Jayapura, Jubi – Komponen-komponen alat ramu sagu tradisional terus dipertahankan keasliannya oleh masyarakat Asei sampai sekarang. Hal itu ditandai dengan penggunaan komponen-komponen alami yang digunakan pada alat tersebut.
Hal itu dikatakan salah satu warga masyarakat Kampung Asei Besar, Distrik Sentani timur, Kabupaten Jayapura, Oktovianus Pepuho saat ditemui Jubi pada pagelaran Festival Kulit Kayu di Kampung Asei Besar pada Kamis (10/10/2024) kemarin.
Pepuho mengatakan, masyarakat Asei meramu sagu dengan menggunakan alat tradisional yang disebut ‘meelle’ dalam bahasa Sentani.
Pada alat tradisional ‘meelle’, terdapat komponen-komponen kecil alami yang diambil dari beberapa pohon sejenis pohon sagu yakni, wadah berbentuk panjang pada bagian atas ‘meelle’, diambil dari pelepah daun sagu, berfungsi untuk menampung halusan sagu sebelum dibasahi dan diperas menggunakan tangan untuk menghasilkan pati sagu.
Komponen kedua, lanjut Pepuho, bagian yang digunakan untuk menyaring pati sagu dari halusan sagu. Diambil dari petiole (semacam kain berwarna coklat dan berpori kecil) pada pohon kelapa dan dilapisi anyaman daun sagu untuk diselipkan dan dijepit pada bagian ujung pelepah daun sagu. Petiole dan anyaman daun sagu berfungsi sebagai penyaring pati sagu.
“Setelah halusan sagu yang ditokok dimasukan ke wadah pelepah sagu itu, akan dicampur dengan air lalu diperas. Selama proses peras sagu, pati sagu akan bercampur dengan air sehingga air nanti cenderung berwarna orens atau putih sesuai warna khas dari sagu yang diolah. Sagu orens harus diperas beberapa kali sampai warnanya pucat. Kalau sagu yang warna khasnya putih harus diperas beberapa kali sampai airnya hampir bening. Begitu terus sampai halusan sagu habis,” tuturnya.
Pepuho menjelaskan, wadah selanjutnya yang diletakan pada bagian bawah dari ujung pelepah daun sagu disebut ‘bai’ dalam bahasa sentani. Wadah ‘bai’ berfungsi sebagai wadah penampung pati sagu yang tadinya diperas menggunakan air dan mengalir bersama air ke dalam wadah ‘bai’ tersebut. Setelah masuk, pati sagu dibiarkan mengendap beberapa waktu supaya terpisah dari air. Nanti airnya dibuang secara perlahan sampai yang ada hanya pati sagu, lalu diambil, diisi ke dalam noken atau wadah lain untuk bawa pulang ke rumah,” tuturnya.
Sementara itu, Warga Asei Besar lainnya, Alfred Kerre menyampaikan, tradisi meramu sagu masyarakat Asei mulai tergantikan dengan alat-alat modern bertenaga mesin, mulai dari cara menebang, menghaluskan sagu, dan menyaring pati sagu. Menurutnya, kehadiran teknologi modern yang diadopsi untuk menggantikan kinerja manusia dalam meramu sagu, mengancam keaslian tradisi dan budaya meramu sagu di Asei.
“Sekarang itu, semua serba praktis, untuk dapat pati sagu tra susah seperti dulu, tapi akibatnya generasi sekarang hampir tidak kenal cara tokok sagu pakai alat tradisional, mereka tidak mahir peras sagu pakai alas tradisional lagi. Saya khawatir budaya ini akan hilang kalau tidak dijaga dari sekarang,” Katanya.
Kerre menambahkan, kesadaran atau inisiatif generasi di Asei, untuk membantu orangtua meramu sagu tidak seperti dulu. Anak-anak sekarang kalau mo totok sagu otu harus tunggu disuruh baru kerja. Kami dulu berbeda, kalau orangtua sedang di dusun sagu, pulang sekolah kami langsung menyusul ke dusun, bantu mereka sampai beres baru pulang,” tuturnya. (*)