Jayapura, Jubi – Direktur ELSHAM Papua, Pdt M Adadikam menilai hasil penyidikan kasus Paniai Berdarah yang diumumkan Kejaksaan Agung tidak memberikan jaminan rasa keadilan bagi para korban serta keluarga korban. Adadikam menilai Kejaksaan Agung tidak bersikap adil dalam penyidikan kasus itu, karena dipengaruhi kepentingan politik pemerintah Indonesia yang ditekan masyarakat internasional.
“Hasil yang telah dikeluarkan oleh Pihak Kejaksaan Agung tidak memberikan jaminan rasa keadilan hukum terhadap para korban serta keluarga korban pencari keadilan hukum. [Hasil itu juga tidak adil bagi] semua pihak yang telah menanti dengan sabar [kemauan negara] untuk mengungkap pelaku [kasus itu],” kata Adadikam sebagaimana dikutip dari keterangan pers tertulisnya, Kamis (14/4/2022).
Kasus Paniai Berdarah terjadi di Enarotali, ibu kota Kabupaten Paniai, Papua, pada 8 Desember 2014, ketika warga berdemonstrasi memprotes dugaan penganiayaan tujuh anak oleh aparat keamanan. Laporan Amnesti International Indonesia berjudul “Suda, Kasih Tinggal Dia Mati – Pembunuhan dan Impunitas di Papua” yang dipublikasikan 2018 menyatakan pasukan keamanan menembaki kerumunan pengunjuk rasa menggunakan peluru tajam, menewaskan empat orang. Setidaknya 11 orang lainnya terluka oleh tembakan ataupun bayonet. Sejumlah warga telah bersaksi kepada Komnas HAM bahwa mereka melihat petugas polisi menembak seorang demonstran dari jarak dekat, bahkan setelah korban setelah dia jatuh ke tanah.
Penyelidikan kasus Paniai Berdarah dilakukan olah Komisi Nasional (Komnas) HAM RI, dan hasil penyelidikan itu sempat beberapa kali ditolak Kejaksaan Agung, dan dikembalikan kepada Komnas HAM RI. Akhirnya, pada 1 April 2022, Kejaksaan Agung mengumumkan seorang prajurit TNI berinisial IS ditetapkan sebagai tersangka kasus itu.
Adadikam mengatakan proses hukum yang dijalankan Kejaksaan Agung dalam kasus Paniai Berdarah itu serupa dengan proses hukum yang dijalankan dalam kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Abepura Berdarah. Kasus itu disidangkan di Pengadilan Ad Hoc Pelanggaran HAM Berat Abepura di Makassar pada 2007, dan para terdakwa dalam kasus itu dinyatakan bebas.
“Keputusan hakim membebaskan kedua terdakwa utama, dan memberikan pemulihan nama baik kepada kedua terdakwa utama, serta Negera memberikan promosi jabatan. Para korban di-cap sebagai separatis. Padahal setiap warga berhak mendapatkan keadilan dan kepastian hukum, apalagi berkaitan dengan kasus pembunuhan menggunakan senjata,” katanya.
Adadikam mengatakan penanganan kasus Paniai Berdarah oleh Kejaksaan Agung menunjukkan bahwa proses hukum di Indonesia sangat bias kepentingan politik pemerintah Indonesia. Akibatnya, pertimbangan politik menjadi dominan dalam proses hukum kasus itu.
“Kami [awalnya] optimis, dan meletakkannya dalam pandangan yang positif, karena ada harapan besar bahwa kasus Paniai akan menjadi pintu pembuka bagi banyaknya kasus pelanggaran berat HAM masa lalu di Indonesia. Dalam kenyataannya, lagi-lagi terbukti bahwa politiklah yang mendominasi hukum, keadilan, serta kebanaran di republik ini,” kata Adadikam.
Adadikam menegaskan pihaknya merasa kecewa dengan langkah Kejaksaan Agung menetapkan seorang pensiunan TNI sebagai satu-satunya tersangka dalam kasus itu. “Kami menyimpulkan bahwa pemerintah Indonesia sama sekali tidak mempunyai niat baik untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM di Indonesia, dan secara khusus kasus-kasus yang terjadi di Papua,” katanya.
Adadikam menilai penetapan tersangka kasus Paniai dilakukan secara terburu-buru, karena adanya tekanan masyarakat internasional terhadap pemerintah Indonesia terkait berbagai kasus kekerasan yang dilakukan aparat keamanan di Papua. “Pemerintah Indonesia telah mencuci tangan dan berusaha membebaskan diri dari tanggung jawabnya untuk menyeret pelaku pelanggran berat HAM di Indonesia,” katanya.
Cara penyidikan kasus Paniai Berdarah juga menegaskan bahwa praktik impunitas untuk memastikan pelaku lepas dari tuntutan hukum masih dijalankan oleh pemerintah Indonesia. Adadikam mendesak Presiden Joko Widodo untuk bersungguh-sungguh memenuhi janjinya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua, termasuk kasus Paniai Berdarah.
“Negara harus menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, dan rasa keadilan hukum bagi para korban pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM) bagi korban pelanggaran HAM di Paniai tapi juga Papua Pada umumnya,”katanya.
Pada 1 April 2022, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana menyatakan IS ditetapkan sebagai tersangka kasus Paniai Berdarah. “Tim Jaksa Penyidik pada Direktorat Pelanggaran HAM Berat pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung telah menetapkan 1 orang tersangka, yaitu IS,” kata Ketut Sumedana, sebagaimana dikutip dari pemberitaan Jubitv.id.
Penetapan tersangka berdasarkan Surat Perintah Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor:Print79/A/JA/12/2021 tanggal 03 Desember 2021 dan Nomor: Print-19/A/Fh.1/02/2022 tanggal 04 Februari 2022 tentang Penyidikan Dugaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat dalam Peristiwa Paniai di Provinsi Papua Tahun 2014, dan Surat Penetapan Tersangka Nomor: TAP01/A/Fh.1/04/2022 tanggal 01 April 2022 yang ditetapkan oleh Jaksa Agung RI selaku Penyidik. (*)