Jayapura, Jubi – Kuota perempuan di partai politik sebesar 30 persen, dinilai hanya sebagai pelengkap keberadaan dan administrasi sebuah partai dan tidak berujung pada penetapan kebijakan yang pro terhadap kebutuhan perempuan yang berada di luar sistem politik.
Memasuki masa-masa percaturan politik di Indonesia, seluruh kontestan partai politik mulai berlomba memastikan diri sebagai peserta pemilihan umum (pemilu) yang siap bersaing dan memenangkan pesta demokrasi di Indonesia, baik dalam kepengurusan pusat hingga daerah.
Syarat pendaftaran peserta pemilu yang dilakukan tidak hanya sebatas administrasi kepengurusan saja. Kuota 30 persen perempuan wajib diakomodir sebagai penetapan Undang-Undang Pemilu dan peraturan teknis Komisi Pemilihan Umum.
Komisioner KPU Papua, Sandra Mambrasar, mengatakan perekrutan keterwakilan perempuan di dalam partai politik wajib diakomodir. Lalu hal ini berubah dalam pasal-pasal penetapannya bahwa untuk kursi DPR pusat tetap mengakomodir 30 persen tersebut, sementara di daerah wajib ‘memperhatikan’ kuota 30 persen keterwakilan perempuan.
Dikatakan, pihaknya sebagai penyelenggara pemilu justru memperhatikan aturan serta kuota yang ditetapkan ini. Bahwa, ada kesempatan yang bisa dimanfaatkan oleh kaum perempuan untuk maju dan mendapatkan kesempatan menempati kursi legislator, baik di pusat maupun daerah.
“Ada banyak hal yang bisa diurus atau disuarakan bagi kaum perempuan. Kesehatan dan reproduksi perempuan, kekerasan terhadap perempuan, pemberdayaan dalam dari segi ekonomi, dan masih banyak lagi yang bisa disuarakan ketika sudah berafiliasi di dalam sistem dan kebijakan. Sekarang tinggal perempuannya, mau atau tidak terlibat langsung. Ini soal kesiapan dan kepercayaan diri,” ujar Mambrasar usai mengikuti dialog Perempuan Bicara dengan tema Menakar Partisipasi Politik Perempuan Papua Pasca Pemekaran Provinsi dan Menjelang Pemilu 2024 di Studio Jubi TV, Waena, Kota Jayapura, Rabu (8/3/2023).
Menurutnya, melihat jumlah kuota yang tersedia, tidak hanya partai politik saja tetapi juga penyelenggara serta pengawas juga mengakomodir hal yang sama dan harusnya hal ini direbut. Karena kesempatan tidak akan datang kedua kali.
Ia mencontohkan dirinya saat ini sebagai salah satu komisioner KPU Papua dari keterwakilan perempuan. Bahkan tidak mempunyai pengalaman di birokrasi maupun politik, karena hanya berpengalan sebagai pekerja LSM dan aktivis.
“Sejauh ini memang keterlibatan serta animo dari perempuan secara khusus perempuan asli Papua sangat minim. Padahal kuota ketersediaan tempat, baik pengurus partai maupun nantinya perebutan kursi legislator,” jelasnya.
Sementara itu, Forum Perempuan Papua Barat, Ester Haluk, mengatakan ketersediaan kuota bagi keterwakilan perempuan saat ini untuk terlibat dalam politik praktis mestinya didorong secara bersama. Secara khusus perempuan Papua, ketika dilihat dari animo atau keterlibatan secara langsung memang tidak begitu banyak, sangat minim.
“Hal ini yang menjadi pergumulan kita bersama, karena ada banyak hal yang bisa dilakukan bagi kaum perempuan ketika ada keterwakilan perempuan di kursi parlemen, baik di pusat hingga daerah,” kata Ester Haluk.
“Kita berharap bagi perempuan Papua yang sudah mendapat tempat sebagai penyelenggara maupun sebagai legislator dapat membuka ruang pendidikan politik. Dan ketika ada keterwakilan perempuan di partai politik, harus jeli melihat seluruh kesempatan yang dimiliki,” imbuhnya.
Minimnya keterwakilan perempuan, katanya, sangat berdampak dan hingga saat ini belum ada titik temunya. Kondisi Papua saat ini, secara khusus di beberapa daerah yang mengalami kerusuhan, pengungsian, terdampak dari roda ekonomi oleh pengusaha yang datang dari luar daerah, diskriminasi, kekerasan dalam rumah tangga, pelanggaran HAM, kekerasan militer, dan masih banyak lagi yang lainnya.
“Isu global kemanusiaan, korban kekerasan, dan pengungsian yang terjadi secara besar-besaran saat ini, korbannya adalah kaum perempuan dan anak. Apakah keterwakilan kita [perempuan] yang saat ini sebagai legislator, baik di pusat maupun di daerah, pernah menyuarakan hak-hak perempuan atau turut memikirkan hal ini agar ada solusi dan jalan keluarnya. Kita berharap agar keterwakilan perempuan dapat berbicara banyak, dan kuota yang tersedia saat ini dapat dimanfaatkan untuk turut terlibat dan menyuarakan hal-hal yang penting bagi kaum perempuan,” tegasnya. (*)