Penerbitan laporan jurnalistik ini adalah hasil kerja kolaborasi Jubi dan Project Multatuli
Manokwari, Jubi-Sejak Jalan Trans Papua Barat diaspal pada 2014, warga Lembah Kebar di Kabupaten Tambrauw terpecah oleh rencana PT Bintuni Agro Prima Perkasa (PT BAPP) membuka perkebunan jagung.
PT BAPP masuk ke wilayah Kebar pada awalnya melalui izin perkebunan kelapa sawit sekitar 2014. Namun mengetahui hal itu warga pun menolak. Tidak kehabisan akal, pihak perusahaan kembali ke Distrik Kebar pada 2015 dengan membawa pejabat Dinas Pertanian Kabupaten Tambrauw.
Tim Jubi dan Projek Multatuli menyambangi sebagian warga di beberapa Kampung di Lembah Kebar pada Rabu (19/10/2022). Tim mengumpulkan cerita warga tentang keadaan Jalan Trans Papua Barat yang melintasi kawasan itu dan masuknya perusahaan yang berinvestasi di lembah Kebar.
Cerita tentang perlawanan cenderung datang dari kaum perempuan atau mama-mama Kebar. Sarlota Auri salah satu warga yang memiliki hak ulayat di kawasan itu. Ia mengisahkan tentang awal masuknya PT BAPP yang menawarkan hak ulayat Rp2 juta.
Ia tidak mau, karena khawatir perusahaan tersebut masuk berkedok perkebunan jagung, namun ke depan bakal menjadikan areal itu untuk perkebunan kelapa sawit.
“Pertama dorang datang janji pakai dua hektare saja, tapi alat berat jalan terus, kitorang (kami) belajar dari perusahan kelapa sawit di Manokwari, jadi kitorang tolak karena takut perusahaan itu hanya masuk dengan alasan penanaman jagung,” ujarnya.
Perusahan jagung itu merambah lahan-lahan penduduk di kawasan lembah Kebar hingga mengepung pemukiman di Kampung Jandurau II. Kampung ini berdiri dari hasil pemekaran dari Kampung Jandurau I di Distrik Kebar Timur. Luas perkebunan jagung itu menurut warga lebih dari 19.368 hektare.
Kampung Jandurau II merupakan potret dari perkampungan yang dikelilingi tanaman jagung milik PT BAPP. Warga seakan tidak berdaya hidup di tengah kepungan lahan jagung milik perusahaan. Jarak kebun jagung dengan perkampungan tidak lebih dari 1 meter, hanya dipisahkan oleh jalan dan pagar kayu swadaya warga.
Elvira Anari menceritakan awal keluarganya tinggal di Kampung Jandurau I. Ketika pemekaran Kabupaten Tambrauw, ayahnya membawa mereka pindah ke lokasi baru dan membangun satu kampung baru. “Kampung ini ada sebelum perusahaan masuk,” katanya.
Di kampung itu hanya ada 14 rumah yang dihuni satu keturunan. Sebanyak 12 rumah di antaranya merupakan bangunan lama. Letak kedua kampung tidak jauh, hanya terpisah oleh lahan jagung milik perusahaan.
“Rumah lama itu kita bangun sebanyak 12 buah, sedangkan dua unit rumah bangunan yang semi permanen itu dibangun dengan dana kampung, ini semua untuk masyarakat kampung,” kata Oni Sailonari, sekretaris Kampung Jandurau II.
Menurut Oni sejak perusahaan jagung beroperasi tidak ada warga Kampung Jandurau II yang bekerja di perusahaan tersebut. Para karyawan perusahaan, sebagian dari kampung lain di Distrik Kebar dan sebagian lainnya dari luar.
“Sejak awal perusahaan ini masuk warga tidak terlalu tertarik sehingga untuk bekerja pun warga tidak tertarik,” katanya.
Kehadiran perusahaan itu membuat warga tidak nyaman karena polusi udara dan hewan peliharaan warga kerap mati mendadak. Kematian mendadak hewan peliharaan seperti babi, ayam, dan sapi program bantuan Pemerintah Provinsi Papua Barat itu diduga akibat perusahaan menggunakan racun tikus di lahan perkebunan.
“Kita sudah laporkan beberapa kali kepada pihak perusahaan, tetapi dorang tidak tanggapi, termasuk hewan peliharaan Mama Sarlota dorang punya,” kata Oni.
Warga Kebar melakukan aksi demo
Pada Agustus 2018 mayoritas warga di Distrik Kebar melakukan perlawanan dengan menggelar aksi demo menolak kehadiran PT Bintuni Agro Prima Perkasa. Aksi tersebut sebagai simbol menolak perkebunan jagung di kawasan Lembah Kebar yang sudah beroperasi lima tahun.
Warga dari Kampung Arumi, Wasabeti, Wanimeri, Kebar, dan lainnya berjalan kaki dari Kampung Arumi melintasi jalan utama Trans Papua menuju kantor perusahaan yang terletak di antara Kampung Jandurau I dan Kampung Jandurau II.
“Hampir semua warga dari Kebar Timur sampai Kebar Barat, bahkan juga dilibatkan pihak Gereja GKI saat itu melakukan aksi menolak perusahan masuk,” kata Elvina Anari.
Alasan penolakan masuknya perusahaan tersebut, selain warga mempertahankan tanah adat, mereka juga menganggap perusahaan tersebut masuk dengan cara yang tidak baik, yaitu mengorganisir sebagian warga pemilik lahan.
“Pihak perusahaan masuk lalu lakukan sosialisasi dengan mengumpulkan marga-marga pemilik tanah, lalu mereka berikan semacam uang tali kasih kepada masing-masing marga sekitar Rp50 juta, hanya Marga Manimeri dan Marga Ariks yang diberikan uang Rp100 Juta,” kata Mariah.
Aksi itu menyita perhatian hingga Pemprov Papua Barat, Majelis Rakyat Papua Papua Barat, dan Komando Daerah Militer Kodam XVIII Kasuari turun langsung ke kawasan Kebar.
“Awalnya mereka datang bilang bahwa perusahaan masuk untuk menyejahterakan masyarakat, padahal tipu, faktanya saat ini masyarakat tidak sejahtera,” kata Elvina.
Yang dijanjikan oleh perusahaan saat itu memberikan biaya pendidikan bagi warga, terutama pemilik hak wilayah dan membangun rumah sakit. Namun, menurut Elvina, meski sudah berjalan beberapa tahun semua janji itu belum terwujud.
“Yang mendapatkan hasil dari masuknya perusahaan tersebut adalah karyawan yang selama ini bekerja. Pemilik hak wilayah saja cuma setiap bulan dapat Rp1 juta,” ujarnya.
Namun hasil yang didapat dari penanaman jagung itu, menurut warga lumayan bagus, sebab setiap kali panen diangkut keluar daerah menggunakan sekitar tujuh unit truk.
Dulu Lahan Sagu dan Buah Merah
Lahan perkebunan jagung itu dulu merupakan kawasan perkebunan sagu dan buah merah milik warga. Sejak perusahaan merambah lahan di Lembah Kebar, sagu dan buah merah milik warga pun tergusur. Hanya di beberapa lokasi masih terlihat pohon sagu. Itupun milik beberapa marga yang bersikeras mempertahankan lahan mereka, seperti Marga Ariks.
“Memang saat pembagian tali asih dari persiapan kita marga Ariks sempat diberikan uang Rp100 juta, namun uang tersebut saya simpan di bank, tidak saya gunakan, setelah berjalannya waktu saya melihat penolakan terhadap perusahaan oleh warga, saya kemudian mengembalikan uang tersebut kepada pihak perusahan,” kata Samuel Ariks dari Marga Ariks di Kebar, salah satu pemilik tanah adat.
Tidak hanya lahan sagu dan buah merah, kayu besi, kayu matoa, dan tanaman lainnya juga lenyap. Samuel Ariks menceritakan ketika perusahaan membersihkan lahan, operator disuruh mengubur kayu-kayu tersebut ke dalam tanah.
“Tapi setelah kami tidak memperhatikan lagi mereka gali, cara seperti itu dilakukan sekitar tahun 2018 dan 2019,” ujarnya.
Samuel Ariks mengaku adanya Jalan Trans Papua Barat membuat masyarakat senang karena akses ke daerah lain tidak seperti dulu. Namun di sisi lain, kehadiran jalan tersebut membuat banyak pencurian hasil alam milik warga. (*)