Jayapura, Jubi – Markas Besar Tentara Nasional Indonesia atau Mabes TNI menyatakan melakukan pendekatan humanis dalam mendukung program ketahanan pangan nasional di Tanah Papua, khususnya Proyek Strategis Nasional Sawah 1 juta hektare di Kabupaten Merauke. Akan tetapi, para pegiat dan pembela Hak Asasi Manusia atau HAM meragukan pelibatan prajurit TNI dalam program ketahanan pangan bisa menghasilkan pendekatan humanis terhadap masyarakat adat di Tanah Papua.
Kepala Pusat Penerangan Markas Besar TNI, Mayjen Haryanto mengatakan prajurit TNI pasti menyayangi rakyatnya, oleh karena itu TNI bekerja dengan cara humanis. Haryanto mengatakan dalam bekerja TNI akan menyesuaikan adat istiadat, dan dengan pendekatan kultur sosial budaya masyarakat adat setempat.
“TNI bekerja dengan humanis,” kata Haryanto kepada Jubi, pada Rabu (16/10/2024).
Haryanto mengatakan kehadiran TNI di Merauke sebagai Satuan Penyangga Daerah Rawan (PDR) memiliki tugas pokok membantu pemerintah mengoptimalkan ketersediaan bahan pangan. Haryanto mengatakan TNI juga akan membantu di bidang peternakan, melaksanakan kegiatan kesehatan bagi masyarakat, dan konstruksi guna mewujudkan ketahanan pangan nasional.
“TNI selalu manunggal dengan rakyat untuk membangun di berbagai lini sektor kehidupan masyarakat. Untuk meningkatkan taraf hidup dan kehidupan masyarakat yang lebih baik,” ujarnya.
Haryanto mengatakan TNI dalam bertugas dengan berpedoman Sapta Marga, sumpah prajurit, delapan wajib TNI serta mematuhi hukum dan juga menghormati adat istiadat setempat. Haryanto mengatakan apabila ada kekerasan yang dilakukan prajurit TNI di lapangan, maka komandan lapangan secara berjenjang akan bertanggung jawab dengan konsekuensinya hukum yang berlaku.
Tapi kita jangan sampai diprovokasi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dengan menyebarkan berita hoaks untuk keuntungan pribadi, sengaja merusak kemajuan dan kedamaian di Tanah Papua. Kita harus lebih jeli melihatnya, dan bertanya langsung kepada sumber yang lebih menguasai,” kata Haryanto kepada Jubi melalui layanan pesan WhasApp pada Rabu.
Haryanto mengatakan jika terjadi permasalahan yang berkaitan dengan adat istiadat selalu dilakukan melalui musyawarah dan mufakat. Ia mengatakan TNI berjuang bersama rakyat dan untuk kepentingan rakyat.
“Kemanunggalan TNI-rakyat tidak akan terpisahkan ibarat ikan dan air yang saling membutuhkan. TNI melaksanakan tugasnya sesuai undang- undang, yaitu menegakkan kedaulatan, menjaga keutuhan bangsa, dan melindungi segenap rakyat dan seluruh tumpah darahnya,” ujarnya.
Rekam jejak buruk
Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan pendekatan humanis yang dijanjikan TNI itu patut diragukan, karena TNI memiliki rekam jejak buruk di Tanah Papua. Menurut Usman, kecenderungan sikap bangga pada korps yang berlebihan juga kerap kali membuat para prajurit TNI merasa berada di atas hukum.
“Saya kok skeptis dengan klaim tersebut, mengingat TNI memiliki rekam jejak buruk atas pelanggaran-pelanggaran HAM di Tanah Papua. Termasuk penyiksaan dan pembunuhan di luar hukum atas warga sipil,” kata Usman kepada Jubi, pada Rabu.
Usman menegaskan ketahanan pangan di Tanah Papua seharusnya menjadi urusan sipil. Usman mengatakan pendekatan humanis yang diklaim oleh TNI sebaiknya diwujudkan dengan mengedepankan perlindungan hak masyarakat adat serta menghormati hak asasi manusia.
“Ketimbang melibatkan militer, pemerintah harus mengedepankan pendekatan partisipatif yang melibatkan masyarakat adat Papua dalam setiap proyek pembangunan. Tanpa keterlibatan mereka secara penuh, proyek seperti food estate akan terus dianggap sebagai bentuk penjajahan ekonomi dan politik yang mengabaikan hak-hak dasar masyarakat lokal,” ujarnya.
Usman mengatakan Panglima TNI perlu meninjau kembali kebijakan pelibatan TNI dalam mendukung ketahanan pangan tersebut. Ia menyatakan pemerintah seharusnya mengambil langkah-langkah untuk mengurangi militerisasi di Tanah Papua, demi mengatasi konflik dan mencegah kekerasan baru di sana.
Masyarakat adat takut protes
Direktur Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia (PAHAM) Papua, Gustaf Kawer mengatakan dari pengalaman yang terjadi di Papua tidak ada pendekatan militer yang humanis. Kawer mengatakan pendekatan humanis yang digaungkan TNI sebagai janji dalam pelaksanaan proyek ketahanan pangan itu hanya slogan belaka.
“Dari pengalaman, saya pikir tidak ada pendekatan militer yang humanis. Pendekatan secara humanis itu hanya slogan kosong saja. Kami lihat dalam pengalaman di Papua, di beberapa tempat yang mereka [TNI] terlibat dalam tugas-tugas kesehatan, pendidikan, tapi faktanya pelanggaran HAM terus terjadi,” kata Kawer kepada Jubi, pada Rabu.
Kawer mengatakan pelibatan TNI dalam program ketahanan pangan di Tanah Papua hanya akan membungkam suara kritis masyarakat adat. Kawer mengatakan masyarakat menjadi takut melakukan kritik dan protes atas lahan mereka yang diambil secara paksa dengan dalil ketahanan pangan tersebut.
“Keterlibatan TNI untuk membungkam masyarakat. Misalnya, dalam pembukaan lahan, karena keterlibatan TNI, masyarakat jadi takut untuk kritik [atas] lokasi [hak ulayatnya] yang diambil. Dalam proses pengelolaan bisnis atau pangan itu, apabila berdampak kepada kerugian masyarakat, masyarakat tidak ada ruang lagi untuk mengeluh, karena di dalamnya institusi militer terlibat,” ujarnya.
Kawer mengatakan kehadiran TNI secara langsung itu menimbulkan tekanan psikologi bagi masyarakat adat. Kawer mengatakan dengan alasan apa pun lebih baik TNI tidak usah terlibat dalam program ketahanan pangan.
“Kekerasan itu bukan saja soal fisik senjata yang mereka pakai untuk melakukan kekerasan. Tapi keterlibatan mereka sejak awal itu membuat masyarakat di teror secara psikologi, dan itu yang kemudian saya katakan masyarakat kehilangan daya untuk kritis. Saran saya, seharusnya militer tidak terlibat mengelola dengan alasan apapun,” katanya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!