Jayapura, Jubi – Presiden Daerah Otonomi Bougainville Ismael Toroama menentang sikap pemerintah nasional Papua New Guinea (PNG) dalam meratifikasi hasil referendum kemerdekaan rakyat Bougainville pada 2019 dalam pidatonya pada Pertemun Badan Pengawas Gabungan di Port Moresby.
Ia mengawali pidatonya dengan menyatakan bahwa ‘ratifikasi’ hasil referendum adalah langkah terakhir dalam kesepakatan yang dibuat dengan pemerintah Papua Nugini. “Lebih dari 15 tahun lalu berdasarkan Perjanjian Perdamaian Bougainville (BPA),” katanya dikutip jubi.id dari https://www.postcourier.com.pg, Jumat (10/5/2024).
Namun, pemimpin Bougainville menekankan bahwa istilah ‘ratifikasi’ tidak disebutkan di mana pun di luar BPA. Juga tidak termasuk dalam bagian 14 Konstititusi PNG yang baru dimasukkan untuk melaksanakan perjanjian tersebut, ‘harus tunduk pada ratifikasi (kewenangan pengambilan keputusan akhir) dari Parlemen Nasional’, itu harus dihormati.
Dia memperingatkan bahwa kegagalan untuk melakukan hal tersebut akan melanggar semangat dan isi perjanjian perdamaian yang telah dicapai dengan susah payah.
Ketika pemerintah PNG berpendapat bahwa diperlukan dua pertiga mayoritas parlemen untuk meratifikasi hasil tersebut, Toroama menantang penafsiran hukum pemerintah pusat dan mengisyaratkan kesiapan Bougainville untuk melakukan mediasi dari luar jika kebuntuan terus berlanjut.
“Ratifikasi sebagaimana istilah yang digunakan dalam Perjanjian Damai Bougainville adalah langkah terakhir dalam kesepakatan yang kami buat dengan pemerintah Papua New Guinea, lebih dari 15 tahun lalu. BPA menyatakan dalam Pendahuluan dan Garis Besar kata-kata berikut: ‘Hasil referendum rakyat Bougainville harus tunduk pada ratifikasi (kewenangan pengambilan keputusan akhir) dari Parlemen Nasional di Port Moresby’,” kata Moriama yang merupakan Presiden Daerah Otonomi Bougainville.
“Kata-kata ini tidak diulangi di luar BPA, mereka juga tidak mengulangi khususnya Pasal 14 Konstitusi baru yang dimasukkan untuk menerapkan BPA,” katanya.
Menurutnya satu-satunya ketentuan dalam Pasal 342 berbicara tentang proses konsultasi antara kedua pemerintah mengenai pelaksanaan hasil referendum dan serangkaian langkah yang diperlukan agar masalah tersebut dipertimbangkan oleh parlemen, yaitu pengajuan hasil referendum di Parlemen Nasional dan juga keputusan Parlemen Nasional.
Ia menegaskan bahwa terakhir harus memberitahukan kepada pemerintah Bougainville mengenai hasil keputusan Parlemen Nasional.
“Mengetahui tujuan kemerdekaan kami diatur dalam Konstitusi PNG menandai titik balik dalam perang di mana saya secara pribadi memutuskan untuk bergabung dalam proses perdamaian dengan keyakinan bahwa jalur konstitusional ini akan membawa saya sebagai seorang pemimpin pejuang,” ujarnya.
Pergolakan dan konflik perjuangan kemerdekaan Bougainville berakhir dengan referendum bagi Daerah otonom Bougainville di Papua New Guinea (PNG).
Sebanyak 180.000 warga di Bougainville telah memberikan suara dalam referendum 23 November dan 7 December 2019. Hasilnya suara terbanyak mendukung kemerdekaan Bougainville dari Papua Nugini sehingga membuka jalan bagi gugusan pulau tersebut untuk menjadi negara terbaru di dunia.
Lebih dari 180 ribu orang di Bougainville, kumpulan pulau-pulau yang terletak 700 km lepas pantai Papua Nugini di Laut Solomon, berpartisipasi dalam referendum selama beberapa minggu terakhir yang telah direncanakan selama hampir 20 tahun.
Hampir 98 persen masyarakat (176.928 jiwa) memilih kemerdekaan dan kurang dari 2% (3.043 jiwa) memilih tetap menjadi bagian dari Papua Nugini, namun dengan ‘otonomi yang lebih besar’. Ada 1.096 surat suara tidak resmi. (*)
Discussion about this post