Jayapura, Jubi – Pemerintah Papua Nugini berharap pembangunan pabrik pengalengan ikan yang baru dibangun di Provinsi Madang, Papua Nugini, akan rampung bulan depan. Pabrik yang berlokasi di Vidar, Madang itu dapat mengolah 330 metrik ton ikan, dan diproyeksikan untuk menciptakan 10.000 lapangan kerja baru.
Radio New Zealand pada Rabu (26/2/2025) melansir pemberitaan New cannery in Madang to create 10,000 jobs, says minister yang mengutip pernyataan Menteri Perdagangan Internasional dan Investasi Papua Nugini, Richard Maru. Menurut Maru, pabrik pengalengan yang baru dibangun di Madang itu akan diberi nama Kumul Fishing Ltd.
Pabrik pengalengan ikan itu merupakan usaha patungan antara negara bagian, pemerintah provinsi, dan Otoritas Pembangunan Madang dan Sumkar bekerja sama dengan RD Group, sebuah perusahaan pengolah ikan tuna diana asal Filipina. RD Group memegang 50 persen saham Kumul Fishing Ltd. Maru menyatakan ingin segera meninjau rancangan kontrak perjanjian usaha patungan dengan RD Group itu.
Maru juga mengumumkan kebijakan baru Pemerintah Papua Nugini yang mewajibkan setiap perusahaan perikanan di sana mendaratkan antara 25 persen hingga 40 persen ikan tangkapan mereka di Papua Nugini. Menurutnya, saat ini jumlah ikan tangkapan perusahaan Papua Nugini yang didaratkan secara lokal hanya 20 persen.
Patungan antara pemerintah di Papua Nugini dan RD Group juga direncanakan di Kawasan Industri Kelautan Pasifik. Maru mengatakan pemerintah menginginkan sepuluh pabrik pengalengan di Madang pada akhirnya.
“Kami ingin ada kawasan ekonomi terpadu satu atap, dengan segala hal yang berkaitan dengan perikanan. Mulai dari depo bahan bakar, tempat peluncuran kapal, air, grosir, eceran, rumah staf, dan lain sebagainya,” ungkapnya.
Mengutip laman internet Otorita Perikanan Nasional Papua Nugini, negara yang berbatasan dengan Papua itu memiliki sektor perikanan yang luas dan berharga. Mulai dari perikanan sungai pedalaman, akuakultur, penangkapan ikan di pesisir pantai, perikanan terumbu karang, hingga pukat udang dan perikanan tuna laut dalam skala besar.
Sektor perikanan di negara itu melibatkan masyarakat, pengusaha pencari udang hingga ikan tuna laut dalam. Zona perikanan Papua Nugini seluas 2,4 juta kilometer persegi merupakan yang terbesar di Pasifik Selatan. Zona perikanan ini mencakup sistem terumbu karang yang luas, banyak pulau, dan garis pantai yang panjang. Hal ini menciptakan peluang besar, tetapi juga menghadirkan tantangan besar dalam hal pemantauan dan pengendalian.
Nilai pasar total perikanan tangkap Papua Nugini diperkirakan rata-rata per tahun mencapai 350 hingga 400 juta Kina (setara Rp1,4 hingga Rp1,6 triliun), eskipun informasi tentang nilai sebenarnya belum diketahui. Faktor siklus serta pergerakan harga komoditas, terutama tuna, menyebabkan perubahan potensi nilai pasar perikanan tangkap negara itu terus bertambah.
Perikanan tangkap Papua Nugini memiliki potensi yang signifikan untuk meningkatkan nilai ekonomi dan keuntungan bagi negara itu. Akan tetapi, Papua Nugini juga harus menyeimbangkan peluang untuk memenuhi kebutuhan pasar global dan kebutuhan pasar lokal.
Saat ini, pendapatan utama Otoritas Perikanan Nasional Papua Nugini adalah biaya izin akses yang dibayar kapal-kapal luar negeri yang mencari ikan di perairan mereka. Pendapatan lain otorita itu adalah biaya lisensi dari operator lain, bantuan dari para donatur, dan denda yang timbul dari tuntutan hukum berdasarkan Undang-Undang Pengelolaan Perikanan.
Selama lima tahun terakhir, ekspor ikan dan produk perikanan dari Papua Nugini terus bertambah. Ekspor itu berupa tuna kalengan, tuna beku, makanan kering, teripang kering, ikan bersirip, udang, sirip hiu, lobster, dan kepiting.
Pada tahun 2014, Papua Nugini mengekspor lebih dari 103.000 ton ikan dan produk perikanan lainnya. Pada tahun 2019, volume ekspor itu bertambah menjadi 196.000 ton. Total nilai ekspor ikan dan produk perikanan negara tetangga itu selama lima tahun terakhir mencapai 1,3 miliar Kina (setara Rp5,3 triliun).
Selama lima tahun terakhir, ekspor itu didominasi tuna utuh beku (80 persen), tuna kalengan (16 persen), dan tuna kering (3 persen). Fasilitas pemrosesan tuna di darat dan kapal asing berbasis lokal mendominasi ekspor tuna dan total gabungan ekspor ikan dan perikanan itu.
Sebagian besar tuna kalengan maupun tuna utuh beku diekspor ke kawasan Uni Eropa, dan mendapatkan pengaturan bebas pajak serta sertifikat pelabelan ekologi yang dinikmati oleh negara-negara pihak Perjanjian Nauru. Tuna kalengan Papua Nugini juga diekspor ke Fiji, Kepulauan Solomon, dan Vanuatu, mengikuti perjanjian perdagangan yang ditandatangani oleh para pemimpin negara Melanesian Spear Head (MSG).
Tuna bulat beku Papua Nugini juga diekspor ke Jepang, Thailand, Fiji, Taiwan, Filipina, dan Korea Selatan, terutama untuk memasok pabrik pengolahan mereka. Tepung ikan, produk sampingan tuna dari pabrik pengolahan diekspor ke Australia, Jepang, Filipina, Arab Saudi, Sri Lanka, dan Taiwan. Sementara tuna segar dingin diekspor ke Jepang, Filipina, dan Spanyol, dan minyak ikan dari tuna olahan diekspor ke Malaysia, Selandia Baru, Peru, dan Filipina.
Papua Nugini juga mengekspor lobster beku ke Australia dan Cina. Sedangkan lobster hidup diekspor ke Australia dan Hong Kong. Berbagai produk perikanan lainnya diekspor ke Singapura, Cina, dan Hong Kong, seperti kepiting (hidup dan beku), ikan hidup, perut ikan (kandung kemih ikan kering), sirip hiu (kering), lobster, ikan pari, udang, dan kerang. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!