Sorong, Jubi – David Womsiwor (73), seniman ukir asal Sorong, Papua Barat Daya, telah mengabdikan hidupnya untuk melestarikan seni ukir khas Papua. Melalui Sanggar Araima Papua, ia berupaya mempertahankan warisan budaya yang semakin terancam oleh modernisasi.
David tidak pernah belajar seni ukir secara informal. Bakatnya tumbuh alami sejak kecil saat sering bermain di hutan bersama orang tuanya.
“Sejak kecil, saya sering membuat bentuk wajah manusia dari pohon pakis di hutan. Nenek saya bilang, saya mewarisi darah seni dari leluhur,” ungkapnya, Senin (3/3/2025).
Ketertarikannya semakin dalam ketika melihat bagaimana seniman terdahulu mampu mengukir hanya dengan peralatan sederhana.
“Mereka tidak punya alat modern, tapi bisa menghasilkan karya luar biasa. Itu yang membuat saya ingin terus belajar dan melestarikan seni ini,” katanya.

Keprihatinan terhadap Budaya Papua
Dorongan terbesar David dalam berkarya adalah kecemasannya terhadap hilangnya identitas budaya Papua. Ia menamai sanggarnya Araima, yang dalam bahasa Biak berarti “sayang.”
“Saya sayang Papua. Saya takut budaya kami hilang di tanah sendiri. Saya ingin anak-anak muda melihat bahwa ini adalah bagian dari identitas mereka,” ujar David.
Tantangan dalam berkarya
David menggunakan berbagai jenis kayu, seperti kayu susu dan kayu kuning, tetapi memperoleh bahan baku menjadi tantangan tersendiri.
“Satu pohon kayu susu bisa seharga satu juta rupiah karena ada biaya tebang, angkut, dan transportasi,” jelasnya.
Dalam pembuatan tifa (gendang tradisional Papua), ia awalnya menggunakan metode tradisional dengan membakar kayu untuk melubanginya. Namun, ia kemudian menciptakan alat sendiri untuk mempermudah proses tersebut.
“Sekarang, saya bisa membuat dua atau tiga tifa dalam sehari. Tapi untuk ukiran yang lebih kompleks, prosesnya bisa memakan waktu lebih lama,” katanya.
Makna Motif dalam Ukiran
David menekankan pentingnya memahami makna di balik setiap ukiran. Salah satu motif yang sering ia gunakan adalah saireri, yang memiliki makna magis dalam kepercayaan masyarakat Biak.
“Dulu, simbol-simbol ini ditulis di perahu, pintu rumah, atau jendela sebagai perlindungan dari roh jahat. Motif ini juga dipercaya memberi kekuatan kepada pelaut saat menghadapi badai di laut,” jelasnya.
Minimnya Regenerasi Seniman Ukir
David mengaku prihatin karena generasi muda kurang tertarik meneruskan seni ukir.
“Anak muda sekarang lebih senang main HP daripada belajar mengukir. Saya membuka sanggar bagi siapa saja yang mau belajar, tapi peminatnya hampir tidak ada,” katanya.
Beberapa kelompok tari di Sorong pernah datang untuk belajar membuat tifa, tetapi David berharap lebih banyak generasi muda yang serius mempelajari seni ukir agar warisan budaya ini tidak punah.
Harapan terhadap Pemerintah
David telah mengajukan proposal kepada Pemerintah Papua Barat Daya pada 24 Oktober 2024 untuk mendirikan museum seni ukir Papua. Namun, hingga kini belum ada tanggapan.
“Saya ingin ada museum atau galeri khusus agar karya-karya ini dihormati. Seniman lokal harus diberdayakan, bukan diabaikan,” tegasnya.
Ia juga menyayangkan minimnya keterlibatan seniman asli Papua dalam proyek-proyek besar.
“Saya pernah lihat ukiran di Bandara Marinda, Raja Ampat. Itu bukan karya seniman lokal. Seharusnya pemerintah melibatkan seniman Papua agar hasilnya benar-benar mencerminkan budaya kami,” ujarnya.

Menjaga Identitas Papua Lewat Seni
Di tengah berbagai tantangan, David tetap berkomitmen menjaga seni ukir Papua agar tidak hilang ditelan zaman.
“Saya ingin dunia tahu bahwa Papua punya seni dan budaya yang kaya. Jika pemerintah serius ingin melindungi budaya, harus ada aksi nyata,” tutupnya. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!