Jayapura, Jubi – TAPOL, organisasi kampanye Hak Asasi Manusia atau HAM yang berbasis di Inggris pada Rabu (8/3/2023) mengeluarkan pernyataan sikap mereka terkait penyanderaan pilot Susi Air berkebangsaan Selandia Baru, Philip Mark Mehrtens. TAPOL menyatakan penyanderaan yang dilakukan kelompok bersenjata Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat itu tidak dapat dibenarkan dalam kacamata hukum humaniter dan HAM internasional, serta mendorong Pemerintah Indonesia melibatkan pihak internasional yang kompeten, otoritatif, dan nentral untuk menegosiasikan pembebasan Mehrtens.
Dalam pernyataan sikap tertulisnya yang dipublikasikan pada Rabu, TAPOL menyatakan tindakan penyanderaan (hostage-taking) tidak dapat dibenarkan dalam kacamata hukum humaniter dan HAM internasional. TAPOL menekankan bahwa Philip Mark Mehrtens merupakan warga sipil dan tidak terlibat dalam konflik bersenjata antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) dan pasukan keamanan Indonesia.
“TAPOL berharap agar selama dalam penyanderaan, Philip tetap diperlakukan secara manusiawi. Ia harus terhindar dari segala bentuk penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya, dan segala kebutuhan dasarnya tetap terjamin, khususnya kondisi kesehatan fisik dan mental. Penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya diharamkan dalam situasi apa pun, baik situasi damai maupun situasi konflik bersenjata, oleh hukum HAM dan humaniter internasional,” demikian pernyataan tertulis TAPOL.
TAPOL mendorong pemerintah Indonesia tetap mengedepankan upaya negosiasi untuk membebaskan pilot Susi Air itu. “Pemerintah Indonesia mesti terus mengedepankan negosiasi sambil melibatkan pihak ketiga internasional yang kompeten, otoritatif, dan netral.”
TAPOL meminta berbagai unsur pasukan keamanan, seperti Polri, TNI, apalagi Komando Pasukan Khusus (Kopassus) tidak dilibatkan atau dimasukkan ke dalam tim yang bernegosiasi. TAPOL menyatakan TNI dan Polri seharusnya juga tidak mempengaruhi keputusan yang berkaitan dengan negosiasi.
Selain itu, TAPOL mendesak semua pihak yang bertikai, baik TPNPB maupun TNI/Polri, untuk mematuhi prinsip distingsi, proporsionalitas, dan kehati-hatian. Semua pihak yang bertikai harus mencegah warga sipil–baik pilot Susi Air yang sedang disandera maupun warga sipil lainnya di wilayah sekitarnya–yang tidak terlibat dalam konflik bersenjata atau menjadi korban.
TAPOL juga menyoroti tanggung jawab pemerintah untuk mengurus warga sipil yang mengungsi dari wilayah konflik bersenjata di Tanah Papua. Pemerintah diminta memberi akses bagi lembaga internasional untuk memberikan bantuan kepada warga sipil yang mengungsi itu.
“Pemerintah Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menjamin dan melindungi hak asasi warga sipil yang harus direlokasi (Internally Displaced Person/IDP) karena masalah keamanan di Nduga. Selain memenuhi jaminan tersebut, pemerintah juga harus memberikan pertimbangan serius untuk menerima lembaga internasional yang berpengalaman dalam memberikan bantuan kepada pengungsi,” demikian pernyataan tetulis TAPOL.
Pada 14 Februari 2023, TPNPB merilis foto dan video pembakaran pesawat Susi Air dan Philip Mark Mahrtens yang disandera kelompok Egianus Kogoya. “TPNPB-OPM Komando Nasional umumkan resmi foto dan video bersama pilot New Zealand (NZ). Pilot asal NZ baik dan sehat,” kata Juru Bicara TPNPB, Sebby Sambom saat itu.
TPNPB menyatakan baru akan membebaskan pilot Susi Air itu jika pemerintah Indonesia mau mengakui kemerdekaan Papua Barat. Pemerintah Kabupaten Nduga bersama sejumlah tokoh adat dan tokoh agama berupaya melakukan negosiasi agar Mehrtens dibebaskan. Sementara aparat keamanan dikerahkan untuk mencari keberadaan Mehrtens di Kabupaten Nduga hingga ke Lanny Jaya. (*)