Jayapura, Jubi – PT Freeport Indonesia diketahui tidak pernah mengikat perjanjian khusus dengan komunitas adat Amungme sejak mereka mulai menambang Gunung Ersberg dan Gunung Grasberg di Mimika. PT Freeport juga diketahui belum menjalankan semua mandat yang disepakati pada Januari 1974.
Suku Amungme merupakan pemilik hak ulayat Gunung Ersberg dan Gunung Grasberg. Mereka juga mengeramatkan gunung tersebut.
Advokat Hak Asasi Manusia Aloysius Renwarin mengatakan kesepakatan pada Januari 1974 untuk menyelesaikan secara menyeluruh pemenuhan hak-hak suku Amungme. Kesepakatan itu merupakan hasil perundingan kedua belah pihak pada 5–11 Januari 1974.
“Pada 4 Januari 1974 masyarakat Amungme berdemonstrasi dengan mengajukan kehendak dan keinginan mereka [sejumlah tuntutan terhadap Freeport]. Kemudian, terjadi perundingan pada 5–11 Januari 1974, yang juga dihadiri Pemerintah Provinsi dan Komando Daerah Kepolisian Irian Jaya,” kata Renwarin melalui layanan pesan instan, Jumat (21/2/2025).
Suku Amungme saat perundingan tersebut mengutus Tuarek Narkime, Naimun Narkime, Arek Beanal, Pitaragome Beanal, Paulus Magal, dan Kawal Beanal. Selain itu, Tom Beanal, dan Constant Hanggaibak. Adapun PT Freeport mengutus Manajer Umum TL Vandengriff dan sejumlah manajer lain.
Perundingan yang berlangsung tegang dan alot itu, akhirnya menghasilkan sejumlah kesepakatan bersama. Kesepakatan tersebut berupa pembangunan masing-masing tiga gedung sekolah dasar, rumah guru, dan rumah warga. Selain itu, pembangunan gedung kantor pemerintahan, rumah pegawai, dan dua pasar tradisional di Tembagapura.
Menurut Renwarin, Freeport belum memenuhi semua kewajiban mereka terhadap Suku Amungme, sebagaimana kesepakatan pada Januari 1974. Pernyataan Renwarin sejalan dengan desertasi Rudy Panjaitan dari Universitas Pelita Harapan, Jakarta.
“Perjanjian Januari 1974 dan kesepakatan pada 2000 membahas hubungan [mutualisme] antara Suku Amungme dan PTFI [PT Freeport Indonesia]. Namun, hingga saat ini, PTFI belum sepenuhnya menjalani kewajiban mereka, sebagaimana yang disepakati dalam kedua perjanjian tersebut,” kata Rudy dalam sidang desertasinya, pekan lalu.
PTFI juga diketahui telah membentuk Yayasan Pemberdayaan Masyarat Amungme dan Komoro (YPMAK) sejak 1999. Yayasan tersebut mengelola dana untuk sejumlah program pemberdayaan masyarakat Amungme dan Komoro.
Tercatat sebanyak Rp2,9 triliun dikucurkan PTFI kepada YPMAK pada 2019–2024. Dana itu, di antaranya untuk pengobatan warga, yang telah mencakup 120 ribu pasien, serta beasiswa bagi sekitar tiga ribu pelajar dan mahasiswa. PTFI berkomitmen mengelontorkan kembali dana kemitraan tersebut, yakni sebesar Rp4,1 triliun untuk lima tahun mendatang.
“YPMAK sudah hadir selama 27 tahun. Terlepas dari kekurangan-kekurangannya, kehadiran YPMAK telah memberi manfaat kepada masyarakat, seperti [dalam program] kesehatan, pendidikan, dan ekonomi,” kata Wakil Presiden Eksekutif PTFI Claus Wamafma, saat pelantikan Pengurus YPMAK, Kuala Kencana, akhir tahun lalu. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!