Jayapura, Jubi – Aktivis Hak Asasi Manusia atau HAM, Yones Douw mengatakan kasus warga sipil yang mengungsi karena konflik bersenjata semakin banyak. Operasi militer yang digelar TNI tidak menyelesaikan konflik bersenjata, dan justru membuat kontak senjata/baku tembak terus terjadi.
Douw menjelaskan warga Kabupaten Intan Jaya di Provinsi Papua Tengah misalnya, harus mengungsi untuk menghindari konflik bersenjata di Intan Jaya. Mereka harus meninggalkan kampungnya, karena kontak tembak/baku tembak antara aparat keamanan TNI/Polri dan kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat atau TPNPB juga terjadi di kampung mereka. Warga sipil di wilayah konflik juga tidak bisa beraktivitas dengan bebas, karena selalu ditanyai aparat TNI/Polri.
“Mereka mau pergi ke kebun saja aparat mengikuti, dan aparat bertanya. Mereka pergi cari kayu bakar juga diikuti dan ditanya. Misalnya ada keluarga yang dari kampung lain datang, juga diikuti dan ditanya-tanya oleh militer, lalu ada yang ditangkap dan dibunuh,” kata Yones Douw dalam diskusi dan peluncuran film “Merajut Harapan dari Intan Jaya” pada siniar Jubi Tv di Kota Jayapura, Provinsi Papua, Kamis (9/1/2025).
Douw mengatakan baginya berbicara tentang HAM dan pengungsi adalah berbicara fakta dan kebenaran yang terjadi di lapangan. “Apa yang saya bicara ini apa yang saya lihat, apa yang saya raba, ada apa yang saya saksikan. Jadi pengungsi yang terjadi di lapangan itu di Intan Jaya, warga sipil yang mengungsi. Jumlahnya kisaran 8.600 lebih yang mengungsi keluar dari Intan Jaya.”
Douw menjelaskan sebagian warga sipil itu mengungsi ke Nabire. Beberapa pengungsi yang mencoba pulang ke kampungnya justru terbunuh, seperti Nelson Sali yang meninggal ditembak setelah ia pulang ke kampungnya di Sugapa. Yusak Sondegau mengalami hal yang sama.
“Jadi seakan-akan mereka yang pulang kembali ke kampung halamannya dianggap TPNPB. jadi masyarakat di Intan Jaya tidak merasa aman di tempatnya sendiri,” kata Douw.
Aktivis HAM itu mengatakan ada sejumlah distrik di Intan Jaya yang telah kosong ditinggalkan warganya. Ia mencontohkan Distrik HItadipa. Banyak kampung di Distrik Sugapa juga telah kosong ditinggal warganya.
Douw menyatakan orang yang mengungsi bukan hanya warga sipil. Ada sejumlah pejabat pemerintah ataupun anggota DPRK Intan Jaya yang mengungsi. Mereka hanya akan berada di Intan Jaya untuk menghadiri acara resmi pemerintah daerah, setelah itu kembali mengungsi.
Ia menjelaskan masalah terbesar dari situasi konflik adalah sikap aparat yang penuh curiga dan intimidatif terhadap warga sipil. “Masyarakat bawa pulang kayu bakar ditanya ‘ko dari mana, ko kasih makan TPNPB baru datang to’. [Peralatan kerja sehari-hari seperti] parang dan sekop mereka ditahan, pisau mereka diambil. Pasukan yang ada di [Intan Jaya] itu bukan pasukan dari Papua. Mereka didatangkan dari luar Papua, tidak tahu kondisi daerah itu,” kata Douw.
Akibatnya, ada berbagai insiden yang terjadi. Misalnya, warga bernama Alex Sondegau yang mengalami gangguan kejiwaan ditangkap, diduga dibunuh, lalu dihilangkan. Hingga kini kerabat Sondegau masih mencari keberadaan Alex Sondegau.
Ironisnya, kesewenang-wenangan aparat keamanan itu tidak hanya terjadi di Intan Jaya, namun juga terjadi di berbagai kabupaten yang menjadi wilayah konflik bersenjata. “Apa yang terjadi di Intan jaya itu juga yang terjadi di Puncak, Nduga, Yahukimo, Pegunungan Bintang, dan seluruh Tanah Papua. Itu masalah Papua,” kata Douw.
Moderator Dewan Gereja Papua, Pdt Dr Benny Giay mengatakan sejak Desember tahun 2018 telah terjadi kekerasan dan operasi militer besar-besaran yang mengakibatkan pengungsian warga sipil. Hingga kini, pengungsi masih banyak warga Intan Jaya, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang, dan Yahukimo yang mengungsi.
“Intinya [ada] dua masalah besar, [yaitu] pengungsi dan operasi militer. Sedang ada sekitar 70.000 orang Papua yang mengungsi, sehingga Natal di Papua tidak jalan dengan baik,” ujar Giay.
Giay mengatakan negara membuat beberapa provinsi baru dengan operasi militer, dengan alasan memberantas separatisme. Padahal senjata kelompok bersenjata TPNPB yang dibeli dari prajurit TNI atau polisi.
“Ini musti kita gugat negara. Kami minta semua pembaca atau pendengar, mari kitong bebas dari sistem ini dengan membuka mulut dan bicara. Ini hak sosial politik [kami]. Tanah yang kaya mau diambil dengan membesar-besarkan rasisme, separatisme. Pembangunan bias pendatang, menguntungkan pendatang tapi menyingkirkan orang Papua. Menurut saya itu pelanggaran HAM berat, ini sudah terjadi yang kita disaksikan ini,” katanya.
Ia meminta gereja bangun, bicara tentang orang Papua yang menderita lewat operasi militer yang menghasilkan pengungsi dari tahun ke tahun. Situasi itu akan membuat populasi Orang Asli Papua semakin habis.
“Jadi kami sedang jadi korban. Kami minta laporan ini bisa membuka mata bahwa indonesia sedang mempromosikan pembangunan berwajah rasisme. Negara tidak suka orang kulit hitam,” ujar Giay.
Moderator Dewan Gereja Papua itu menyampaikan bahwa ia membaca laporan pejabat Belanda yang bertugas Papua pada tahun 1961. Pejabat itu bercerita tentang bagaimana orang Indonesia pada tahun 1962 promosi mereka memiliki tanah ini, ‘Papua itu kami, Indonesia, punya, ada orang kulit hitam tapi itu manusia buas, liar, kanibal’,” kata Giay.
Ia menyatakan Orang Asli Papua dirugikan oleh langkah Indonesia yang bekerja sama dengan masyarakat internasional dan pemodal untuk menguasai dan ambil tanah orang Papua. Ia mencontohkan Perjanjian New York yang isinya menguntungkan Indonesia.
Menurut Giay, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI (sekarang Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN) menyebut rasisme terhadap orang Papua adalah salah satu akar masalah yang membuat orang Papua termarginalisasi. “Kita wajib tuntut Negera. Ini [Negara] sedang melakukan pembunuhan massal, pemusnahan etnis, atau genosida,” ujarnya.
Anggota Dewan Gereja Papua, Pdt Dorman Wandikbo mengaku ia juga pernah mengungsi karena konflik bersenjata yang terjadi di Tanah Papua pada 1977 sampai 1979. Konflik bersenjata terjadi di Lembah Baliem di Jayawijaya sejak 1977. Ketika itu, Wandikbo baru berumur 12 tahun, dan ikut keluarganya mengungsi ke tengah hutan.
Selama tiga tahun ia berada di pengungsian. “Saya punya keluarga semua sudah habis, mereka mati di hutan. Saya selalu bersama-sama dengan teman-teman [pembela] HAM, karena saya [pernah] mengalami, dan saya saksi hidup, pernah ada dalam kategori [pengungsi] ini. [Pengungsi] yang [saat ini] ada di Nduga, di Maybrat, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Yahukimo, mereka ada rasakan seperti yang dulu saya rasakan,” katanya.
Wandikbo membeberkan setelah dirinya bersekolah, barulah ia mengerti bahwa Papua dibangun sebagai basis militer, visi-misinya militer, strategi militer. Pelayanan publik sepertipendidikan juga proses militer, pelayanan kesehatan juga bahasa militer.
“Saya mau sampaikan beberapa dalam kesempatan ini, bagaimana cara nyata untuk kami bisa ada di Tanah Papua, supaya orang Papua tidak hilang dari tanah kami sendiri,” ujarnya.
Pastor Yohanes Kayame Pr berbagai dampak konflik bersenjata yang dialami warga sipil sangatlah tidak manusiawi, sangatlah biadab. Peristiwa tersebut telah mengorbankan jiwa manusia, penderitaan yang hebat, juga menimbulkan banyak kerugian barang material warga sipil.
“Jika TPNPB dan aparat Indonesia yang baku tembak dan gugur, itu [mereka pelaku konflik]. Akan tetapi, warga masyarakat yang tidak bersalah menjadi korban, terlebih dari [tindakan] aparat keamanan Indonesia. Dalam laporan tentang penembakan warga di Intan Jaya, [tindakan] pihak [aparat] keamanan kepada warga sipil jauh lebih brutal,” katanya.
Menurutnya, aparat keamanan tidak bisa membedakan warga sipil dan anggota kelompok TPNPB, sehingga banyak aparat keamanan menyerang warga sipil di kampung. Ada banyak warga sipil yang meninggal karena ditembak aparat keamanan. Aparat keamanan juga kerap membakar atau merusak kawasan permukiman Orang Asli Papua.
“Warga masyarakat mengungsi di hutan, di sana mereka tidak mendapatkan akses makanan, kesehatan, tempat tinggal yang layak, dan lain sebagainya. Banyak warga yang mati karena lapar, karena sakit dan seterusnya. Dari situasi itu, kejahatan kemanusiaan terjadi di sana, bahwa manusia yang tidak bersalah menjadi korban,” ujar Kayame.
Ia berharap aparat keamanan bertugas di Tanah Papua dengan rendah hati, dan melakukan transformasi total dalam menjalakan tugas mereka. Lembaga kemanusiaan juga mesti membantu atau menolong warga dan mengupayakan perdamaian di Tanah Papua. Ia menyatakan pemerintah, pihak aparat, dan lembaga advokasi HAM, mesti serius menuntaskan persoalan di Tanah Papua. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!