian jabatan oleh Kementerian Dalam Negeri pada Desember 2018, ancaman Operasi Tangkap Tangan pada Februari 2019 di hotel Borobudur Jakarta, Penggembosan Ban Mobil Dinas Gubernur Papua di Jayapura pada Oktober 2019.
Saat pengumuman tersangka secara sepihak oleh KPK pada September 2022 dan penangkapan paksa pada Januari 2023 di Jayapura, West Papua, Tuan Lukas Enembe juga mengalami banyak ancaman nonfisik–dengan penggiringan opini publik, untuk membunuh harga diri dan integritasnya sebagai gubernur dan tokoh Papua.
Proses hukum tidak manusiawi
Pada Januari 2023, Lukas Enembe ditangkap oleh KPK tanpa mempertimbangkan aspek kesehatannya. Selama 11 bulan (Januari-Desember 2023) Lukas Enembe ditahan di rumah tahanan atau rutan KPK. Berkali-kali ia meminta akses pengobatan dengan dokter spesialis dari Singapura yang mengetahui penyakitnya, tetapi ditolak oleh pihak jaksa KPK.
Ketika proses sidang dimulai, tanpa menunggu dalam kesempatan pertama, Lukas Enembe menegaskan kepada Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, bahwa ia masih sakit, sehingga perlu pengobatan medis. Namun, permintaan akses pengobatan dan pelayanan kesehatannya ia dihiraukan.
Selama proses persidangan, petugas KPK terang-terangan memaksa Lukas Enembe untuk mengikuti proses persidangan dan perlakuan tindakan kurang manusiawi lainnya.
Tanpa pertimbangkan kondisi kesehatan Lukas Enembe, pada Oktober 2023, Majelis Hakim memvonis 8 tahun penjara. Jaksa KPK naik banding atas vonis hakim tadi, kemudian Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta pada 7 Desember 2023 memvonis Lukas Enembe 10 tahun penjara.
Hari ini Lukas Enembe dan besok Siapa Lagi?
Mendiang Lukas Enembe menghabiskan 10 tahun pengabdian tanpa cacat sebagai wakil bupati dan bupati (2003-2013) untuk menegakkan dan menjaga wibawa NKRI di Puncak Jaya; ditambah 10 tahun (2013-2023) lagi sebagai gubernur Papua, yang merupakan perpanjangan tangan Jakarta di Papua–provinsi kaya raya penyumbang devisa terbesar bagi negara Indonesia.
Semua prestasi yang sudah ditoreh Lukas Enembe rupanya tidak cukup berbobot sebagai alasan untuk sekadar mendapat pelayanan kesehatan di saat dia tidak lagi berdaya sebagai manusia biasa. Ini situasi biadab yang bahkan belum pernah diperlakukan oleh pemerintah Kekaisaran Jepang atau Pemerintah Kerajaan Belanda kepada Para Pemimpin Papua di masa lalu, ketika mereka menjajah Tanah Papua.
Rupanya Lukas Enembe di titik terendah kehidupan sebagai manusia, harus tetap merasakan tajamnya tusukan “keris sakti” raja-raja Indonesia yang penuh dendam kesumat dan masih menuntut tumbal dalam kemasan Negara Kesatuan Republik Indonesia di zaman modern ini.
Semua tahapan pembunuhan ini dilakukan terang-terangan, tanpa rasa malu, di depan mata bangsa Papua dan komunitas internasional.
Proses pembunuhan Lukas Enembe secara sistematis ini tidak bisa dibiarkan lagi terulang pada orang Papua. Oleh karena itu, pembunuhan Lukas Enembe harus jadi yang terakhir dan cukup. Siapapun Anda dan kita semua tanpa terkecuali tidak bisa membiarkannya terus terjadi pada pemimpin bangsa Papua di masa yang akan datang.
Menghadapi semua ini, Lukas Enembe sebagai pemimpin menggantungkan harapannya kepada para pejuang Papua Merdeka, kepada ULMWP, kepada Anda dan kita semua, karena dengan Indonesia bangsa Papua tidak punya masa depan. Lukas Enembe sadar benar bahwa di masa lalu banyak tokoh Papua menjadi korban, hari ini dirinya dan besok Anda dan kita semua akan menjadi korban.
Dua minggu perkabungan nasional Papua
Presiden Eksekutif ULMWP, Menase Tabuni menyampaikan, “seluruh keluarga besar ULMWP dimanapun berada bersama rakyat Bangsa Papua menyatakan duka cita yang mendalam dan sebagai bentuk penghormatan atas pengorbanan Tuan Lukas Enembe bagi tanah dan manusia Papua, kami menyerukan kepada rakyat bangsa Papua dimanapun berada untuk bergabung, dalam duka nasional Bangsa Papua selama dua Minggu.” Selamat jalan pemimpin bangsa Papua yang gagah berani. Tuhan Yesus menyambutmu di Surga, karena engkau pun mati guna selamatkan bangsamu Papua. (*)
*Penulis adalah Sekretaris Eksekutif United Liberation Movement for West Papua atau ULMWP