Sentani, Jayapura – Marshanti Suebu harus merogoh sedikitnya Rp3 juta setiap dua pekan sekali. Uang itu untuk mengolah sagu.
Suebu biasa mempekerjakan 5–8 orang dalam pengolahan sagu. Ada yang menebang, dan menguliti pohon sagu, ada juga memarut, dan meramas hasil parutan hingga menjadi sari pati, atau tepung sagu.
“Sekali tebang, bisa 3–5 pohon sagu. Penebangannya menggunakan chainshaw [gergaji mesin],” ujar perempuan 42 tahun tersebut.
Hasil olahan sagu dijual Suebu di Pasar Pharaa, Sentani, Kabupaten Jayapura. Sebagiannya lagi disisihkan untuk makan sekeluarga sehari-hari.
Suebu rata-rata menghasilkan sekitar 300 kilogram tepung sagu dalam sekali produksi. Produk tersebut biasa habis terjual dalam dua pekan.
“Harga sekarungnya [ukuran 20 kilogram] Rp400 ribu hingga Rp600 ribu. Dalam sehari, bisa ada uang masuk [omsetnya] Rp2 juta, tetapi bisa juga lebih,” kata Suebu, Senin, 27 Mei 2024.
Ibu tiga anak tersebut berjualan sagu sejak lulus SMA. Dia pun bisa menguliahkan dua anaknya hingga menjadi sarjana berkat berjualan sagu.
Kabupaten Jayapura dikenal memiliki keanekaragaman jenis sagu. Setidaknya, ada 22 jenis sagu yang biasa diolah warga menjadi bahan makanan sehari-hari.
Kampung Yoboi di Distrik Sentani tercatat sebagai daerah dengan hutan sagu terluas di Kabupaten Jayapura. Hamparannya mencapai 1.600 dari 38.670 hektare luas hutan sagu di Kabupaten Jayapura.
Menurut Kepala Kampung Adat Yoboi Sefanya Wally, luas hutan sagu itu belum seberapa jika dibandingkan dengan beberapa dasawarsa lalu. Banyak hutan sagu telah tergusur demi kepentingan pembangunan di Kabupaten Jayapura.
“Pohon sagu dahulu banyak tumbuh di sepanjang Jalan Raya Sentani-Jayapura. Pohon-pohon itu tumbuh begitu saja [alami] di pinggir jalan,” ujar Wally.
Kawasan hutan sagu saat ini juga banyak yang telah berubah menjadi lokasi perumahan, pertokoan, pasar, dan pusat perekonomian lain. Lambat laun, keberadan hutan sagu pun kian menyusut di Kabupaten Jayapura.
Ancaman eksploitasi
Ancaman terhadap pelestarian hutan sagu di Kabupaten Jayapura tidak hanya akibat faktor luar. Rongrongan itu juga berasal dari dalam. Makin hari, banyak pohon sagu ditebang warga untuk kepentingan komersial.
Menurut Wally, kebiasaan warga dalam mengolah sagu juga berubah. Mereka tidak lagi menggunakan alat pangkur, tetapi mesin pemarut untuk menghasilkan tepung sagu.
Pengunaan mesin pemarut memang lebih praktis dan produktif ketimbang penokok atau alat pangkur sagu. Namun, penggunaan mesin pemarut memicu eksploitasi karena makin banyak pohon sagu yang ditebang untuk diambil sari patinya.
“Warga sudah tidak ada lagi menggunakan penokok sagu karena [cara kerjanya] lambat dan membutuhkan banyak tenaga. Mereka telah beralih menggunakan mesin pemarut untuk mendapatkan tepung sagu,” kata Wally.
Pemerintah Kampung Adat Yoboi telah mengedukasi warga mengenai dampak penggunaan mesin pemarut terhadap kelestarian hutan sagu. Mereka juga memberlakukan ketentuan penanaman bibit pengganti untuk setiap pohon sagu yang ditebang.
“Mereka yang menebang sebatang pohon sagu wajib menanam satu atau dua bibit pengganti di bekas tebangan. Aturan ini sudah menjadi tradisi turun temurun,” ujar Wally.
Selain tradisi tersebut, kearifan lokal lain dalam pengelolaan hutan sagu juga masih berlaku di sejumlah kampung di Kabupaten Jayapura. Salah satu kearifan lokal itu ialah selektivitas dalam penebangan. Pohon sagu hanya boleh ditebang dalam masa dan untuk kebutuhan tertentu.
“Namun, kebiasaan itu lambat laun hilang akibat penggunaan teknologi [peralatan modern dalam pengolahan sagu]. Pohon sagu yang sudah ditebang pun ada kalanya tidak ditokok hingga habis [diolah semua],” kata Alberth Yoku, tokoh masyarakat Sentani.
Menurut Yoku, penggunaan mesin pemarut sagu mulai marak digunakan warga sekitar dua puluh tahun lalu. Pada era itu pula, banyak pohon sagu digusur untuk pembangunan infrastruktur.
Standar pengolahan
Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Jayapura, luas hutan sagu di Distrik Sentani sekitar 1.964 hektare. Selain di Sentani, hutan sagu tersebar di sejumlah distrik di Kabupaten Jayapura, seperti Sentani Barat, Sentani Timur, Waibhu, Demta, dan Unurum Guay.
Di Distrik Sentani Barat, luas hutan sagunya sekitar 75 hektare, dan di Distrik Sentani Timur seluas 473 hektare. Adapun di Waibhu sekitar 139 hektare, di Demta sekitar 374 hektare, dan di Unurum Guay sekitar 277 hektare.
Meskipun telah tersentuh modernisasi, pengolahan sagu di Kabupaten Jayapura belum memenuhi standar produksi. Problem itu muncul lantaran produknya berasal dari sagu liar di alam, dan bukan hasil budi daya. Pertumbuhan pohon dan kualitas produknya menjadi tidak seragam.
“Sagunya tumbuh secara alami di lahan berawa. Stabilitas pertumbuhannya sangat beragam di setiap wilayah,” kata Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Jayapura Jenny Deda.
Akses pemasaran produk sagu juga masih terbatas di Kabupaten Jayapura. Jangkauan penjualannya hanya di seputar wilayah kabupaten tersebut.
“Kami memberdayakan masyarakat dalam meningkatkan produktivitas sagu. Namun, akses pasarnya masih terbatas,” ujar Deda, yang juga Kepala Distrik Waibhu.
Menurut mantan Bupati Jayapura Mathius Awoitau, skema perhutanan sosial dapat menjadi salah satu solusi dalam memberdayakan potensi sagu di daerah tersebut. Warga bisa memanfaatkan sagu, tetapi kelestarian hutannya tetap terjaga.
“Perhutanan sosial mengintegrasikan sistem adat [kearifan lokal] dalam pengelolaan hutan sagu. Ada pohon sagu yang boleh ditebang, ada juga tidak boleh ditebang,” kata Awitauw.
Dia mengatakan Kabupaten Jayapura juga memiliki Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2016 tentang Kampung Adat. Regulasi tersebut menguatkan peran masyarakat dalam melindungi, dan melestarikan adat istiadat setempat, termasuk dalam menjaga keberadaan hutan sagu.
“Perda Kampung Adat melarang jual-beli lahan sagu. Aparat pemerintah juga dilarang menandatangani surat pelepasan lahan ataupun surat izin mendirikan bangunan pada lokasi yang masih banyak pohon sagu,” kata Bupati Jayapura periode 2012-2022 tersebut. (*)
Discussion about this post