Nabire, Jubi – Peringatan 11 tahun penetapan noken—tas anyaman khas masyarakat adat Papua—menjadi Warisan Budaya Takbenda oleh Organisasi untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa Bangsa atau UNESCO pada 4 Desember 2012 harus menjadi mementum untuk menguatkan upaya pelestarian bahan baku noken. Hal itu dinyatakan Tokoh pemerhati dan pelestari noken Papua, Titus Pekey.
Pekey menyatakan menyatakan penetapan noken sebagai Warisan Budaya Takbenda UNESCO merupakan pengakuan dunia atas nilai budaya dan kearifan lokal masyarakat adat Papua. Akan tetapi, noken juga tercatat dalam Daftar Warisan Budaya Takbenda UNESCO yang Membutuhkan Perlindungan Mendesak.
Noken adalah tas tradisional yang dianyam dari tali kecil yang terbuat dari kulit kayu tumbuhan, rotan, daun pandan, anggrek hutan, atau serat tumbuhan. Noken telah digunakan oleh masyarakat Papua selama berabad-abad dan memiliki nilai budaya yang tinggi.
“Hari ini, 4 Desember 2023, bertepatan dengan Hari Noken Papua untuk UNESCO yang ke-11. Dalam usianya ke-11 tahun ini, panitia mengajak kepada seluruh warga masyarakat dunia untuk bersama-sama menyelamatkan bahan noken di Tanah Papua. [Itu] berarti [kita harus] menyelamatkan budaya Papua, lingkungan hidup, dan hutan hujan tropis Papua,” kata Pekey dalam keterangan pers tertulisnya pada Senin (4/12/2023).
“Bahan baku noken terancam kebijakan pembukaan [untuk] perkebunan dan pemekaran pemerintahan secara besar-besaran tanpa memperhatikan kondisi puncak [bersalju] Nemangkawi,” kata Pekey.
Nemangkawi adalah salah satu dari tiga gunung bersalju di wilayah tropis dunia, dan berada di kawasan Taman Nasional Lorentz yang telah ditetapkan UNESCO sebagai situs warisan alam dunia pada 4 Desember 1999. Salju di puncak Nemangkawi terus menyusut karena pemanasan global.
“Saat ini terjadi gagal panen, krisis pangan, krisis air bersih, kekeringan panjang, penebangan hutan, perubahan ekosistem [hutan bahan baku] noken, dan pelanggaran hak-hak asasi hidup. Perubahan iklim global, krisis pangan, krisis air bersih, dan hutan tak lestari merupakan tantangan besar yang dihadapi oleh masyarakat Papua. Tantangan itu mengancam sumber kehidupan manusia dunia dan masyarakat pribumi Papua, termasuk noken,” katanya.
Pekey mengatakan noken terbuat dari bahan-bahan alami yang berasal dari lingkungan hidup alam dan hutan hujan tropis Papua. “Perubahan iklim global dapat menyebabkan kemerosotan hutan hujan tropis Papua, sehingga ketersediaan bahan baku noken akan berkurang. Selain itu, perubahan iklim global juga dapat menyebabkan kekeringan, banjir, dan tanah longsor yang dapat mengganggu proses pembuatan noken,” katanya.
Ia mengajak semua pihak bekerja sama untuk menyelamatkan ekosistem di Tanah Papua, termasuk dengan menjaga kelestarian bahan baku noken. “Noken terbuat dari bahan-bahan alami yang berasal dari hutan hujan tropis Papua. Dengan menjaga kelestarian noken, kita juga turut menjaga kelestarian hutan hujan tropis Papua,” kata Pekey.
Pekey juga mengajak semua pihak mendukung upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Upaya itu dapat dilakukan dengan mengefisiensi penggunaan energi, mengurangi penggunaan kendaraan bermotor, dan menanam pohon. “Mari kita bersatu untuk menyelamatkan Tanah Papua dan budaya Papua. Kita terus menjaga kelestarian hutan, tanah dan manusia Papua untuk generasi sekarang dan yang akan datang,” katanya. (*)