Jayapura, Jubi – Menjelang Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada Serentak 2024, Kantor Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM Papua menilai masih sering terjadi kekerasan terhadap jurnalis atau wartawan yang bekerja di Tanah Papua. Masalah itu menjadi topik diseminasi dan diskusi kebebasan pers dan Pilkada Serentak yang digelar Komnas HAM Papua bersama Jubi, lembaga swadaya masyarakat, dan para jurnalis di Kota Jayapura, Papua, Kamis (21/11/2024).
Diseminasi dan diskusi bertajuk Teror terhadap Media Jubi Menjelang Pilkada Serentak di Provinsi Papua, Siapa dan Mengapa? Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Papua, Frits Ramandey menyatakan komunitas maupun media sama-sama mempunyai tanggung jawab moral, konstitusional, dan kemanusiaan untuk menjaga kebebasan pers di Tanah Papua.
Menurutnya, kebebasan pers di Tanah Papua adalah wujud upaya menjaga kewarasan publik untuk tetap terlibat dalam pesta Pilkada Serentak 2024 secara demokratis. Ia juga mengingatkan semua pihak bertanggung jawab untuk menyosialisasikan pilkada yang lebih baik, karena pilkada yang jujur dan adil akan menghasilkan pemimpin yang representatif dan berpihak kepada masyarakat.
“Jika pilkada kotor, dia akan menghasilkan pemimpin yang [bisa menjalankan] kolusi, korupsi, dan nepotisme. Kita tidak ingin Papua yang mengarah kepada masa depan kemiskinan. Karena itu momentum pilkada harus menjadi bagian dan tanggung jawab semua [pihak],” kata Ramandey.
Menurutnya, Komnas HAM berkepentingan berbicara mengenai kebebasan pers di Tanah Papua, karena hanya pers lah satu-satunya institusi publik yang representatif di dunia ini. Komnas HAM mengkualifikasi jurnalis/wartawan sebagai pekerja HAM.
“Pers yang bebas [dan kebebasan pers] mengandung unsur mendukung prinsip negara demokratis. Kalau pers bebas, pasti negara demokratis. Karena tidak ada institusi lain yang menyediakan ruang publik yang cukup untuk orang berekspresi, hanya pers,” katanya.
Selain itu, jika kebebasan pers tidak ada, maka upaya menguatkan partisipasi publik dalam pembangunan bangsa tidak akan terwujud. Ramandey menjelaskan dalam posisi Hak Asasi Manusia, warga negara itu pemangku HAM, dan negara pelaksana HAM. Pemangku maupun pelaksana HAM menggantungkan partisipasinya melalui media, dengan mempertimbangkan unsur keseimbangan berita.
Terkait kekerasan yang kerap dialami jurnalis di Tanah Papua, khususnya kasus teror bom molotov yang dialami Redaksi Jubi pada 16 Oktober 2024, Ramandey menyebut hal itu merupakan ancaman bagi kebebasan pers dan demokrasi.
“Kasus bom molotov di Jubi ini tamparan bagi Kapolda Papua, juga tantangan langsung bagi kepolisian. Kasus itu tidak bisa diukur hanya dari daya ledaknya saja, tetapi modus, motifnya. [Pelemparan molotov itu] menjadi tamparan bagi negara yang sedang bekerja untuk memberantas terorisme,” ujar Ramandey.
Ramandey menyatakan pelemparan molotov di Kantor Redaksi Jubi itu seperti melegitimasi kekerasan menjelang Pilkada Serentak 2024. Apa bila kasus itu tidak diungkap, kasus itu seperti mengesahkan tindakan teror di Tanah Papua.
Dalam perspektif HAM, ujar Ramandey, pelemparan molotov itu mengancam tentang hak rasa aman, dan jika dibiarkan terus maka akan mengancam hak hidup individu dan banyak orang.
“Kami belum lihat kepolisian mengungkapkan kepada publik sejauh mana kasus yang berskala internasional. Bukan soal daya ledaknya, namun motif dan modusnya berskala internasional. Kami merekomendasikan Kapolda sebaiknya berkoordinasi dengan Pangdam XVII/Cenderawasih untuk upaya pengungkapan kasus itu sebagai komitmen pemberantasan teror di Tanah Papua,” katanya.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen atau AJI Kota Jayapura, Lucky Ireeuw menyatakan dalam konteks pilkada ia berharap pers dapat bekerja secara bebas, maksimal, dan professional. Ia mengingatkan setiap orang yang memiliki hak pilih akan kesulitan menentukan pilihan jika pers memihak, tidak bekerja secara profesional.
“Kebebasan pers menjadi hak mutlak yang harus dimiliki, sehingga pers dapat bekerja secara maksimal. Introspeksi ke dalam juga, kita perlu banyak berbenah supaya bekerja secara baik, jujur, sesuai nilai dan kode etik, supaya masyarakat mendapat informasi yang sebenarnya dalam menentukan pilihannya saat Pilkada,” ujar Ireeuw.
Menyangkut kasus teror molotov di Kantor Redaksi Jubi, Pemimpin Redaksi Harian Cenderawasih Pos itu menegaskan siapa pelaku dan mengapa pelemparan molotov itu terjadi masih menjadi tanda tanya besar. “Kita percayakan kepada kepolisian, jangan sampai kepercayaan kita menjadi hilang kalau [kasus itu] tidak diungkap. Itu bisa menjadi preseden buruk penegakan hukum [dan] perlindungan terhadap jurnalis. [Itu] menjadi barometer atau ukuran apakah polisi mampu mengungkap kasus ini secara jelas,” katanya.
Diseminasi dan diskusi itu juga menghadirkan Kepala Kepolisian Resor Kota Jayapura Kota, Kombes Victor Mackbon. Mackbon menjelaskan kasus ancaman yang menimpa Redaksi Jubi telah menjadi atensi dan tanggung jawab kepolisian.
“Intinya perlindungan terhadap media atau jurnalis itu sangat penting, karena kami yakin profesi jurnalis sesuai dengan etika dan aturan menyuarakan hal-hal atau fakta yang terjadi di lapangan, meski berbicara fakta ada yang suka dan tidak suka,” kata Mackbon. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!