Jayapura, Jubi – Pihak hereja di Papua melayangkan surat terbuka kepada pimpinan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) Komando Daerah Pertahanan III-Derakma-Ndugama, Egianus Kogeya. Pendeta Benny Giay selaku moderator dan perwakilan gereja di Papua mencantumkan sejumlah poin. berikut isi lengkap surat terbuka tersebut.
SURAT GEMBALA
No: 02/SG/DGP/II/23 Kepada Yth
Lamp: — Tuan Egianus Kogeya TPNPB
Hal: Juru runding & Pembebasan Sandera di
Tempat
Shalom
Dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan orang Papua dan masalahnya teristimewa
(a) mencegah lebih banyak korban masyarakat sipil di Distrik Paro dan distrik-distrik lainnya ke depan
(b) aspek kemanusiaan dari sang pilot dengan kebutuhannya di tempat penyanderaan dan
(c) dengan berpedoman kepada Pengalaman penyanderaan oleh OPM: Nduga (Januari 1996) & penyanderaan 2 orang warga Belgia (Juni 2001),
Kami meminta Tuan Egianus Kogeya mulai segera menunjuk ‘tim juru runding’ untuk membebaskan pilot. Ini kami usulkan untuk mencegah ‘genosida merangkak’ yang kami sebutkan di bawah.
Kami memahami bahwa penyanderaan ini dilatar-belakangi berbagai persoalan sejarah itu seperti:
(a) penderitaan bangsa Papua yang dialami sejak 1960an hingga hari ini, yang membuat Tuan Egianus Kogeya dkk memilih jalan perlawanan gerilya; khususnya
(b) ribuan masyarakat Nduga, yang sedang hidup di pengungsian sejak Desember 2018;
(c) Kemarahan masyarakat Nduga terkait 4 orang warganya yang dimutilasi pihak Keamanan Negara bulan Agustus 2022 disusul dengan (d) pengungsi Nduga dari Distrik Paro, Kabupaten Nduga sejak penyanderaan; dst.
(e) Di tingkat Tanah Papua kami sebut (e1) pemekaran Propinsi Papua & Papua barat menjadi 6 Propinsi tanpa persetujuan MRP & DPRP yang akan mendatangkan belasan juta pegawai, pembangunan institusi keamanan di semua tingkatan, berbagai agama dll, dan (e3) tanpa mempersiapkan orang asli Papua menghadapi perubahan2 ini, dan
(f) Penangkapan Lukas Enembe dan Viktor Yeimo yang dalam keadaan sakit dijebloskan ke dalam penjara, dll.
Dalam pengamatan kami Gereja Papua, secara politik semua yang kami sebutkan di atas; secara khusus dalam 4 tahun terakhir, tidak lepas ‘Tanah Papua sudah diduduki oleh Lembaga Keamanan negara Indonesia yang totaliter; tidak ada ruang demokrasi, TNI POLRI sudah menguasai kehidupan masyarakat.
Ini sudah kita baca (dalam bulan Oktober 2019) melalui pernyataan Mendagri, Tito Karnavian bahwa ‘semua kebijakan pembangunan yang dilaksanakan di Tanah Papua ialah: dalam rangka mengeksekusi rekomendasi kebijakan Badan Intelijen Negara (BIN). Dalam beberapa tahun ini semua kendali pembangunan di Tanah ini ada di tangan lembaga keamanan negara.
Simak wacana bermuatan rasis & militeristis berikut dari para petinggi Negara Indonesia 2 atau 3 tahun terakhir.
(a) Pidato Ketua Partai PDIP pertengahan Juni 2022 lalu yang program untuk ‘mengubah orang Papua yang hitam menjadi kopi susu melalui program genetika’.
(b) ‘usulan program yang diajukan awal Januari 2021 oleh Hendroprijono, mantan Kepala BIN RI untuk membuang dua setengah juta orang Papua dari tanah leluhurnya ke Sulawesi Utara dan datangkan dua setengah juta orang Manado (Sulawesi Utara) ke Tanah Papua’.
Masalah-masalah ini, yang sedang kami hadapi inilah yang mendasari usulan kami kepada Tuan Egianus Kogoya dan masyarakat internasional. Khusus kepada Tuan Egianus usulan kami tadi agar mulai menunjuk Tim Negosiasi berangkat dari pengalaman sejarah OPM di masa seperti berikut:
(a) Penyanderaan terhadap 2 orang warga Belgia pada awal Juni 2001 di ILaga dan yang dibebaskan Agustus 2001, tanpa korban masyarakat sipil (tanpa operasi militer) karena dimediasi pihak ketiga yang diminta Tuan Titus Murib.
(b) Pengalaman Penyanderaan Mapnduma Januari 1996. Beberapa bulan setelah penyanderaan, OPM mengambil langkah minta pihak Palang Merah Internasional untuk turun untuk membawa para sandera; walaupun kami membaca yang datang bukannya Palang Merah, tetapi Pihak keamanan Indonesia yang licik dengan menggunakan bendera Palang Merah Internasional; saat mendarat, mulai melepas tembakan ke arah masyarakat dan pihak Keamanan membawa keluar para sandera. Walaupun siasatnya tidak benar, korban masyarakat sipilnya bisa dihindari.
Kepada masyarakat internasional kami minta gunakan kesempatan untuk menekan pemerintah yang sedang ‘melaksanakan ‘creeping genocide’ dengan cara membiarkan/menyuburkan ‘nasionalisme Papua’ dengan cara berikut:
(a). Pemerintah tidak menyelesaikan akar masalah dari konflik Papua yang sudah akan berusia 60 tahun (pada tanggal 1 Mei 2023 sejak 1 Mei 1963). Salah satu masalah yang mendasari konflik ialah rasisme Indonesia terhadap bangsa Papua yang memarginalisasikan orang asli Papua dalam segala bidang.
(b) Maraknya praktik menjual beli senjata dan amunisi kepada OPM. Ada banyak cara yang dipakai untuk menyuburkan aspirasi Papua. Salah satunya ialah Lembaga keamanan membiarkan ‘praktek2 berjual beli senjata kepada OPM; dengan motif supaya mempertahankan hegemoni TNI POLRI di Tanah Papua sebagai ‘pemberantas separatisme dan penjaga keutuhan wilayah NKRI’.
(c) Penyanderaan pilot Susi Air ini terjadi beberapa hari setelah Pemerintah Indonesia secara sepihak mencabut kesepakatan ‘Jeda Kemanusiaan’ yang ditandatangani bulan November 2022 lalu; untuk menghentikan ‘konflik Papua Jakarta sudah berusia 60 tahun (sejak 1 Mei 1963). ‘Jeda Kemanusiaan’ tadi ditanda tangani oleh: MRP & ULMWP mewakili Papua dan KOMNAS RI mewakili pemerintah RI. Pertemuan untuk menjajaki perundingan damai ini dimulai 15 Juni 2022. Tetapi pemerintah RI diwakili KOMNAS HAM RI mencabut diri dari ‘kesepakatan tadi’ tanggal 9 Februari lalu diikuti oleh Petinggi Keamanan (tanggal 4 Februari) di Jakarta; yang kami lihat sebagai cara pemerintah mempermainkan Papua.
Surat ini kami buat didasari anggapan, bahwa bangsa Papua di dalam Republik ini sedang menyaksikan pengalaman pendudukan tanah milik orang Asli Amerika & Australia oleh bangsa Eropa, yang dalam konteks Tanah Papua dewasa ini kami sebut ‘genosida merangkak atau bertahap’.
Demikian penyampaian kami, atas perhatiannya kami menyampaikan banyak terima kasih.
Jayapura 17 Februari 2023
Pdt. Benny Giay/Moderator