• Redaksi
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
  • Pedoman Media Siber
  • Hubungi Kami
  • Kode Etik
  • Laporan Transparansi
Jubi Papua
Teras ID
  • Home
  • Tanah Papua
    • Anim Ha
    • Bomberai
    • Domberai
    • La Pago
    • Mamta
    • Mee Pago
    • Saireri
    • Arsip
  • Indepth
  • LEGO
  • Nasional
  • Dunia
  • Pasifik
  • Kerjasama
    • Pulitzer
    • Menyapa Nusantara
    • Provinsi Papua Tengah
    • Kabupaten Jayawijaya
    • Kabupaten Jayapura
    • Kabupaten Mappi
    • Provinsi Papua
    • Pina
  • Networks
    • Jubi TV
    • English
    • Deutsch
    • France
    • Indeks
Donasi
No Result
View All Result
Jubi Papua
  • Home
  • Tanah Papua
    • Anim Ha
    • Bomberai
    • Domberai
    • La Pago
    • Mamta
    • Mee Pago
    • Saireri
    • Arsip
  • Indepth
  • LEGO
  • Nasional
  • Dunia
  • Pasifik
  • Kerjasama
    • Pulitzer
    • Menyapa Nusantara
    • Provinsi Papua Tengah
    • Kabupaten Jayawijaya
    • Kabupaten Jayapura
    • Kabupaten Mappi
    • Provinsi Papua
    • Pina
  • Networks
    • Jubi TV
    • English
    • Deutsch
    • France
    • Indeks
Donasi
No Result
View All Result
Jubi Papua
No Result
View All Result
Home Indepth Stories

Menyelisik Tiyaitiki, upaya adat menjaga sumber pangan rakyat

December 18, 2025
in Indepth Stories
Reading Time: 14 mins read
0
Penulis: Sudjarwo Husain - Editor: Syofiardi
Ikan laut segar dari laut Jayapura. –Jubi/ Engel Wally

Ikan laut segar dari laut Jayapura. –Jubi/ Engel Wally

0
SHARES
17
VIEWS
FacebookTwitterWhatsAppTelegramThreads

Jayapura, Jubi – Pantai Tablanusu di Distrik Depapre, Kabupaten Jayapura, tidak berpasir putih seperti kebanyakan pantai pada umumnya. Di sana, hanya ada hamparan batu koral yang menutupi permukaan pantainya.

Setiap kali ombak dari perairan Teluk Tanah Merah menyapu, batu-batu itu bergesekan menimbulkan suara desis, seperti isak tangis yang tertahan. Orang-orang sering menyebutnya ‘batu menangis’.

Pada Selasa (11/11/2025), siang itu, suara gesekan batu-batu koral yang dihempas ombak memecah kesunyian di Kampung Tablanusu yang tenang.

Tak jauh dari bibir pantai, Rudi Suwae (40) sedang membetulkan benang-benang jaringnya yang kusut setelah dipakai mencari ikan di laut. Dia tampak telaten menarik dan merapikan jaringnya sembari berteduh di bawah pohon kelapa.

*****************

Jubi.id adalah media yang berbasis di Tanah Papua. Media ini didirikan dengan sumberdana masyarakat melalui donasi dan crowd funding. Dukung kami melalui donasi anda agar kami bisa tetap melayani kepentingan publik.

CLICK HERE!

*****************

Rudi adalah nelayan lokal dan putra asli Kampung Tablanusu. Sama seperti sebagian besar lelaki dewasa di pesisir Teluk Tanah Merah Depapre, kehidupan keluarganya bergantung dari hasil melaut. Baginya laut tak hanya sebatas tempat mencari nafkah, tapi sudah menjadi dapur yang mencukupi kebutuhan protein dan gizi keluarganya dari tahun ke tahun.

Meski sebagai nelayan yang pendapatannya bergantung dari hasil laut, Rudi hanya mencari dan membawa pulang ikan secukupnya yang sebagian untuk dikonsumsi dan sebagian lagi untuk dijual.

Prinsip itu rupanya sudah tertanam sejak lama di kalangan nelayan lokal Tablanusu dan pesisir Depapre. Sebuah warisan dari leluhur demi keberlangsungan ekosistem laut yang menjadi sumber pangan rakyat.

BERITATERKAIT

Gubernur Fakhiri: Ikan adalah basis ketahanan pangan generasi emas 2045

Bupati Jayapura: Bantuan alat berat dorong ketahanan pangan lokal

Kebijakan fiskal Pemkab Jayapura fokus pada ketahanan pangan dan kesejahteraan rakyat

Diskusi Forum Tuna Pasifik sedang berlangsung

“Orang tua kami dulu selalu bilang, ambil ikan secukupnya saja untuk dalam rumah, untuk kita makan, dan sebagiannya untuk dijual,” ujar Rudi.

Tiyaitiki

Ikan yang berlimpah di perairan Teluk Tanah Merah ibarat surga pangan bergizi bagi masyarakat setempat. Keberlimpahan hasil laut itu tak lepas dari peran adat yang menjaga keberlangsungan biota laut melalui tradisi turun-temurun dari zaman nenek moyang Suku Tepera, pesisir Teluk Tanah Merah, Depapre. Sebuah kearifan lokal konservasi adat bernama Tiyaitiki.

Tradisi itu memberlakukan larangan total penangkapan di area tertentu selama masa konservasi, menjamin biota laut dapat bertelur dan berkembang biak dengan tenang. Lalu pada hari yang ditetapkan, ikan yang sudah dalam usia tangkap akan dipanen oleh masyarakat.

Kearifan lokal itulah yang pada akhirnya juga mendatangkan berkah bagi para nelayan di sana, termasuk Rudi salah satunya.

“Orang-orang tua dulu masih bisa panggil ikan, masuk ke sini (ke dalam teluk). Ketika ikan banyak yang masuk, kita mencari dan ambil secukupnya,” ujar Rudi.

Kepastian pendapatan dan ketersediaan ikan di laut memberikan manfaat langsung yang dirasakan Rudi dan nelayan lokal di sana.

“Hasil tangkapan terkadang bisa berkali lipat dibandingkan hari biasa di laut. Kami mendapatkan ikan yang lebih besar dan kualitasnya premium, seperti ikan kakap merah dan kerapu yang harganya cukup mahal, sekaligus menjamin kami punya stok protein dan gizi untuk keluarga,” jelasnya.

Tiyaitiki menjadi fondasi yang menjaga dapur masyarakat tetap berasap dan asupan gizi anak-anak tetap terisi, di tengah ancaman modernisasi dan eksploitasi laut yang serakah. Tiyaitiki adalah konsep ketahanan pangan yang terlahir dari ketaatan pada adat, bukan dari program pemerintah.

“Konservasi yang mirip dengan tradisi sasi itu sudah jadi tradisi dari dulu. Kami masyarakat, khusus di Kampung Tablanusu, itu wilayah reef, karang-karang itu memang dilarang [mengambil hasilnya],” kata Arikelaus Danya, kepala Kampung Tablanusu.

Larangan itu diberlakukan setiap tahun dengan menutup sebagian wilayah laut. Lalu dibuka pada bulan tertentu atau ketika air surut panjang untuk kemudian hasilnya akan dipanen beramai-ramai oleh masyarakat. Hasil panen ini menjadi asupan pangan bergizi bagi masyarakat setempat.

Tiyaitiki
Nelayan lokal Tablanusu, Rudi Suwae, sedang merapikan jaring ikan. –Jubi/ Engel Wally

“Filosofi Tiyaitiki itu lebih kepada kita menjaga lingkungan, menjaga kawasan agar tetap lestari dan bisa dinikmati turun-temurun, keberlangsungan untuk generasi berikutnya. Karena cara mengambilnya memang secukupnya saja,” ujar Arikelaus.

Sekretaris Distrik Depapre Mathias Luther Suwae yang juga berasal dari Kampung Tablanusu menuturkan, tradisi Tiyaitiki itu sudah berlangsung turun-temurun sejak zaman dulu.

“Pikiran mereka, supaya ikan di situ jangan sampai punah. Mereka biarkan satu tahun supaya ikan yang besar-besar mereka panen saat buka Tiyaitiki. Tidak semua ikan itu diambil habis, tapi mereka mengambil secukupnya, sehingga pemeliharaan ikan, terumbu karang dan lain-lain dijaga. Tradisi itu yang terus dipakai sampai hari ini di daerah pesisir Tanah Merah,” katanya.

Penjaga warisan leluhur di Tablasupa

Tak jauh dari Kampung Tablanusu, sapuan ombak juga memecah kesunyian di bibir Pantai Amai, Kampung Tablasupa. Suasana tampak lengang dan sesekali kicauan burung terdengar saling bersahutan dari balik pepohonan.

Di sebelah pondok wisata yang menghadap muara sungai yang hanya berjarak beberapa meter dengan pantai, Marten Serontou tampak sibuk membersihkan perahu miliknya, ketika hujan rintik baru saja turun siang itu, Selasa (11/11/2025). Ia sedang tak melaut hari itu, karena cuaca dan gelombang jelang pergantian tahun ini kurang bersahabat.

Marten adalah tokoh adat Tablasupa dan nelayan senior berusia 70 tahun. Ia pewaris marga Serontou, salah satu suku pemegang komando tradisi Tiyaitiki di kampungnya.

Masyarakat adat di Kampung Tablasupa mengenal tradisi Tiyaitiki sebagai sistem pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang diterapkan secara turun-temurun, melalui model ‘buka-tutup’ kawasan laut pada waktu tertentu, atau enam bulan hingga setahun lamanya.

Pranata sosial itu adalah pengetahuan mengatur, mengelola, memanfaatkan, dan melestarikan sumber daya laut dan pesisir dalam konteks lokal, yang telah diwariskan dari pengalaman nenek moyang.

Bisa dibilang, Tiyaitiki merupakan cikal bakal ketahanan pangan bagi masyarakat adat setempat.

Tiyaitiki
Marten Serontou, Andoafi (Kepala Suku Serontou) di Kampung Tablasupa. –Jubi/ Engel Wally

Sambil mengunyah pinang bercampur kapur dan sirih, Marten Serontou menjelaskan panjang lebar tentang tradisi Tiyaitiki. Sebagai tokoh adat dengan gelar andoafi (Kepala Suku Serontou di Tablasupa), Marten masih terus menjaga tradisi warisan leluhurnya itu di tengah gempuran aktivitas para pencari ikan modern yang menghalalkan segala cara untuk mengeruk kekayaan laut di perairan Tanah Merah.

“Kami memegang teguh sistem buka-tutup wilayah laut ini yang disebut dengan istilah Tiyaitiki. Tujuan utamanya untuk konservasi ekosistem laut dan penerapan nilai-nilai sosial dalam kehidupan masyarakat,” kata Marten.

Tiyaitiki diberlakukan secara rutin setiap tahun ketika musim meti kering atau surut panjang. Selama konservasi adat Tiyaitiki itu diberlakukan, sebagian wilayah laut di perairan Tanah Merah ditutup total.

Perintah larangan itu disampaikan langsung oleh tokoh adat setelah diadakan musyawarah. Bahkan menyalakan cahaya lampu atau suara bising pun dilarang agar ikan tidak menjauh.

Kearifan lokal Suku Tepera itu dimulai dari memasang perangkap seperti rumpon yang dipagari di laut untuk menjebak ikan, dan melibatkan ritual adat yang ditandai dengan menancapkan kayu sowang sambil membaca mantra.

Mereka memastikan bahwa tidak semua wilayah laut yang berada di perairan Tanah Merah ditutup. Ada wilayah yang tetap dibuka agar masyarakat yang bergantung pada mata pencarian sebagai nelayan tetap dapat mencari ikan selama masa penutupan Tiyaitiki.

Tiyaitiki, kata Marten, untuk memberi ruang supaya ikan-ikan dan biota laut bisa bertelur dengan tenang di dalam wilayah yang ditutup tanpa gangguan dari kegiatan nelayan.Hasilnya akan dipanen secara tahunan dan menjadi asupan pangan bergizi bagi masyarakat setempat.

“Kami membiarkan stok pangan kami berkembang biak di pertengahan tahun, lalu kemudian dapat memperpanjang ekosistem yang tetap berlimpah ruah bagi masyarakat,” ujarnya.

Meskipun tradisi memegang mandat adat untuk menindak tegas para pencari ikan yang menggunakan bahan peledak di laut, namun masih ada kekhawatiran dalam benak Marten Serontou. Kekhawatiran yang masih sering dijumpai adalah eksploitasi ilegal dan cengkeraman tengkulak.

“Masih ada saja nelayan yang sembunyi-sembunyi pakai bom ikan. Mereka mau hasil cepat tapi merusak rumah ikan (karang),” katanya.

Marten juga mengeluhkan posisi tawar nelayan yang lemah di hadapan tengkulak. Saat musim panen tiba atau saat nelayan membutuhkan uang cepat, para pengepul seringkali memainkan harga.

“Kadang harga ditentukan sepihak oleh mereka yang hanya menunggu di darat. Ini yang membuat anak muda kita mulai ragu, apakah menjadi nelayan bisa menjamin masa depan,” tutur Marten.

Tiyaitiki
Seorang perempuan di Kampung Tablanusu sedang mencari ikan. –Jubi/ Engel Wally

Melarang keserakahan

Klimaks dari setahun penantian adalah hari pembukaan Tiyaitiki. Saat laut ‘dibuka’ pada musim surut panjang (meti kering), antara Juni dan Juli, pertanda panen akan dimulai. Panen hasil Tiyaitiki itu sarat akan nilai luhur tentang berbagi, dan kerendahan hati. Bahkan melarang keserakahan.

“Ketika waktu yang sudah ditentukan tiba, biasanya pada musim laut surut atau istilahnya di sini itu meti kering sekitar bulan Juni dan Juli, kami akan mengumumkan pembukaan Tiyaitiki,” kata Marten Serontou.

​Pada saat pembukaan wilayah Tiyaitiki, masyarakat dari lintas kampung dan kerabat suku yang menikah di luar, seperti dari Depapre, Tablanusu, Yokari, Yewena, dan Doromena, diundang untuk turut serta.

Tapi dua suku di Kampung Tablasupa selain Serontou: Apaseray dan Demena akan mendapatkan tempat di tengah wilayah Tiyaitiki. Sedangkan tempat untuk Serontou berada di pinggir.

​”Kami mengutamakan suku Apaseray dan Demena berada di tengah-tengah karena mereka adalah orang darat, sementara kami yang punya tempat mengambil di pinggiran sebagai bentuk penghormatan,” jelas Marten.

​Hasil panen ikan itu akan dibagikan merata ke seluruh masyarakat, dengan mendahulukan yatim piatu, janda, dan duda. Tradisi itu menggarisbawahi filosofi Tiyaitiki atau Tiyaitiki, yakni saling berbagi, adil, dan tidak boleh serakah.

“Yang didahulukan itu yatim piatu, janda, dan duda, semuanya akan mendapatkan bagian. Jika kami melaut sendiri, kami cenderung tidak ingat pada mereka. Dengan Tiyaitiki, kami memastikan pembagian yang adil dan merata, sesuai dengan nilai berbagi yang diturunkan oleh orang tua kami,” tuturnya.

​Pada panen hasil Tiyaitiki itu, marga Serontou sebagai pemilik lokasi sangat menghormati tamu dan mempersilakan siapapun untuk membawa pulang ikan dengan ukuran yang besar hingga kecil.

​”Jika mereka mendapatkan ikan besar, itu adalah milik mereka. Secara adat, bahkan jika kami sendiri mendapatkan ikan besar, ikan itu harus kami berikan kepada orang lain. Kami tidak boleh mengambilnya sendiri,” ujarnya.

Dari kearifan lokal Tiyaitiki itu, mengajarkan masyarakat sejak dulu di wilayah pesisir yang didiami Suku Tepera untuk mengambil hasil kekayaan laut secukupnya agar bisa dinikmati oleh semua orang.

​”Tiyaitiki ini juga mengajarkan masyarakat untuk mengambil hasil laut secukupnya dan tidak boleh serakah, jadi ikan yang diambil secukupnya pada suatu waktu akan datang berlimpah,” katanya.

Tiyaitiki
Perairan Teluk Tanah Merah terlihat dari Pantai Amai, Kampung Tablasupa. – Jubi/ Sudjarwo Husain

​Abraham Oyaitouw, Sekretaris Kampung Tablasupa mengakui dampak Tiyaitiki telah menanamkan nilai-nilai positif sebagai pedoman dalam kehidupan orang-orang tua dulu hingga generasi muda.

​”Praktik itu menjamin untuk janda, duda, dan anak yatim piatu. Maknanya positif sekali. Kita saling membantu keluarga, ekonomi keluarga yang tidak mampu. Mereka juga bisa merasakan bahwa mereka dapat dampak positif, ekonominya meningkat, bertambah,” kata Abraham.

​Abraham merinci dampak ekonomi dan hasil ikan yang didapat dari Tiyaitiki cukup memenuhi kebutuhan rakyat.

“Dari hasil Tiyaitiki, setiap kepala keluarga, baik nelayan maupun bukan, mendapatkan bagian hasil laut yang cukup berdampak positif bagi masyarakat. Tidak terhitung, tapi lumayan, bisa sampai jutaan. Ini adalah pendapatan yang didapat tanpa modal melaut,” ujarnya.

​Ia menjelaskan, hasil panen utama dari praktik Tiyaitiki didominasi oleh ikan karang (seperti kakap dan kerapu). Hasil yang didapat dibagi rata, memastikan tidak ada kesenjangan yang terlalu besar. Ini membuktikan bahwa Tiyaitiki tidak hanya menjaga ekologi laut, tetapi juga berfungsi sebagai stimulus ekonomi tahunan bagi masyarakat.

Bioekologi dan validasi ilmiah tradisi Tiyaitiki

​Dalam upaya memperkuat fondasi kebijakan kelautan, perspektif akademis menjadi kompas untuk memastikan kearifan lokal seperti Tiyaitiki di Teluk Depapre dapat berkelanjutan secara biologis.

Dr Yunus P Paulangan, S Kel, MSi, dosen Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Cenderawasih, menjelaskan Tiyaitiki merupakan manifestasi spirit konservasi masyarakat Suku Tepera melalui sistem buka-tutup kawasan.

“Konsep Tiyaitiki bertujuan melindungi biota ekonomis penting seperti ikan dan teripang, terutama untuk menjaga nilai-nilai adat. Secara teoretis, sistem ini memberikan peluang bagi biota untuk berkembang biak karena menghindari eksploitasi besar-besaran,” ujar Dr Paulangan.

​Sebagai pakar yang menulis disertasi mengenai Tiyaitiki, ia memandang perlu adanya sinkronisasi antara kebutuhan masyarakat adat dengan siklus hidup biota laut.

Penguatan pada dimensi ekobiologi, seperti penentuan waktu buka-tutup yang tepat berdasarkan musim bertelur (recruitment), akan menjadi kunci agar hasil panen tetap optimal dan berkelanjutan.

​”Biota laut memiliki siklus hidup. Penting untuk memastikan ikan yang dipanen sudah melewati tahap bertelur agar populasi tetap terjaga. Ini adalah mata rantai ekologi yang saling berpengaruh, jika satu bagian terlindungi dengan benar, maka seluruh habitat akan mendapatkan manfaatnya,” tambahnya.

​Studi Dr Yunus Paulangan juga menegaskan signifikansi sektor kelautan terhadap stabilitas wilayah. Di Distrik Depapre, ketergantungan masyarakat lokal terhadap hasil laut mencapai 75 persen, yang mengukuhkan posisi perikanan sebagai pilar utama ketahanan pangan.

Tiyaitiki
Dr Yunus P Paulangan, dosen Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Cenderawasih. – Foto: Dok Yunus Paulangan

​Dalam kajiannya, Dr Yunus Paulangan merekomendasikan pemetaan kawasan yang lebih terstruktur melalui pembagian zonasi, yakni zona inti, area yang diproteksi penuh untuk pemulihan stok dan penelitian.

Kemudian zona penyangga, wilayah transisi untuk menjaga integritas ekosistem, dan zona perikanan berkelanjutan sebagai area yang dioptimalkan untuk aktivitas budidaya dan penangkapan terukur.

​”Kearifan lokal seperti Tiyaitiki atau dabung untuk sebutan di wilayah Demta memiliki potensi besar jika diselaraskan dengan pendekatan ilmiah. Fokus kita ke depan adalah memastikan habitat tetap terjaga agar ketersediaan ikan tetap ada bagi generasi mendatang,” tuturnya.

Di sisi lain, Dr Yunus Paulangan memberikan catatan kritis mengenai praktik lapangan yang masih bertolak belakang dengan konservasi adat Tiyaitiki. Ia mencatat masih adanya penggunaan akar tuba (racun alami) dalam proses penangkapan ikan.

“Penggunaan akar tuba, meskipun bersifat alami, dalam dosis besar tetap merusak ekosistem. Ini bisa membunuh larva ikan dan biota kecil yang seharusnya menjadi rantai makanan,” katanya.

​Ia menekankan, tantangan terbesar saat ini adalah melakukan dekolonisasi pemikiran nelayan lokal agar tidak terjebak dalam pola pikir instan.

“Modernisasi alat tangkap harus dibarengi dengan edukasi biologis. Jika akar tuba dan bom masih ditoleransi, maka kemandirian pangan yang kita banggakan ini hanya akan menjadi memori di atas kertas statistik,” ujarnya.

Menghadapi tantangan perubahan zaman dan kemajuan teknologi penangkapan, ia menekankan pentingnya kolaborasi riset antara perguruan tinggi dan pemerintah daerah. Hal ini sejalan dengan target DKP Jayapura untuk 2026 dalam meningkatkan kapasitas sumber daya manusia dan rehabilitasi ekosistem.

​”Kami di Universitas Cenderawasih memiliki peta jalan riset untuk pengembangan Tiyaitiki dalam rangka konservasi terumbu karang,” katanya.

Dengan dukungan anggaran dari pemerintah, Uncen bisa memberikan masukan berbasis bukti empiris mengenai kapan waktu terbaik untuk panen dan bagaimana pengaturan alat tangkap yang paling ramah lingkungan.

​“Melalui kolaborasi itu, diharapkan kearifan lokal yang sudah turun-temurun, menjadi sistem manajemen perikanan yang tangguh, saintifik, dan mampu menopang kesejahteraan ekonomi nelayan di Kabupaten Jayapura,” ujarnya.

Namun, validasi ilmiah dan ketangguhan adat ini baru separuh jalan. Efektivitas Tiyaitiki sebagai lumbung pangan memerlukan payung kebijakan yang mampu mengubah hasil laut menjadi ketahanan gizi yang nyata di meja makan masyarakat.

Tiyaitiki
Sarana tangkap nelayan di Kampung Tablanusu. –Jubi/ Sudjarwo Husain

Pilar ketahanan pangan yang menjanjikan

​Urgensi menjadikan hasil laut sebagai pilar utama ketahanan pangan dan penopang gizi disuarakan dengan lantang oleh Gubernur Papua Matius Derek Fakhiri saat acara peringatan Hari Ikan Nasional 2025.

​Gubernur Fakhiri menegaskan ikan tak hanya sebagai komoditas ekonomi, tapi fondasi kesehatan dan kecerdasan.

“Ikan adalah sumber protein berkualitas tinggi, kaya akan omega-3, DHA, EPA, vitamin, dan mineral, yang sangat esensial bagi kecerdasan, tumbuh kembang anak, serta kesehatan masyarakat secara menyeluruh,” kata Fakhiri.

Pemerintah Papua berkomitmen meningkatkan status gizi dan mencegah stunting, yang secara nasional masih berada pada angka 19,85 persen pada awal 2025.

“Konsumsi ikan didorong sebagai intervensi lintas sektor yang efektif, mengingat ikan adalah sumber protein yang murah dan mudah diakses,” jelasnya.

​Angka konsumsi ikan di Papua mencapai 75,78 kg per kapita setiap tahunnya, di atas rata-rata nasional. Angka ini menunjukkan potensi ekonomi dari sektor perikanan terus berkembang.

​“Mari kita pastikan bahwa setiap rumah di Papua menyediakan ikan sebagai sumber gizi utama keluarga. Mari kita membangun anak-anak Papua yang sehat, cerdas, dan kuat serta membangun ekonomi perikanan yang berdaya saing dan memastikan Papua sebagai provinsi yang produktif dan harmonis,” katanya.

​Rekam data menunjukkan bahwa Kabupaten Jayapura merupakan salah satu daerah penghasil ikan di Provinsi Papua. Keberlimpahan ini tak lepas dari wilayah perairan Teluk Tanah Merah Depapre, sebagai koridor ekologi dan lumbung perikanan yang kaya akan biota.

​Dari hasil penelitian Indonesia Marine Fellows Program menunjukkan Teluk Tanah Merah adalah rumah bagi keragaman ikan karang yang fantastis dengan jumlah 101 jenis spesies. Dana ini memperbarui laporan Dinas Kelautan dan Perikanan yang pernah meriset ada sebanyak 97 spesies ikan karang dengan dominasi famili Pomacentridae (19 spesies), Chaetodontidae (15 spesies), dan Labridae (12 spesies).

​Secara ekonomi, potensi lestari ikan karang di Teluk Tanah Merah diperkirakan mencapai 168.341 individu.

​Teluk ini juga berfungsi sebagai spawning, nursery, dan feeding ground bagi ikan pelagis dan demersal. Ikan-ikan pelagis kecil seperti kembung, puri, dan momar (layang) melimpah pada Januari hingga April, serta Agustus dan November. Sementara, ikan pelagis besar seperti cakalang dan tenggiri dominan tertangkap pada Agustus hingga Desember.

 

Tiyaitiki
Rumpon yang tertambat di Pantai Tablanusu, Depapre, Kabupaten Jayapura. –Jubi/Engel Wally

Ikan pelagis seperti bubara dan demersal seperti kakap merah tersedia hampir sepanjang tahun, menjamin pasokan hasil laut bagi masyarakat lokal.

Meskipun aktivitas nelayan dipengaruhi keras oleh kondisi perairan, beberapa jenis ikan seperti bubara (kuwe/GT), kawalina, kerapu, sako (caroang), dan kakap merah dapat ditangkap sepanjang tahun.

Di luar komoditas perikanan, Teluk Tanah Merah Depapre adalah jalur penting bagi biota yang dilindungi. Seperti penyu sisik, penyu hijau, dan penyu belimbing, paus, dan lumba-lumba.

Nutrisi premium dari hasil laut

​Kekuatan ekosistem laut yang dijaga melalui tradisi Tiyaitiki menyimpan korelasi linear dengan kualitas kesehatan masyarakat pesisir. Ahli gizi dari Universitas Cenderawasih, Dr Rosmin Tingginehe, menyebutkan kadar protein pada ikan laut berada pada rentang sangat tinggi. Kadar protein ikan laut sekitar 18-25 gram per 100 gram daging ikan.

“Saya buka beberapa referensi, kalau tuna itu sekitar 23-25 gram, tongkol 22-24 gram. Jadi, rata-rata di atas 20 gram per 100 gram untuk kandungan proteinnya,” kata Rosmin.

Mutu protein ini melampaui komoditas tambak, karena memiliki asam amino esensial lengkap, serta kekayaan Omega-3, Omega-6, dan Omega-9 yang krusial bagi perbaikan jaringan dan kekuatan otot.

​Kandungan EPA dan DHA di dalam Omega-3 menjadi pilar utama perkembangan otak serta saraf janin. Selain makronutrisi, laut menyediakan Vitamin A untuk imunitas, Vitamin D untuk kesehatan tulang, dan B12 guna pembentukan sel darah merah.

Mineral esensial seperti iodium untuk metabolisme, selenium sebagai antioksidan, serta seng untuk pertumbuhan, menjadikan ikan laut jauh lebih unggul dibandingkan telur atau daging darat yang tidak memiliki kandungan omega alami secara organik.

“Kalau dibandingkan dengan daging atau telur, ikan laut ini kandungan gizinya masih jauh lebih bagus. Telur tidak punya omega, tetapi sekarang memang ada fortifikasi makanan telur dengan omega,” ujarnya.

​Intervensi gizi melalui konsumsi ikan laut segar memberikan dampak langsung bagi ibu hamil dan periode emas balita. Sebagai sumber protein hewani bermutu tinggi dengan daya cerna optimal, ikan laut mengandung mikronutrisi kritis seperti zat besi untuk mencegah anemia kehamilan.

Bagi ibu hamil, konsumsi rutin mendukung pembentukan jaringan plasenta, sementara DHA dan EPA secara spesifik mengoptimalkan retina mata serta ketajaman penglihatan janin.

Kandungan ini, kata Dr Rosmin, berpengaruh langsung pada pertumbuhan janin dan balita. Konsumsi ikan laut segar secara teratur membantu menjaga status gizi ibu dan mendukung pertumbuhan janin melalui protein berkualitas tinggi untuk pembentukan jaringan janin dan plasenta.

​“Pada fase pertumbuhan balita, ikan laut berperan vital dalam mencegah stunting dan wasting,” katanya.

Tiyaitiki
Ahli gizi dari Universitas Cenderawasih Dr Rosmin Tingginehe. –Jubi/ Theo Kelen

Protein hewani di dalamnya memacu pertumbuhan tinggi badan. Sementara kandungan seng memastikan imunitas anak tetap stabil agar terhindar dari penyakit yang menghambat berat badan.

Ikan segar memiliki keunggulan absolut dibandingkan produk olahan karena kemurnian nutrisinya terjaga tanpa kontaminasi lemak trans atau bahan pengawet.

“Untuk keamanan maksimal, konsumsi ikan berukuran kecil sangat disarankan guna meminimalkan risiko paparan merkuri,” ujarnya.

Porsi ideal 100-150 gram bagi ibu hamil dan 30-50 gram bagi balita, sebanyak dua sampai tiga kali seminggu.

Keberagaman jenis tangkapan menjadi kunci pemenuhan nutrisi yang paripurna. Dr Rosmin menekankan tidak ada satu jenis ikan pun yang memiliki profil nutrisi benar-benar lengkap secara tunggal.

“Dengan mengonsumsi berbagai jenis ikan secara bergantian, kita dapat saling melengkapi zat gizi yang dibutuhkan tubuh. Semakin bervariasi jenis ikan yang kita makan, maka semakin lengkap pula asupan nutrisi yang masuk ke dalam tubuh kita,” ungkapnya.

Variasi menu harian ini memungkinkan tubuh mendapatkan asupan zat gizi yang saling melengkapi, serupa dengan prinsip konsumsi sayur dan buah yang beragam.

​Secara ekologis, variasi konsumsi menjaga ketahanan pangan dan keseimbangan populasi di laut Papua. Fokus masyarakat yang tertuju pada satu jenis ikan berisiko memicu kepunahan lokal. Variasi menu membantu menjaga keberlangsungan populasi berbagai jenis ikan di laut, sehingga tercipta harmoni antara kebutuhan nutrisi manusia dengan laju reproduksi alami biota laut.

“Ikan kecil dan sedang seperti kembung menjadi rekomendasi utama karena kaya akan Omega-3, namun tetap terjangkau secara ekonomi bagi rumah tangga pesisir,” katanya.

​Tantangan teknologi penyimpanan stok

​Ketersediaan stok protein yang stabil sepanjang tahun merupakan instrumen utama dalam mencegah malnutrisi musiman. Dr Rosmin memberikan perbandingan dengan negara maju seperti Jepang yang telah menerapkan teknologi penyimpanan suhu ekstrem hingga minus 20-30 derajat Celcius.

“Kalau di luar negeri, di Jepang, teknologinya sudah bagus. Jadi ketika tangkapan itu ada, mereka akan menyimpan ikan, mereka pilah-pilah dulu sesuai dengan jenisnya, kemudian mereka akan simpan di suhu sampai minus 20-30 derajat Celcius. Itu mereka simpan bisa sampai tahun depan dengan tetap terjaga kesegarannya,” ujarnya.

​Kondisi lokal saat ini masih menghadapi kendala ketiadaan teknologi penyimpanan modern, yang seringkali memaksa nelayan untuk segera menghabiskan tangkapan agar tidak membusuk.

Sebagai solusi sementara, masyarakat menggunakan metode tradisional seperti pengasapan, pengasinan, atau pengolahan menjadi nuget untuk mempertahankan ketersediaan protein saat cuaca buruk.

Tiyaitiki
Ikan-ikan segar dari laut Jayapura. –Jubi/ Engel Wally

Dr Rosmin menjelaskan pentingnya mengajarkan nelayan mempertahankan kualitas ikan agar stok protein selalu tersedia sepanjang waktu. Sehingga kehadiran teknologi penyimpanan menjadi kebutuhan mendesak bagi nelayan lokal.

​Korelasi antara asupan protein laut yang berkelanjutan dengan penurunan prevalensi stunting di Papua memiliki hubungan sebab-akibat yang sangat kuat.

Melalui manajemen stok yang baik, kebutuhan gizi harian anak dan ibu hamil dapat terpenuhi secara konsisten, yang kemudian memicu pertumbuhan linear pada berat dan tinggi badan anak.

“Angka stunting akan menjadi rendah dengan terpenuhinya semua proses tersebut. Sebaliknya, angka stunting akan menjadi tinggi jika protein laut tidak berkelanjutan atau kita tidak sanggup menyediakannya setiap saat bagi masyarakat, rumah tangga, ibu hamil, dan anak-anak,” ujarnya.

Hasil laut lokal tetap menjadi solusi kesehatan masyarakat yang paling murah dan efektif karena minimnya biaya operasional serta ketiadaan rantai pemasaran panjang.

Dengan keunggulan gizi yang lengkap, kata Dr Rosmin, sifatnya yang mandiri secara ekonomi, serta berbasis pada budaya lokal, ikan laut adalah pilar utama ketahanan pangan yang paling dicintai dan berkelanjutan bagi masyarakat pesisir Papua.

​Masa depan pangan dari ekosistem laut

​Integrasi antara manajemen perikanan modern dan mekanisme konservasi berbasis adat di Kabupaten Jayapura sedikit memberikan dampak pada stabilitas stok pangan laut. Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabuupaten Jayapura kenaikan produksi perikanan tangkap secara kumulatif dari 13.789,23 ton (2020) menjadi 15.488,02 ton (2024).

Kenaikan itu didorong dua faktor utama, yakni penguatan populasi ikan di pesisir melalui adat dan modernisasi armada di laut lepas.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Jayapura Suliyono menilai kearifan lokal seperti Tiyaitiki berperan vital sebagai variabel kontrol ekologi.

“Praktik buka-tutup kawasan ini adalah inkubator alami yang memastikan siklus hidup ikan mencapai ukuran optimal sebelum dipanen. Wilayah yang menerapkan tradisi ini terbukti memiliki ekosistem terumbu karang yang lebih sehat,” ujarnya.

Dampak nyata dari penjagaan wilayah pesisir ini terlihat pada stabilitas produksi perairan laut umum yang menyumbang 146,20 ton per tahun, didominasi oleh ikan karang, udang, dan rajungan.

Di sisi lain, lonjakan produksi total kabupaten juga dipengaruhi oleh pergeseran struktur armada menuju mekanisasi. Meskipun jumlah perahu tanpa motor berkurang drastis dari 1.047 unit (2020) menjadi 283 unit (2024), hal ini diimbangi dengan peningkatan kapasitas pada perahu motor tempel (285 unit) dan kapal motor 3–10 GT (31 unit) yang memiliki daya jelajah lebih jauh.

Penggunaan 3.749 unit pancing ulur (hand line) juga menunjukkan tren metode penangkapan yang lebih selektif dibandingkan penggunaan alat tangkap masif lainnya.

Tiyaitiki
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Jayapura, Suliyono. – Jubi/ Sudjarwo Husain

​Menyongsong tahun 2026, pemerintah menargetkan angka produksi ambisius sebesar 16.186,33 ton. Untuk mencapainya, fokus dialihkan pada penguatan infrastruktur hilir guna mengatasi hambatan rantai pasok.

“Potensi tuna kualitas premium kita sangat besar, namun serapannya baru mencapai 46,66 ton. Kuncinya ada pada penyediaan pabrik es dan cold storage agar integritas kualitas hasil laut tetap terjaga hingga ke pasar ekspor,” kata Suliyono.

​Melalui dukungan dana Otonomi Khusus (Otsus), pemerintah berkomitmen agar peningkatan produktivitas ini tetap berbasis pada kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat lokal melalui penguatan koperasi nelayan.

​”Setelah produktivitas meningkat, fokus selanjutnya adalah kolaborasi melalui koperasi untuk memastikan nilai tambah ekonomi tetap berada di tangan nelayan dan masyarakat lokal,” kata Suliyono.

Urgensi menjaga ekosistem laut yang disuarakan dari pesisir Jayapura ini sejatinya beresonansi dengan visi besar kedaulatan pangan nasional.

Dalam video edukasi di media sosial Kemenko Pangan RI, Meizani Irmadhiany, staf khusus Kemenko Pangan Bidang Kehutanan dan Lingkungan Hidup, menegaskan kedaulatan pangan nasional sangat bergantung pada bagaimana manusia menjaga kelestarian laut.

Sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau, Indonesia memiliki kekayaan hayati laut yang sangat potensial.

​”Kalau kita mau jaga ketahanan pangan, kita juga harus menjaga kelestarian laut kita,” kata Meizani yang juga merupakan anggota dewan pakar Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia.

Pernyataannya itu didasarkan pada kekayaan biodiversitas yang mencakup lebih dari 8.500 jenis ikan, 555 jenis rumput laut, dan 950 jenis terumbu karang. Bahkan, Indonesia memiliki salah satu area terumbu karang terluas di dunia dengan besaran mencapai lebih dari 51.000 km2.

​Ia mengatakan, selain menjadi komoditas ekonomi, sektor perikanan juga sebagai penopang gizi bangsa. Sekitar 54 persen kebutuhan protein warga Indonesia berasal dari sektor perikanan. Hal ini menjadikan laut sebagai ‘dapur raksasa’ yang harus diproteksi dari ancaman krisis iklim.

​”Laut kita merupakan penyimpan karbon alami sekaligus sumber penghidupan bagi jutaan manusia,” ujarnya.

Sinergi antara praktik adat seperti Tiyaitiki dan tata kelola pemerintah yang kuat menjadi syarat mutlak. Keamanan pangan masa depan hanya bisa dicapai melalui ekosistem yang sehat, regulasi yang kokoh, serta keterlibatan aktif seluruh lapisan masyarakat untuk bergerak bersama menjaga laut demi hari ini dan masa depan.

Marten Serontou berdiri dari tempat duduknya. Ia melangkah perlahan menuju perahu semang yang tertambat di tepi muara. Marten membungkuk, menguras sisa air hujan yang menggenangi perahu semang kecilnya. Sahabat setia yang selalu menemaninya saat bertaruh nasib di laut.

Sementara deru ombak masih terdengar di belakang. Seolah memberi pesan bahwa laut masih membiru, sejauh manusia mau menjaga dan melindungi tempat yang memberikan mereka kehidupan. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!

Tags: kelautan dan perikananKetahanan Panganmakan bergizisumber panganTiyaitiki
ShareTweetSendShareShare

Related Posts

meriam tradisi jayapura

‘Perang meriam’, tradisi yang tak pernah hilang jelang Natal dan Tahun Baru

December 12, 2025
Rahmad Darmawan

Rekonstruksi taktik Rahmad Darmawan, adopsi komposisi tim juara

December 7, 2025

Akrobat anggaran demi menjaga pembangunan berjalan

November 30, 2025

Mengungkap statistik impresif Persipura, enam kali tanpa terkalahkan

November 21, 2025

Cek Kesehatan Gratis di Nabire, “Semua OAP harus ikut”

November 18, 2025

Menjaga Tiyaitiki, warisan leluhur Suku Tepera di perairan Tanah Merah

November 14, 2025

Discussion about this post

  • Latest
  • Trending
  • Comments
Ikan laut segar dari laut Jayapura. –Jubi/ Engel Wally

Menyelisik Tiyaitiki, upaya adat menjaga sumber pangan rakyat

December 18, 2025
Porgera mine

K370million in Porgera gold lost ‘annually’

December 17, 2025
Pangan Lokal

Es krim sagu buah merah dari bahan pangan lokal gunung dan pesisir

December 17, 2025
Presiden Prabowo

Presiden Prabowo menyiapkan bencana bagi Papua

December 17, 2025
Fiji

Perdana Menteri Sitiveni Rabuka Umumkan Perombakan Kabinet di Fiji

December 17, 2025
Helikopter

Militer Indonesia dilaporkan melakukan penyerangan di Nduga menggunakan helikopter

December 17, 2025
militerisme

Berbagai pihak desak pemerintah hentikan militerisme di Tanah Papua

December 17, 2025
Presiden Prabowo

Presiden Prabowo menyiapkan bencana bagi Papua

December 17, 2025
Pangan Lokal

Pameran Universitas Ottow Geissler hadirkan produk pangan lokal

December 17, 2025
Dana Otsus Papua

Dana Otsus Papua turun Rp10 triliun, Prabowo: Ada penambahan jika ada penghematan APBN

December 17, 2025
Ikan laut segar dari laut Jayapura. –Jubi/ Engel Wally

Menyelisik Tiyaitiki, upaya adat menjaga sumber pangan rakyat

0
Porgera mine

K370million in Porgera gold lost ‘annually’

0
Pangan Lokal

Es krim sagu buah merah dari bahan pangan lokal gunung dan pesisir

0
Presiden Prabowo

Presiden Prabowo menyiapkan bencana bagi Papua

0
Fiji

Perdana Menteri Sitiveni Rabuka Umumkan Perombakan Kabinet di Fiji

0

Trending

  • Helikopter

    Militer Indonesia dilaporkan melakukan penyerangan di Nduga menggunakan helikopter

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Berbagai pihak desak pemerintah hentikan militerisme di Tanah Papua

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Presiden Prabowo menyiapkan bencana bagi Papua

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pameran Universitas Ottow Geissler hadirkan produk pangan lokal

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dana Otsus Papua turun Rp10 triliun, Prabowo: Ada penambahan jika ada penghematan APBN

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

PT Media Jubi Papua

Terverifikasi Administrasi dan Faktual oleh Dewan Pers

PT. Media Jubi Papua

Terverifikasi Administrasi dan Faktual oleh Dewan Pers

Networks

  • Post Courier
  • Vanuatu Daily Post
  • Solomon Star News
  • The Fiji Times
  • Radio New Zealand
  • Radio Djiido
  • 3CR Community Radio
  • Cook Islands News
  • Pacific News Service
  • Bouganville News
  • Marianas Variety

AlamatRedaksi

Jl. SPG Taruna Waena No 15 B, Waena, Jayapura, Papua
NPWP : 53.520.263.4-952.000
Telp : 0967-574209
Email : redaksionline@tabloidjubi.com

  • Redaksi
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
  • Pedoman Media Siber
  • Hubungi Kami
  • Kode Etik
  • Laporan Transparansi
  • Redaksi
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
  • Pedoman Media Siber
  • Hubungi Kami
  • Kode Etik
  • Laporan Transparansi

© 2025 Jubi – Berita Papua Jujur Bicara

No Result
View All Result
  • Home
  • Tanah Papua
    • Anim Ha
    • Bomberai
    • Domberai
    • La Pago
    • Mamta
    • Mee Pago
    • Saireri
    • Arsip
  • Indepth
  • LEGO
  • Nasional
  • Dunia
  • Pasifik
  • Kerjasama
    • Pulitzer
    • Menyapa Nusantara
    • Provinsi Papua Tengah
    • Kabupaten Jayawijaya
    • Kabupaten Jayapura
    • Kabupaten Mappi
    • Provinsi Papua
    • Pina
  • Networks
    • Jubi TV
    • English
    • Deutsch
    • France
    • Indeks

© 2025 Jubi - Berita Papua Jujur Bicara