*Oleh: Siorus Degei
Bukan hal baru lagi bahwa menjelang pemilu para elite lihai memainkan “seni kemunafikan”, mahir merangkai konspirasi politik, dan doyan memakai wajah “tuhan” demi mendapatkan koalisi dan massa. Mereka akan memakai jurus money politic, hoaks, nabi palsu, juru selamat, janji manis, politik pencitraan, dan lain-lain. Semua dapil atau daerah pemilihan akan didatangi, dengan membawa “harapan-harapan usang” yang pada gilirannya hanya mentok sebagai jargon politik, visi dan misi paslon, tetapi nihil realisasi.
Sudah bukan menjadi tabiat dan habitat politis yang baru pula di republik ini menjelang pemilu, bahwa segala hal bisa dipolitisasi dan diakal-akali, bahkan sampai hal-hal yang terbilang suci. Di benak para oligarki yang hendak memenangkan pemilu 2024 (pemilihan presiden, gubernur, walikota, bupati, DPR, DPD) hanyalah naluri untuk menjadi penguasa dan pengusaha.
Mereka tidak peduli sama sekali dengan nilai-nilai keutamaan yang terkandung dalam lembaga-lembaga yang mereka datangi dan susupi. Mereka tidak peduli sama sekali terkait hal-hal sakral di dalam bangunan keagamaan dan komunitas-komunitas kategorial. Mereka tidak pernah berpikir sama sekali tentang kebaikan bersama (bonum commune).
Akan tetapi, mereka hanya memprioritaskan pada kebaikan diri sendiri, keluarga, suku, partai, agama, wilayah adat dan kepentingan kelompok. Bahwa ada “beban jasa, tenaga dan dana” yang mesti mereka lunasi pasca terpilih dalam perhelatan Pemilu 2024.
Tahbisan uskup baru rawan “politik pencitraan”
Dari banyaknya ihwal yang rentan terjangkit praktik politik pencitraan di Papua, penulis pertama-tama mengerucutkan fokus penulisan pada fenomena menjelang pentahbisan uskup Jayapura, Mgr. Yanuarius Theofilud Maatopai You, Kamis (2/2/2023) di Kota Jayapura.
Uskup terpilih ini adalah putra asli Papua pertama yang menjadi uskup di Tanah Papua setelah 128 tahun Gereja Katolik eksis di Tanah Papua. Tentu itu menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi Gereja Katolik dan Tanah Papua. Rupanya kehadiran uskup asli Papua ini sejatinya bukan hanya menjadi harapan dan kerinduan umat Katolik Papua, tetapi semua orang Papua.
Sebagai wujud nyata dari ungkapan sukacita umat, maka banyak hal positif yang dilakukan oleh umat secara spontanitas. Ada yang mengungkapkan rasa syukurnya itu dengan menganyam noken anggrek bertuliskan nama uskup baru. Ada juga kelompok umat dan beberapa pastor Papua, yang menuangkan rasa sukacitanya itu dengan menuliskan buku-buku.
Ada kelompok umat juga yang antusias mengumpulkan dana secara tradisional, semisal ebamukai oleh kelompok suku Mee, dan masih banyak lagi persiapan umat lainnya.
Rupanya pemerintah juga tidak mau ketinggalan dalam hiruk-pikuk menyambut uskup baru itu. Pemerintah Kabupaten Keerom menyumbangkan dana senilai Rp1 miliar plus Rp500 juta serta 10 ekor babi. Pemerintah Kota Jayapura juga tidak ketinggalan menyumbangkan dana Rp1 miliar dengan beragam sarana dan prasarana penunjang kegiatan.
Sejatinya gegap gempita Gereja Papua itu pada takar yang wajar. Karena itu berkaitan dengan harga diri orang asli Papua dan Papua pada umumnya, maka hal-hal mentereng seperti itu lumrah terjadi. Namun, penulis mencium adanya aroma politik pencitraan di Papua menjelang pemilu 2024.
Penulis meyakini bahwa pentahbisan uskup baru ini terjangkit praktik politik pencitraan. Para figur publik memanfaatkan momen pentahbisan uskup baru ini sebagai ajang marketing politic. Mereka menyusupi kursi kepanitiaan dan kepengurusan, guna mendirikan tembok koalisi politik sebagai basis dukungan suara.
Kita tidak bisa menafikan bahwa menjelang pemilu 2024 banyak “malaikat tak bersayap” berseliweran mencari suara dan suaka politik. Tahun 2023 adalah peluang politik paling strategis guna mencuri start politik. Para oligarki yang profesional bahkan sudah mencuri start sejak lama. Ada yang sudah menyusupi lembaga intelektual, seperti kampus, organisasi cendekiawan, lembaga penelitian, organisasi pemuda, organisasi perempuan dan anak, organisasi masyarakat adat, organisasi mahasiswa, bahkan organisasi kontra pemerintah sekalipun.
Bukan tidak mungkin bahwa perayaan pentahbisan uskup baru di Papua menjadi lahan subur bercokolnya praktik politik pencitraan. Kita harus sadar dan paham bahwa Papua oleh Jakarta sudah dipotong-potong menjadi beberapa provinsi baru melalui kebijakan daerah otonomi baru atau pemekaran, seperti, Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Pegunungan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Barat Daya.
Di samping itu ada beberapa pemekaran kabupaten yang akan dipersiapkan, diikuti dengan pemekaran distrik dan kampung. Kita juga harus ingat dan paham bahwa dengan begitu akan banyak unsur muspida yang akan dibentuk di daerah-daerah otonomi baru tersebut.
Tentunya itu adalah sebuah lahan kerja yang subur. Dan karenanya akan terbuka pintu persaingan politik yang bukan kapalang di Papua menjelang pemilu 2024.
Barangsiapa lebih dulu menjemput bola, maka dialah yang akan mencetak gol di gawang lawan, tetapi sebaliknya jika ia lambat menyentuh bola, maka selesailah sudah riwayatnya. Hal semacam itu terjadi juga dalam percaturan politik pencitraan di Papua dewasa ini.
Elite-elite kartel dan oligarkis akan memanfaatkan momen apapun di Papua guna mencari suara. Mereka akan tampil layaknya pahlawan kesiangan dengan menyodorkan ide-ide brilian di hadapan publik. Mereka tidak beda jauh dengan kaum Farisi yang raja munafik di era Yesus Kristus. Mereka juga tidak beda jauh dengan kaum sofis di era pra-Sokratik. Mereka tampil sebagai “tokoh umat” yang sempurna dalam perayaan pentahbisan uskup baru.
Mereka diberikan kesempatan untuk bicara oleh MC saat pengumuman dan ramah tamah di hadapan umat. Seakan-akan mereka berjasa besar, seakan-akan semuanya didesain untuk mereka bergerak dengan leluasa.
Konflik Papua rawan “politik pencitraan”
Selain perayaan pentahbisan uskup baru dan misa pontifical/misa stasioner pada 4 Februari 2023, penulis melihat dan merefleksikan pula bahwa rentetan konflik bersenjata dan tragedi kemanusiaan di Papua sejak tiga tahun terakhir.
Ini juga akan menjadi materi-materi kampanye yang menarik bagi para elite politik, yang mempunyai kepentingan politik praktis dalam kancah pemilu 2024. Mereka akan memanfaatkan isu dan wacana konflik yang pecah di Papua sepanjang tahun tersebut sebagai sumber materi kampanye politik.
Konflik di Kiwirok, Maybrat, Intan Jaya, Ndugama, Deiyai, Paniai, Dogiyai, Sorong, dan lainnya yang berujung pada kontak tembak TNI/Polri vs TPNPB/OPM, pembakaran fasilitas umum, kantor, kampus, sekolah, puskesmas, kios, dan rumah warga pendatang. Juga berimplikasi pada gelombang pengungsian hingga korban nyawa manusia akibat gizi buruk terhadap bayi dan ibu hamil, serta penembakan warga sipil dan pembunuhan aparat. Rasanya kesemuanya itu menyimpan skenario tersendiri pula terkait politik pencitraan.
Penulis meyakini bahwa bahwa ada pihak-pihak tertentu, yang sengaja memproduksi api-api konflik tersebut, guna mendapatkan kursi politik di daerah-daerah tersebut.
Tentunya mereka itu orang-orang terlatih. Jikapun mereka orang awam, maka hampir pasti mereka mempunyai bekingan militer yang kuat, sehingga mampu memberikan janji-janji perlindungan dan penjagaan bagi warga sipil, terutama untuk warga non-OAP.
Kita harus menyadari bahwa melalui rentetan konflik yang terjadi, warga non-OAP merasa bahwa mereka adalah pihak yang paling dirugikan lantaran tempat jualannya dibakar.
Penulis melihat ada semacam ikatan emosional kolektif yang cukup mengkristal di kalangan kaum non-OAP di Papua. Ini justru bermuara pada konflik horizontal yang akut plus TNI/Polri melawan orang asli Papua atau OAP.
Kita tunggu gunung es itu meletus saja. Atau mau menyikapinya secara bijak dengan mengadakan rekonsiliasi perdamaian antara kedua belah pihak sebelum terlambat.
Ikatan emosional kolektif itu mulai subur pascaaksi tolak rasisme 2019 di Tanah Papua. Pascapersitiwa itu gelombang pengungsian warga amber cukup besar juga dari Wamena menuju Jayapura.
Setelah tahun 2019, konflik bersenjata mulai terjadi secara berkelanjutan di Kiwirok, Maybrat, Yahukimo, Nduga, Intan, Deiyai, Paniai, dan Dogiyai.
Rentetan konflik itu memang pertama-tama menunjukkan eksistensi dan ekspresi nasionalisme dan patriotisme kepapuaan. Bahwa idelogi Papua merdeka harga mati di Papua itu masih ada dan tidak akan mati hingga Papua benar-benar merdeka.
Yang menarik adalah penulis melihat adanya “bisnis pertahanan dan keamanan” di balik fenomena konflik Papua belakangan ini.
Penulis meyakini bahwa nuansa konflik semacam ini akan dimanfaatkan oleh oknum-oknum aparat keamanan negara untuk melakukan upaya militerisme di Papua. Mereka akan masuk ke Papua dalam berbagai bentuk, teknik, dan metode. Mereka akan datang secara langsung dengan memakai pakaian militer. Mereka juga akan datang dengan memakai pakaian warga sipil.
Mereka akan datang dalam rupa petani, pedangan kaki lima, tukang ojek, sopir lintas provinsi atau kabupaten, sopir truk, dan profesi warga sipil lainnya. Bahkan mereka juga akan datang dalam rupa pemuka agama dan pemuka masyarakat.
Aparat keamanan dan pertahanan bangsa ini akan mengisi dan mendominasi semua kursi politik di Papua, terutama di daerah-daerah konflik tersebut. Mereka akan memasang “orang dalamnya” guna mengatur jalannya roda pemerintahan di daerah-daerah konflik.
Penting juga kita ketahui bersama bahwa daerah-daerah yang masih berkecamuk adalah surganya sumber daya alam Papua. Sehingga sebenarnya konflik-konflik yang terjadi itu, hanyalah strategi pengalihan opini, penggiringan massa pribumi (pengungsian) dan penguasaan lahan produksi, demi mengamankan bisnis, saham dan investasi.
Rentetan konflik Papua belakangan ini juga akan menjadi “komoditas politik”. Elite politik akan membanjiri wilayah-wilayah konflik tersebut guna meraup suara dan suaka politik.
Beberapa catatan akhir
Pada catatan akhir tulisan ini, ada beberapa hal yang kiranya bisa menjadi acuan bersama semua pihak, yang mendambakan kedamaian sejati di Tanah Papua.
Pertama, kita meski waspada dan mengantisipasi bahaya “beban moril” di balik “politik pencitraan” yang dimainkan oleh beberapa elite yang memiliki “libido politik” di wilayah-wilayah pemekaran baru;
Kedua, konsekuensi logis dari apiknya politik pencitraan yang dimainkan oleh para elite kartel oligarkis adalah adanya “beban moril”. Sehingga sangat rawan jika suara dan aksi kenabian uskup baru tersalib “beban moral” yang teramat berat.
Hal ini semakin parah jika gelimang dan gelombang “beban moral” menggiring uskup baru ke dalam sarang kepentingan politik praktis menjelang tahun 2024;
Ketiga, sudah seyogyanya para elite dan kartel oligarkis tidak memainkan politik pencitraan. Sebaliknya hibah atau sumbangan mereka pada momen tahbisan uskup baru tidak dilandasi motif politis. Segalanya mesti dipersembahkan hanya demi memuliakan nama Tuhan yang sudah menganugerahkan uskup asli Papua yang pertama;
Keempat, semoga melalui kehadiran uskup baru ini minimal konflik berkepanjangan di Papua itu dapat terminimalisir, bahkan ternihilisir dari ruang publik. Semoga uskup baru bisa memancarkan “angin sejuk” bagi wajah gereja Katolik Papua yang tersalib konflik multidimensional menuju spiritsida, etnosida, ekosida dan genosida;
Kelima, perlu dialog dan rekonsiliasi lintas kerukunan umat beragama dan keragaman Nusantara, untuk mengantisipasi adanya konflik horizontal di Tanah Papua.
Hal ini penting sebab menjadikan Papua sebagai tanah damai itu adalah panggilan kritis dan profetis bangsa Papua. (*)
*Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura-Papua