Manokwari, Jubi – Luas hutan mangrove di Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat, sekira 2,25 juta hektare atau 8,92% mangrove di Indonesia diklaim merupakan aset terbesar Papua Barat, dan terluas di Asia Tenggara. Berkat hutan mangrove yang luas ini, mendorong Pemerintah Kabupaten atau Pemkab Teluk Bintuni untuk melaksanakan Festival Mangrove, yang akan digelar pada akhir tahun 2024.
“Saya lebih cenderung melihat [potensi] mangrove, karena saat ini Bintuni memiliki mangrove terbesar di Asia Tenggara, nomor dua setelah Amazon [secara global] kalau kita lihat dengan variasi [jumlah] mangrove yang cukup tinggi,” kata Bupati Teluk Bintuni Petrus Kasihiw di Manokwari, Rabu (26/6/2024).
Bupati mengatakan bahwa dalam kajian pakar, jika mangrove di Teluk Bintuni mengalami perubahan maka akan memengaruhi kondisi air tanah hingga ke Australia. Selain itu, mangrove tetap dipertahankan karena bagian yang paling penting dalam melindungi lingkungan di Bintuni.
“[melindungi] Dari bencana, ombak, serta abrasi dan juga memberikan kontribusi oksigen,” katanya.
Secara spesifik, Petrus Kasihiw pernah melakukan penelitian yang tercantum dalam disertasi magister miliknya, tentang bagaimana menjaga ekosistem mangrove dari sisi ekologi, ekonomi, sosial budaya, dan kelembagaan. Ia memang tercatat tengah menempuh gelar Doktor (S3) Ilmu Lingkungan di Universitas Papua (UNIPA) Manokwari.
“Empat komponen ini harus bersamaan untuk menjaga jangan terjadi kepunahan mangrove. Mangrove rusak berarti ikan kepiting juga tidak ada,” katanya, sembari menyebut walaupun ini masih dalam hasil akademis, akan tetapi ke depannya akan didorong dalam bentuk kebijakan.
Kasihiw juga kerap mengingatkan agar jangan berbesar hati, ketika orang-orang menjuluki Teluk Bintuni sebagai daerah penghasil minyak dan gas (migas). “Di mana-mana saya sampaikan, itu kan energi fosil yang terbatas, tapi [jika] kita jaga hutan, jaga mangrove ini [adalah] aset bangsa. Sampai saya hitung [dalam penelitian] berapa kerusakan dan kehilangan udang dan kepiting akibat kerusakan mangrove,” katanya.
Kebijakan pemerintah
Bupati Teluk Bintuni Petrus Kasihiw memiliki komitmen kuat untuk mendorong masuknya perusahaan pengalengan ikan, udang, dan kepiting di Teluk Bintuni. Nantinya, para penyuplainya adalah masyarakat adat.
“Jadi jangan lagi dorang jual ke luar atau dorang kasih konsesi surat sepenggal ke kitorang punya saudara [orang luar], jadi penduduk asli pemilik hak wilayah [7 suku] itu saja yang kelola. Datang ambil ikan, udang, dan langsung [suplai] ke industri yang sudah ada di Bintuni,” ujarnya.
Perusahaan pengalengan tersebut sebelumnya sudah diresmikan secara simbolis oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin, saat berkunjung ke Teluk Bintuni pada Juli 2023 lalu. Dalam kunjungan tersebut, selain meresmikan tugu peradaban masuknya Islam di Distrik Babo, Ma’ruf Amin juga meresmikan pabrik pengolahan makanan kaleng Bio Bintuni.
“Kepiting kaleng dan udang kaleng sudah ada, saya kasih nama [sebut] kepiting dan udang Bio Bintuni [memang] saat ini belum berproses secara baik, tetapi Pak Wapres sudah resmikan,” katanya.
Pemkab Teluk Bintuni juga berkomitmen mendorong agar ada pemanfaatan hutan secara ekonomis bagi masyarakat. Teluk Bintuni memiliki cakupan luas hutan sebagaimana dilansir dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019, terdapat luas Hutan Lindung 127.487.00 hektare, Hutan Perlindungan dan Pelestarian Alam (PPA) 198.048.00 hektare, Hutan Produksi Terbatas (HPT) 486.251.00 hektare, Hutan Produksi Tetap (HP) 747.492.00 hektare, Hutan Produksi [yang dapat] Konversi (HPK) 233.261.00 hektare, dan Hutan Areal Penggunaan Lain (APL) 157.397.00 hektare.
Wakil Kepala Suku Besar Moskona Teluk Bintuni Simon Orocomna mengatakan, masyarakat adat berkomitmen untuk menjaga kawasan hutan, terutama yang masuk dalam kawasan hutan lindung dan konservasi. “Hutan perlu dijaga oleh pemerintah, dan kita seluruh masyarakat yang ada di Teluk Bintuni,” katanya.
Menurutnya, jika hutan tidak dijaga apalagi dengan adanya penebangan liar atau pembukaan kebun sembarangan, maka dampaknya cukup besar termasuk bencana alam seperti banjir dan longsor. “Yang dijaga kawasan hutan mulai dari Bintuni hingga Moskona, semuanya harus dijaga,” ujarnya.
Salah satu upaya menjaga hutan dan mangrove, yakni dengan memberlakukan aturan Hutan Adat di setiap kampung di Teluk Bintuni. “Saya kira dimulai dengan sebuah kebijakan pemerintah mendorong kampung membentuk Hutan Adat, itu jauh lebih baik,” katanya.
Selain itu, Pemerintah Pusat hingga daerah juga bisa memberikan semacam insentif bagi masyarakat adat yang setia menjaga hutan. “Setiap tanah dan hutan itu kan ada yang punya, tinggal bagaimana pemerintah membicarakannya dengan masyarakat yang setia menjaga hutan,” katanya.
Sebagian besar masyarakat pemilik tanah dan hutan juga masih bergantung pada alam. Apalagi di dalam hutan terdapat beraneka ragam tumbuhan seperti sagu, keladi, dan sayur-mayur yang tumbuh secara alami.
Proteksi bagi masyarakat adat
Direktur Program Konservasi Indonesia Robert Mandosir, mengapresiasi Pemkab Teluk Bintuni yang berkomitmen menjaga kawasan hutan. Bentuk keseriusan pemerintah juga dianggap jelas dengan adanya slogan Bintuni Go Green.
“Ini memberikan indikasi bahwa ada penerapan konsep pembangunan berkelanjutan di Teluk Bintuni. Ini jadi platform sistem pembangunan Teluk Bintuni, juga menjadi komitmen pemda terkait proses penyusunan tata ruang sudah diselesaikan akhir tahun lalu, dan ini disesuaikan dengan penyusunan RPJPD dan RPJMD teknokratis, proses ini akan dilakukan ke depan bersama dengan Konservasi Indonesia,” katanya, pada Kamis (27/6/2024).
Ia juga bersyukur karena pemda memiliki kebijakan perlindungan kawasan hutan mangrove. Hal ini ditandai dengan sebuah event besar Festival Mangrove yang akan digelar November 2024.
“Ini sebuah kebijakan pemerintah daerah yang sesungguhnya untuk menjaga potensi ketersediaan pangan, atau sumber daya perikanan yang ada di wilayah ini,” ujarnya.
Kawasan hutan mangrove memiliki banyak fungsi, salah satunya adalah daerah tumbuh kembangnya ikan. Selain itu, ekosistem mangrove sangat penting dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Tanaman mangrove dapat menyerap karbon dioksida (CO2) dari udara selama fotosintesis, dan mengubahnya menjadi karbon organik yang disimpan dalam biomassa tubuhnya, seperti pada akar, batang, dan daun. Satu hektare hutan mangrove juga dapat menyimpan cadangan karbon lima kali lebih efektif daripada hutan terestrial.
“Potensi hutan mangrove bisa menjadi wilayah pengembangan [penyimpanan] karbon yang berkontribusi baik bagi Indonesia sendiri maupun global,” katanya.
Konservasi Indonesia bersama Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kabupaten Teluk Bintuni, saat ini juga turut mendorong untuk mengidentifikasi kampung-kampung yang masuk dalam perhutanan sosial atau Hutan Adat. “Lokasi yang berpotensi sekarang ada di Bintuni Timur di Kampung Masina, jadi target sasaran kita sebagai model [Hutan Adat],” katanya.
Konservasi Indonesia juga melihat peluang lain yakni bekerja sama dengan BP Tangguh, yang memiliki program untuk perlindungan kawasan hutan mangrove. Program ini bisa disinergikan dengan kebijakan pemerintah, serta masyarakat yang ada di kawasan sekitar BP Tangguh beroperasi.
“Peran Konservasi Indonesia sebagai katalisator dan fasilitator untuk menghubungkan, juga menyediakan data informasi dan keahlian,” ujarnya.
BP Tangguh sendiri dalam komitmen terhadap pelestarian mangrove, berencana akan menanam sebanyak 2.000 pohon mangrove di Teluk Bintuni. Hal ini disampaikan Tangguh Security Site Manager BP Tangguh Habel Tanati.
“Kita ada proyek awal, akan menanam 2.000 mangrove dengan target penanaman seluruhnya 10.000 pohon,” katanya.
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Sisar Matiti Yohanes Akwam menyampaikan, prospek pembangunan di Kabupaten Teluk Bintuni mesti melihat pada aspek keberpihakan kepada masyarakat tujuh suku di daerah itu. Teluk Bintuni memiliki tujuh suku besar yang cukup eksis yakni Kuri, Wamesa, Sough, Irarutu, Sebyar, Moskona, dan Sumuri
“Masyarakat tujuh suku yang tersebar di pesisir dan gunung, [dengan] berpegang pada adat, agama, dan pemerintah,” kata Sisar, yang juga merupakan pihak yang mendampingi masyarakat adat di Teluk Bintuni.
Dalam merumuskan pembangunan, ia menyarankan pemerintah terus melibatkan masyarakat adat di Teluk Bintuni. Sejak Bintuni dimekarkan pada 2003, masyarakat adat suka dan tidak suka menerima berbagai pihak yang masuk, serta tinggal menetap di Bintuni.
“Masyarakat adat di sini suka dan tidak suka dia harus menerima keadaan ini, dalam kondisi tidak siap berdiri pada pijakan kaki di mana Bintuni digempur oleh berbagai investasi besar yang masuk, dan ancaman terhadap degradasi dan laju deforestasi atau kerusakan hutan semakin tinggi,” katanya.
Dia menyebut Teluk Bintuni penting bagi Papua Barat karena luas wilayah dan hutannya cukup besar. Kontribusi yang juga diberikan berupa cadangan air bawah tanah, karena Bintuni memiliki kawasan mangrove terbesar dan menyediakan pakan ikan bagi perairan di laut Arafura.
“Jadi tanggung jawab semua pihak adalah bagaimana membicarakan keselamatan manusia, terutama masyarakat adat di atas tanah ini,” katanya.
Negara juga mengakui kearifan lokal sepanjang tidak bertentangan dengan aturan yang ada. Selain itu, Undang-Undang Otonomi Khusus turut mendukung eksistensi masyarakat adat di Tanah Papua, termasuk masyarakat di Teluk Bintuni.
“Kita punya Perda Nomor 4 tentang pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat, sebagai contoh pernah kami mendampingi masyarakat adat dalam sebuah kasus hukum terkait pencurian minyak di Dusun Waname milik warga, telah dilakukan praperadilan, dan keputusan pengadilan yakni penyelidikan dilanjutkan, ini soal rasa [ketidaktahuan], sebab masyarakat adat tidak tahu apa itu investasi, yang mereka tahu ketika ko masuk di saya punya tempat [wilayah] tanpa izin maka ko dianggap mencuri,” katanya.
Masyarakat adat jelas menegaskan bahwa siapa pun yang masuk ke wilayah adat tanpa izin, maka mereka dianggap sebagai pencuri walaupun dikemas dalam istilah investasi. “Dasarnya adalah Perda PPMHA (Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat) dan yurisprudensi dari keputusan pengadilan, yang mengakomodir cara pandang masyarakat adat bahwa mengambil tanpa izin adalah ko mencuri,” ujarnya. (*)
Discussion about this post