Jayapura, Jubi – Negara tetangga Papua Nugini baru saja menuntaskan pemilihan umum di sana. Kini, PNG mempunyai dua perempuan di parlemen. Vanuatu juga baru laksanakan pemilu pada 13 Oktober 2022. Hasilnya, satu orang perempuan lolos ke parlemen. Fiji yang sekarang mempunyai 10 anggota perempuan di parlemen, akan melaksanakan pemilu pada November mendatang. Terakhir, Kepulauan Solomon akan melaksanakan pemilu pada 2024. Saat ini ada empat perempuan di Parlemen Kepulauan Solomon.
Pentingnya anggota parlemen perempuan di tengah dominasi politik kaum pria Melanesia, jelas menjadi tantangan tersendiri. Terutama dalam kepemimpinan Big Man, pakar antropolog mengakui adanya dominasi kaum pria Melanesia. Memang dalam sistem kepemimpinan politik tradisional, jelas peran kaum laki-laki dalam budaya Melanesia sangat dominan.
Celakanya lagi, pengaruh itu dibawa dalam politik modern di negara Melanesia. Misalnya, di Papua Nugini, ada pandangan yang keliru bahwa gedung parlemen adalah rumah laki-laki. Seolah-olah sangat tabu kalau perempuan mendekati rumah bujang dalam upacara inisiasi.
Mereka bilang parlemen adalah ”man house atau hausman“ dalam budaya rumah bujang pria Melanesia.
Pendapat ini ditepis mantan anggota parlemen Papua Nugini dan juga mantan Ketua Oposisi dalam Parlemen PNG, Dame Carol Kidu (74) yang selama 12 tahun berjuang agar ada pemahaman bahwa gedung parlemen bukan rumah laki-laki dalam budaya Melanesia.
Bagi Kidu, para kandidat bukan masalah tetapi bagaimana memberikan pendidikan kepada masyarakat untuk menantang persepsi tentang kapasitas perempuan dalam klaim kepemimpinan, terutama di PNG yang sering terjerat dalam referensi budaya dan tradisi.
“Saya mencoba memisahkan dalam pikiran mereka bahwa calon perempuan tidak menentang konsep hausman [rumah laki-laki],” kata Kidu yang merujuk pada sistem kepemimpinan tradisional di Papua Nugini.
“Kami berbicara tentang bagaimana konsep itu dipindahkan ke gedung parlemen yang tidak ada hubungannya dengan adat,” kata Kidu seraya menambahkan bahwa gedung parlemen itu ibarat burung Cenderawasih sayap kiri kaum perempuan dan sayap kanan kaum laki laki sehingga dalam parlemen terdapat keseimbangan.
Oleh karena itu tak heran ketika Kessy Sawang, politikus perempuan asal Provinsi Madang-PNG, menegaskan bahwa kita tidak bisa menyalahkan siapapun.
“Tapi ini adalah ketidakadilan yang mendorong saya merebut kursi dan memberi penghargaan kepada mereka yang tidak takut memilih pemimpin perempuan.”
“Rwanda adalah negara kulit hitam di Afrika dan begitu kaum perempuan mendominasi kursi parlemen di sana angka pendidikan dan kesehatan naik dan angka korupsi turun dan kaum perempuan memegang tampuk kekuasaan,” kata Kidu.
Perjuangan Kidu dan kawan-kawan di Parlemen Papua Nugini baru membuahkan hasil dua anggota parlemen yaitu Kessy Sawang dan Rufina Peter. Keduanya berhasil merebut 118 kursi di parlemen Port Moresby tercatat terdapat 167 calon legislatif perempuan di tengah persaingan 3000 kandidat laki-laki.
Vanuatu, negara Melanesia tempat kantor pusat Melanesia Spearhead Group (MSG) atau negara negara ujung tombak Melanesia di Port Vila, baru saja menggelar pemilihan umum pada 13 Oktober. Hasilnya, hanya satu orang perempuan yang terpilih menjadi anggota Parlemen Vanuatu yaitu mantan pesepakbola putri Vanuatu, Gloria Julia King.
Sejak kemerdekaan Vanuatu pada 30 Juli 1980, negara ini sudah memiliki lima anggota parlemen perempuan dan Gloria Julia King adalah perempuan keenam.
Berbeda dengan nasib tiga kandidat perempuan di Port Vila, mereka harus bersaing melawan 27 kandidat pria merebut lima kursi di wilayah jantung ibukota Vanuatu, Port Vila. Tiga perempuan itu Doresday Kenneth, Nadia Kanegai, dan Harry Anthony Laris melawan kandidat kuat mantan pemimpin oposisi Vanuatu Ralph Regenvanu dan kawan-kawan.
Meskipun Kenneth telah berjuang dan mengatakan bahwa keseimbangan di parlemen harus ada suara perempuan karena parlemen itu rumah bagi semua orang dan bukan hanya rumah laki-laki.
“Kami membutuhkan suara perempuan di parlemen,” kata Kenneth kepada rakyat Simbolo Red Light selama kampanyenya sebagaimana dilansir dari dailypost.vu.
Bagaimana dengan Fiji, negara campuran antara Polinesia, Melanesia, dan keturunan India Fiji? Kaum perempuan Fiji, mungkin yang paling berkembang maju di negara-negara Melanesia dan Pasifik.
Hampir sebagian besar NGO maupun aktivisi didominasi kaum perempuan Fiji. Sebut saja Mauren Penjaueli, aktivis perempuan pejuang anti nuklir di Pasifik dan juga deep sea mining di Pasifik. Dia adalah Direktur LSM PANG di Fiji.
Begitu pula dengan Shamima Ali, perempuan peranakan India yang aktif dalam perjuangan Hak Asasi Manusia (HAM) termasuk perjuangan warga Papua Barat.
Pemilihan Umum Fiji pada 2018 lalu tercatat ada 10 perempuan di parlemen, sedangkan kaum laki-laki 41 orang. Berarti persentase perempuan 19,61 persen.
Sepuluh anggota perempuan di Parlemen Fiji adalah (1) Hon Premila Kumar; (2) Hon Mereseini Viminawaqa; (3) Hon Rosy Sofia Akbar; (4) Hon Selai Adimaitoga; (5) Hon Veena Bhatanagar; (6) Hon Lynda Tabuya; (7) Hon Teimumu Kepa; (8) Hon Salote Radrodro; (9) Hon Adi Litia Qionibarayi; dan (10) Hon Lenora Qereqeretabua.
Fiji menganut sistem multipartai. Partai politik terbesar di Fiji adalah Soqosoqo ni Duavata ni Lewenivanua (SDL), yang merupakan partai penduduk pribumi Fiji dan Fiji Labour Party (FLP), yaitu partai yang mewakili kepentingan warga keturunan India.
Fiji telah mengalami empat kali kudeta yaitu pada Mei 1987, September 1987, April 2000, dan Desember 2006. Kudeta yang keempat (5 Desember 2006) dipimpin oleh Komodor Josaia Voreqe Bainimarama, yang kemudian mengangkat dirinya sebagai Perdana Menteri sementara. Kudeta tersebut mengundang kecaman dari berbagai negara, terutama negara-negara donor yang selama ini membantu pembangunan Fiji. Mereka mendesak pemerintahan sementara yang dibentuk militer pada Januari 2007 untuk segera melaksanakan pemilu.
Kepulauan Solomon akan melaksanakan Pemilu pada 2024 menyusul adanya pelaksanaan Pasifik Games sehingga dimundur dari semula Mei 2023. Dalam Pemilu 2019 lalu, tercatat ada empat perempuan di Parlemen Kepulauan Solomon. Para perempuan itu adalah Jamie Vokia, Freda Tuki, Lilia Maefai, dan Lanelle Tanangada.
“Secara keseluruhan orang percaya bahwa perempuan berpartisipasi dalam politik meningkat dari waktu ke waktu, dengan hanya di bawah 60% responden yang mengatakannya lebih mudah bagi seorang perempuan untuk dipilih sekarang daripada sepuluh tahun yang lalu,” demikian hasil penelitian dikutip dari https://iwda.org.au/assets/files/Public-Perceptions-of-Women-as-Leaders-in-Solomon-Island. (*)