Jayapura, Jubi – Pemalangan fasilitas umum (fasum) seperti sekolah, jalan dan kantor-kantor pemerintah sering terjadi akhir-akhir ini di Kota dan Kabupaten Jayapura. Hal ini perlu mendapat perhatian pihak-pihak terkait, tak saja untuk menemukan penyelesaian, namun juga memahami penyebab historisnya.
Anggota Kelompok Khusus (Poksus) DPRP Mamta Tabi, Piter Kwano mengatakan persoalan pemalangan yang sering terjadi akhir-akhir ini disebabkan oleh proses penjualan tanah di masa lalu, yang dilakukan oleh orang-orang tua di masa itu, tidak didahului oleh pengetahuan dan informasi yang memadai tentang potensi tanah.
Misalnya, pada saat penjualan tanah itu dilakukan dengan kondisi lahan yang belum digarap, tidak ada pertimbangan yang baik terkait potensi masa depan tanah dari para orang tua. “Orangtua ini dia tidak paham bahwa sewaktu-waktu tempat yang dijual akan (dapat) menjadi kota, terus kemudian pasti pergeseran harga juga terjadi, dan mereka tidak pikir (sampai) ke situ,” kata Kwano.
Sehingga kasus-kasus pemalangan yang sering terjadi akhir-akhir ini di Kota dan Kabupaten Jayapura, lanjutnya, tak bisa dilihat dari satu sisi saja. Harus melihat kembali apa yang terjadi di masa lalu, bagaimana sampai tanah tersebut menjadi milik orang dari luar Papua [pendatang], atau hingga digunakan untuk pembangunan sekolah, kampus, dan kantor-kantor pemerintah.
“Jadi (waktu itu hanya lihat) siapa yang datang, kalau mereka (orang-orang tua masa itu) rasa cocok mereka kasih (tanah). Tapi ketika generasi baru ini lahir, dia melihat bahwa rugi sekali kita kasih tanah dengan harga yang murah, (padahal) tanah itu tidak (akan) busuk, (sehingga) mereka merasakan kehilangan dan tidak bisa kembali ke tempat itu lagi,” kata Kwano.
Yang menyedihkan di era sekarang ini, lanjut Kwano, ada fakta bahwa ketika masyarakat melepas tanah mereka, di atas tanah itu lalu berdiri rumah-rumah kontrak, dan mereka yang menjual tanah itu lalu kembali mengontrak. “Ini fenomena yang kurang bagus, dan sering terjadi pada tahun 2020-an hingga sekarang ini. Coba kita bayangkan bagaimana tahun 2040-an nanti? Apakah kami masih punya tanah sepenggal atau tidak? Apakah kami masih punya dusun atau tidak?” ujar Kwano.
Kwano juga mengatakan salah satu jalan untuk mencegah keadaan ini menjadi lebih buruk yaitu melalui dukungan pemerintah untuk proteksi terhadap hak-hak dasar Orang Asli Papua, terutama yang ada di Kota Jayapura dan Sentani, “karena dua wilayah ini sudah menjadi pusat kota. Semakin kota ini dibuka maka akan tergeser lah orang-orang (asli) yang ada di situ,” tegasnya.
Kwano mencontohkan para penduduk asli di sekitaran Kayu Pulau, Kayu Batu, dan Tobati serta Sentani kini sudah semakin sulit bermukim di darat. “Ini harus ada pemikiran yang serius dari Pemerintah Provinsi Papua untuk bagaimana melibatkan Dewan Adat menangani sisa-sisa tanah yang ada ini (agar) bisa dimiliki oleh pemilik hak ulayat sesungguhnya. Mungkin dengan membuat aturan yang memihak kepada orang Papua, seperti Perdasus, Perdasi, atau dengan keputusan masyarakat adat,” lanjutnya. (*)